Aku menggelepar dalam rindu
Ingin menggulung rambut sutramu, yang
kau urai di pinggang
Maafkan aku….yang jauh dengan Raden
Arjuna bedanya
Arjuna tinggal di Bungalow tepi
telaga…berair biru membentang
Dengan mobil mewah berkaca anti goresan
Yang tak mungkin dijamah Ilalang miskin
Nampak sama dengan Istanamu
di “Awang Awang Kumitir”
Di bilangan “Indraloka”, yang tak
terjamah banjir rob, apalagi tsunami
Dari cahaya yang berurai tujuh kaulah
yang dapat mewakili
Sebuah senyum,
Lantas aku bentangkan layar perahu
Agar mampu
bersanding dengan “Bathara Indra”,
Meski dengan tangan mengencang aku
tepiskan “Asura”
Yang hendak mengotori peraduanmu…
Ataukah Pasopati milik Arjuna yang
menepisnya.....
Entahlah mungkin juga hanya aku yang
melukiskan
Kala wajahmu bertengger pada pandang tak
terbatas.
Kau duduk dengan
menghibur “Gegermayang dan Lenglengmulat”
Dengan seloroh yang memikat semua dewa.
Aku hanya Ilalang..yang mengerti akan
ketamakan “Niwatakawaca”
Aku hanya sebatas menyusuri lekuk wajahmu
Dari situs internet…,,
Hingga tumbuhlah “Kembang Anggrek
Bulan” di tepi halaman jantungku
Saat kau kunci pintu langit
Dengan titian selembar rambut kuning
keemasan
Lalu kau turun dari mobil sedan merek
para dewa
Bercelana jean ketat, merek keluaran
dari awan awan bidadari
Jemarimu usil, memainkan”iphone”
Kau sambungkan demi sebuah janji
Dengan Raden Arjuna ….pria metropolis
Jantungkupun lari dari rongga dadaku
Mengapa kau lari dari sudut hatimu
Mengapa tidak kau cabut kuncung Semar…
Atau kau booking
penasehat “Sengkuni atau Sang Hyang Dorna”
Agar Bathari Supraba betah
…bercengkerama dengan …
pematang yang rapi dan sejuk
menyemai benih padi..hingga memerah sapi
di kandang
atau memetik sayur,
menyedu kopi dengan pemanis gula aren.
Apalah arti “Arjuna Wiwaha”,…kalau
ilalang kusam tidak
punya halaman prosa di
dalamnya
Sementara hijau Ilalang di kaki langit
Terkadang mampu mengucurkan
air tawar pelepas dahaga
Tapi apakah betul kau yang didepanku
Adalah Supraba, atau yang di “Manimantaka” berkencan
dengan Arjuna
Pria pujaanmu,….
Ataukah Ilalang hanya mampu memandangnya
Dan terselip dalam birama alam semesta.
(Semarang, 19 Juni 2021).
Lusuh
Ketika jemariku menghitung lisan dan lidahku
Seribu sayap malaikat menaungiku
Menorehkan hasrat agar hati
Tetap di pinggir langit
Untuk melihat mahkotaku
Ketika dinding kamar mulai menghimputku
Warna putih yang membumbung di penjuru
LangitMU
Telah sesaat memberi sapa
Pada hati yang lusuh penuh gundah
(Semarang, 11 Juni 2021)
Ketika Aku Terjaga
Ada sayatan hati yang selalu membekas
Ketika aku mengais debu hingga ujung jalan
Aku sendiri hingga terlena
Untuk membasuh wajah
Dan sekujur tubuhku yang dipingit
Bunga liar, warna-warni tiada semerbak wewangi
Ada juga sekilas heran
Ketika petirpun hendak menyelinap
Menghangus belahan di dada ini
Yang berisi ilalang yang mengering pilu
Sebentar ku hanyut dalam arah Sang Maha Luas
Ditepi yang tak pernah berujung
Hingga aku tautkan benang emas
Agar aku merasakan keelokan pagi
Dan burungpun bernyanyi
Lantas hanya sebuah sujud yang tersisa
(Semarang, 11 Mei 2021)
Pertemuan
Ketika kaki yang penat dan telanjang mulai berbicara
Pada sekumpulan batu yang bergerigi
Sementara pohon palmapun telah mengering
Sudah tiada lagi rerimbunan untuk semayamkan
Setengah nafasku, yang mengeringkan tenggorokan
Aku hanya mendekat pada Yang Satu
Yang berwajah tepat di titik pandang hidupku
Aku panggil dengan sebuah nama
Sementara gejolak ombak lautpun
Hendak menerkam hati yang telanjang
Aku hanya sekerat daging dan tulang
Yang bernafaspun hanya karena IdzinMU
Lantas bilamana telaga hidup
Sudah tak aku hiraukan
Hanya mesra dan larut di pelukMU
Untuk kembali di balik jubah putihMU
(Semarang, 11 Oktober 2020)
Jiwaku
Akhirnya tinggal satu
Yang amat teduh
Bila dibawah Sang Sejuk
Aku hinggapkan
Panas yang melegami tubuh
Keringat yang membusukan kulit
Akhirnya tinggal satu
Setelah kulepas pakaian bersulam
Aroma tembang padang
Hanya ilalanglah temanku
Hanya kemunafikan arahku
(Semarang, 11 Oktober 2020)
Aku Ingin Pulang
Terasa rindu memenuhi remang semua yang kupunya…
Di atap rumah berhias kanvas prosa
Telah ada bunga bakung yang menawarkan “tawar air dingin”
Aku ingin pulang…
Biar tiada lagi kota yang menepis....
Di atas vas hati, biar aku merasa tegar
Aku ingin pulang
Aku hanya sebersit buih tipis
Menghambur
Kala pelangi mencelup di bunga senja
Biarlah semua menantiku…(Semarang, 11 Oktober 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar