Jumat, 06 Agustus 2021

Surat Cinta Untuk Bidadari

 


Aku menggelepar dalam rindu

Ingin menggulung rambut sutramu, yang kau urai di pinggang

Maafkan aku….yang jauh dengan Raden Arjuna bedanya

Arjuna tinggal di Bungalow tepi telaga…berair biru membentang

Dengan mobil mewah berkaca anti goresan

Yang tak mungkin dijamah Ilalang miskin

Nampak sama dengan Istanamu di “Awang Awang Kumitir”

Di bilangan “Indraloka”, yang tak terjamah banjir rob, apalagi tsunami

Dari cahaya yang berurai tujuh kaulah yang dapat mewakili

Sebuah senyum,

 

Lantas aku bentangkan layar perahu

Agar mampu bersanding  dengan “Bathara Indra”,

Meski dengan tangan mengencang aku tepiskan “Asura”

Yang hendak mengotori peraduanmu…

Ataukah Pasopati milik Arjuna yang menepisnya.....

Entahlah mungkin juga hanya aku yang melukiskan

Kala wajahmu bertengger pada pandang tak terbatas.

Kau duduk dengan menghibur “Gegermayang dan Lenglengmulat”

Dengan seloroh yang memikat semua dewa.

 


Aku hanya Ilalang..yang mengerti akan ketamakan “Niwatakawaca”

Aku hanya sebatas menyusuri lekuk wajahmu

Dari situs internet…,,

Hingga tumbuhlah “Kembang Anggrek Bulan” di tepi halaman jantungku

 

Saat kau kunci pintu langit

Dengan titian selembar rambut kuning keemasan

Lalu kau turun dari mobil sedan merek para dewa

Bercelana jean ketat, merek keluaran dari awan awan bidadari

Jemarimu usil, memainkan”iphone”

Kau sambungkan demi sebuah janji

Dengan Raden Arjuna ….pria metropolis

 

Jantungkupun lari dari rongga dadaku

Mengapa kau lari dari sudut hatimu

Mengapa tidak kau cabut kuncung Semar…

Atau kau booking penasehat “Sengkuni atau Sang Hyang Dorna”

Agar Bathari  Supraba betah …bercengkerama dengan …

pematang yang rapi dan sejuk

menyemai benih padi..hingga memerah sapi di kandang

atau memetik sayur,

menyedu kopi dengan pemanis gula aren.

Apalah arti “Arjuna Wiwaha”,…kalau ilalang kusam tidak

punya  halaman prosa di dalamnya

Sementara hijau Ilalang di kaki langit

Terkadang mampu  mengucurkan air tawar pelepas dahaga

 

Tapi apakah betul kau yang didepanku

Adalah Supraba, atau yang di “Manimantaka” berkencan dengan Arjuna

 

Pria pujaanmu,….

Ataukah Ilalang hanya mampu memandangnya

Dan terselip dalam birama alam semesta.

 

(Semarang, 19 Juni 2021).

 

Lusuh

 

Ketika jemariku menghitung lisan dan lidahku

Seribu sayap malaikat menaungiku

Menorehkan hasrat agar hati

Tetap di pinggir langit

Untuk melihat mahkotaku

Ketika dinding kamar mulai menghimputku

 

Warna putih yang membumbung di penjuru

LangitMU

Telah sesaat memberi sapa

Pada hati yang lusuh penuh  gundah

(Semarang, 11 Juni 2021)

 

Ketika Aku Terjaga

Ada sayatan hati yang selalu membekas

Ketika aku mengais debu hingga ujung jalan

Aku sendiri hingga terlena

Untuk membasuh wajah

Dan sekujur tubuhku yang dipingit

Bunga liar,  warna-warni tiada semerbak wewangi

 

Ada juga sekilas heran

Ketika petirpun hendak menyelinap

Menghangus belahan di dada ini

Yang berisi ilalang yang mengering pilu

 

Sebentar ku hanyut dalam arah Sang Maha Luas

Ditepi yang tak pernah berujung

Hingga aku tautkan benang emas

Agar aku merasakan keelokan pagi

Dan burungpun bernyanyi

Lantas hanya sebuah sujud yang tersisa

(Semarang, 11 Mei 2021)

 

Pertemuan

Ketika kaki  yang penat dan telanjang mulai berbicara

Pada sekumpulan batu yang bergerigi

Sementara pohon palmapun telah mengering

Sudah tiada lagi rerimbunan untuk semayamkan

Setengah nafasku, yang mengeringkan tenggorokan

 

Aku hanya mendekat pada Yang Satu

Yang berwajah tepat di titik pandang hidupku

Aku panggil dengan sebuah nama

Sementara gejolak ombak lautpun

Hendak menerkam hati yang telanjang

 

Aku hanya sekerat daging dan tulang

Yang bernafaspun hanya karena IdzinMU

Lantas bilamana telaga hidup

Sudah tak aku hiraukan

Hanya mesra dan larut di pelukMU

Untuk kembali di balik jubah putihMU

(Semarang, 11 Oktober 2020)

 

 Jiwaku

Akhirnya tinggal satu

Yang amat teduh

Bila dibawah Sang Sejuk

Aku hinggapkan

Panas yang melegami tubuh

Keringat yang membusukan kulit

 

Akhirnya tinggal satu

Setelah kulepas pakaian bersulam

Aroma tembang padang

Hanya ilalanglah temanku

Hanya kemunafikan arahku

(Semarang, 11 Oktober 2020)

 

Aku Ingin Pulang

Terasa rindu memenuhi remang semua yang kupunya…
Di atap rumah berhias kanvas prosa
Telah ada bunga bakung yang menawarkan “tawar air dingin”
Aku ingin pulang…
Biar tiada lagi kota yang menepis....
Di atas vas hati, biar aku merasa tegar

Aku ingin pulang
Aku hanya sebersit buih tipis
Menghambur
Kala pelangi mencelup di bunga senja
Biarlah semua menantiku…(Semarang, 11 Oktober 2020)

 

TEH HANGAT CINTA

 


Perjamuan teh saat ini,

memang berenda pagi mesra.

Meski hanya dengan sepotong gula aren

Di atas meja kayu jati “Borneo”

Kita duduk di atas kursi rotan dari

hutan “Bukit Barisan”.

 

Kita tepiskan gumpalan risau

Setelah beberapa teguk teh  kasih...menikam

riuh debu yang meradang.....

Tentang sesumbar anak negeri

Yang memincingkan mata, bersyahwat

dengan perutnya sendiri

 

bersatulah semua yang ada di perjamuan teh

dengan cawan yang merentangkan “santun”

dan senyum manis...kita sedu dengan kasih

Meski hari hari  panjang telah lesu

Tertawan dalam hingar bingarnya fatamorgana

anak negeri.....(Semarang,  25 Nopember 2020)

 

Hanya Satu Jalan

Telah beribu anak panah  “Hrusangkali”

Milik Dewi Srikandi...menggendong episode

Dari bingkai waktu ke lainya.

Lihatlah kuntum seroja yang memerah

di benamkan dalam telaga tragedi...yang berair

hitam pekat dan anyir menusuk

hidung ilalang sang empu jaman.


 

Sudahkah kita usai memetik

Satu halaman buku harian dari

halaman langit biru...tak usai ?

Hingga Serayu, Brantas dan Musi

Telah dipenuhi sampah sampah durjana

yang menepi pada jaman tak bertuan

 

Lepaskan saja baju warna warni

Bila tanpa kelembutan dari pelangi..untuk esok hari

Demi satu jalan,meski sempit

Tapi ramah untuk anak kita

Yang tak beralas kaki....(Semarang,  25 Nopember 2020)

    

Memburu Jarum Waktu

 

Semua pucuk palma,nyiur dan sawit telah meranggas

Dihujani petir dan kata hati yang “angkuh” dan “lidah yang pedas”

Sementara masih teronggok ketidak pastian,

Dari tuan tuan “perlente” menyimpuh manik manik “berias nestapa”

Hati yang terbujur dingin, kini bermandi gempita jaman

Yang berornamen terkuburnya peduli pada sesama nafas

 

Kita belajar pada anak jalanan  yang mengganti nasi

Dengan sepotong doa, agar pagi masih bisa menjemputnya

Kita belajar pada apa saja, untuk memburu waktu

Sebelum “ilalang ganas” melilitkan akarnya

Dan menerkam kita dengan gerigi daunya yang mampu

Merobohkan pagar besi kantor negri

 

Jangan kita melihatnya dari sisi yang salah

Merekapun kini telah berjejer di pematang sawah

Bermandikan mentari katulistiwa, bertaut pada Jaya Wijaya,

Melepas dahaga pada tepian Danau Toba dan Telaga Sarangan

Namun Anak Krakataupun mnyeringai ketakutan

 

Bila saatnya telah tiba

Mereka mampu menikam tebing kokoh  menyatukan

Pasifik dan Atlantik pada kubangan lumpur memerah

Kita harus batasi dengan tirai halus kain sutra

Agar mereka dapat menyimpuhkan kedua kakinya

Menyodorkan nasi hangat dan sepotong ikan asin,

Dengan minuman teh sedu, selembut beranda negri katulistiwa

 

Jangan kau “telikung” jarum waktu

Tidak akan mampu membalik arah putaran bumi

Lebih baik kita membenahi bilik untuk menyusun doa

Dan derap langkah menuju pagi di cakrawala

(Semarang,  25 Nopember 2020)

 

Mengatur Nafas

 

Dalam hembusan angin tenggara, yang meliukan bulir padi

Kita lepas :tajamnya sorot mata”

Untuk diganti dengan tepian kelopak mawar

Atau dongeng sebelum bobo anak desa

Yang dipunggung kerbau mereka merekahkan senyum

 

Kita hentikan dulu semua bara di benak

Agar gmercik air sawah, menjadi santun mngalir

Tanpa menghempas birama “saling melentingkan lidah”

 

Kita dalam sepi, menyeka keringat dingin,

Tanpa genderang baliho jalanan yang lusuh

Seperti anjing kudis menjulurkan lidahnya

Memunguti “kedurhakaan” di jalan terpanggang panas

Dengan debu kemaksiatan yang menampakan terus

giginya yang pongah.

 

Kita dalam sepi, mengatur nafas

(Semarang,  25 Nopember 2020)....