Jumat, 29 Oktober 2010

Di Antara Langit Dan Bumi

KISAH TENTANG SANG BUMI

Jangan kau sangka lagi
Akan “nina bobo” ibu tercinta…
Kala kita menangis dengan mata terpincing
Sehingga sudah tidak jelas lagi
Warna pagi dengan semburat…
Kuning mentari.

Lantas mau saja kita terlelap
dalam ayunan ibu tercinta
Yang mengusap dengan “batuk kecil Merapi”
Atau gemerecik air kali untuk mandi
Bidadari di Mentawai,

Atau mungkin dengus nafas sang ibu
Sudah tak wewangi, kala atmosfer dikungkung
debu jaman……..
Atau pula wajah elok sang ibu
Berpupur dan bergincu ayu
Telah digurati ornament ego
Oleh nafas nafas yang bergayut di bahunya

Kita mungkin tiada pernah merasa
Bila dalam aliran nadi sang ibu
Telah mengalir prosa tentang peluk cium
Sang pantai dan manja burung
Penghuni hijau pohon jambu dan buah lainnya…………..(Semarang, 29 0ktober 2010).

LANGIT KITA

Telah hilang seloroh dan kidung merdu
Ketika dahulu mereka tetap berbaris
Meski dalam sunyi
Hingga petak sawah dan gurau angin
Tidak jalang menerpa apa yang….
Menusuk ketiak bumi

Mereka berbaris dengan merapat ke langit
Hingga tak ada nafas telanjang.
Yang menghardik dengan petir
Dan mengusap dengan badai,
Serta berpagar hujan setahun

Barisan yang sunyi…….
Adalah yang ada dalam nafas kita
Sehingga tenggorokan menjadi lega
Dan dana tiada lagi tertusuk
Sembilu dari debu debu bermata liar

Barisan sunyi di langit…….
Kini bertaut pada jelaga menghitam
Menaburkan bara mengering di bulir padi
Tiada menyisakan lagi hari esok
Untuk lengan lengan kecil…………………………..(Semarang, 29 0ktober 2010).


“ARCHIPELAGO”

Tarian ini diusung oleh pohon pohon Waisor
Kala masih berjajar rapat
Berias alam ayu
Untuk tempat berkejaran para bidadari

Mereka kini tak lagi berjajar rapi
Untuk menari di ufuk senja hari
Dapatkah kau sodorkan lagi
Sebuah nyanyian pelipur lara
Bukan dengan air mata sendu.
Agar bocah bocah desa
Masih bisa
Mengejar kupu bersayap warna
Dan cengkerik penghibur tidur malam mereka

Menarilah sesuka hati
Agar tsunami menjadi segan menerjang
Agar pula angin muson
Sampai ke tujuannya. …………………………..(Semarang, 29 0ktober 2010).

MERAPI

Jangan lagi kau berduka…..
Tidurlah dengan dengan alam agar pulas
Tiada lagi tanpa selimut bulu bulu domba
Yang menerjang panas

Tidurlah, sampai tak terasa penat lagi
Agar debu debu jalanan tidak liar
Bercanda dengan angin kembara…………………………..(Semarang, 29 0ktober 2010)

PAGI YANG INDAH

Mari kita kayuh perahu angin
Yang berdermaga di bersihnya langit
Berlayar sepanjang warna kain biru
Jangan ada wajah yang menoleh lagi
Biar kita benahi lagi,
Pantai berkanvas nyiur hijau
Berpagar batang bakau

Jangan ada lagi…
Benalu hati yang menghardik
Tiap yang ada di tulusnya
Sebuah torehan
Dari alam di yang “melenggok” tengah kita……………(Semarang, 29 0ktober 2010 ).

Kamis, 28 Oktober 2010

Hanya Sesaat Di Malaysia

Jalan hidup yang dilalui masih banyak berliku., kadang meliuk dan menukik tajam. Sesekali yang dilaluinya hanyalah sebuah jalan yang licin namun penuh duri, meski belum tahu kapan jalan ini berujung, Seperti halnya dengan kehidupan manusia selayaknya.

Kadang Munarsih sampai pucat wajahnya, dan gemeter seluruh kakinya. Bila harus memperdulikan kehidupan ini. Hanyalah setetes nafas yang diberikan padanya oleh Yang Maha Esa, namun kelam dan penuh dengan liku tak berujung.

“Narsih. . .Narsih.. .buka pintunya “. Sebuah teriakan panjang yang menggema pagi – pagi buta, ke tiap sudut rumah Munarsih.
“Ada apa Kang Narji ?. pagi – pagi buta sampeyan sudah geger nggak karuan “
“Aku minta jamunya, semalam aku nggak bisa tidur, karena pusing kepalaku
“Tapi tinggal beras kencur dengan kunir asem Kang !. Jamu ini bisa mengurangi perut sampeyan yang kembung. Sampeyan banyak begadang semalam, sehingga angin malam menyerang perut sampeyan ”. Tutur Munarsih meyakinkan, tak kalah dengan okter spesialis dalam mendiagnosa Kang Narji, yang hobinya cuma ngelayab tiap malam.

”Langsung aku minum jamunya ya Bu Dokter ” Seru Narji seraya menyeringai bibirnya lantaran dia harus menghiasi wajahnya dengan senyuman kecil.
”Weleh, sampeyan melecehkanku ” . Munarsihpun masih melayangkan protes dengan Kang Narji yang ngeloyor pergi setelah mereguk satu gelas jamu tanpa meninggalkan sisa di gelas.

”Lho, bayarnya mana Kang ? ”
”Gampang to, Narsih, kamu kaya nggak tahu Narji saja ” . Jawab Narji tanpa menoleh kebelakang. Tubuhnya kini nggak kelihatan lagi setelah dia hilang di belokan jalan desa.

Tinggalah kini Munarsih dengan senyum geli yang masih saja tertinggal di bibirnya, yang tanpa berhias lipstik barang secuilpun. Namun tetap wajah ayunya masih terlihat menawan.

”Laris jamu kamu Nah !. Tadi Narji pagi – pagi kesini perlu apa ? ”. Belum lagi Munarsih sejenak menarik nafas , kini di tengah pintu depan telah tampak Pakde Warsoyo, dengan senyuman yang lebar sehingga kelihatan kumis putihnya yang lebat terangkat ke atas. Entah kunjungan ini bagi Pakde Warsoyo kunjungan yang ke berapa.
”Lumayan Pak De bisa untuk uang jajan Siswanto dan Novi, mereka berduakan butuh uang jajan dan sekolah. Tadi Kang Narji cuma minta jamu, dia penyakit kembungnya kambuh ”.

”Kalau untuk uang jajan dan sekolah kedua anakmu itu hanya masalah kecil, Nah. Kamu tinggal minta sama aku berapa yang kamu minta. Asal kamu tahu aku saja ! ” . Pagi pagi bener sudah ada rayuan asmara yang tertanam di hati Munarsih. Tapi wanita yang sarat dengan benturan hidup ini hanya senyum sinis saja. Bagi Dia rayuan semacam ini tiap hari sering ia dapatkan dari banyak pria hidung belang di desanya.


Tapi bagi Munarsih, sehebat apapun badai kehidupan nantinya akan sirna juga. Bukankah Kang Parlan suaminya yang sedang mengadu nasib di Malasia membanting tulang demi masa depan dia dan kedua anaknya. Segenggam harapan itulah yang masih saja melekat jauh di dalam kalbunya. Sehingga diapun akan bersikap dingin terhadap pria manapun yang ingin menambatkan hidupnya di pelabuhan hatinya.

Munarsihpun menjadi bersungut-sungut wajahnya, deAngan tegas dan tatapan dingin dia tetap menerima kunjungan Pakde Warsoyo, lantaran apapun alasannya Munarsih adalah bakul jamu yang siap melayani siapa saja yang menghendaki jamunya. Maka diapun tetap saja menawarkan jamu gendong, yang memang banyak disukai oleh tetangga sekampungnya.

”Nggak usah Nah, aku nggak pengin jamu kok, melihat kamu saja sudah sembuh penyakitku ”. Munarsihpun sudah nggak bisa menghitung lagi, sudah berapa ratus kali rayuan gombal orang tua itu dilontarkan pada dirinya.
”Jangan begitu lho Pakde ! , nanti Bude marah !. Apa Pakde nggak kasihan sama Bude ? ”
”Jangan panggil aku Pakde, to Nah. Kasihan aku sama Maryati sudah cukup, hampir ,sebagian besar sawah di kampung ini adalah miliku, yang aku berikan sama Maryati lengkap dengan kerbau yang berapa puluh aku sendiri nggak tahu. Bahkan bulan kemarinpun aku belikan Xenia untuknya . Kurang apa lagi Nah ? ”
”Bukan itu saja yang dibutuhkan seorang wanita, dia juga butuh kasih sayang. Apa lagi Bude sekarang sakit strok, apa nggak kasihan to Pakde ! ? ”
”Nah dokter mana yang belum aku kunjungi Nah !. Semuanya sudah aku kunjungi umtuk mengobati penyakit Maryati. Dan akupun tidak mungkin terus merawatnya, aku sebagai laki – laki normal butuh yang lain to Nah ”.

Munarsih tambah dingin saja tatapan matanya, bahkan kini dia sama sekali tidak sudi beradu pandang dengan lelaki tua hidung belang yang sekarang ada di depannya. Meski sering lelaki tua bangka tak tahu diri itu menjanjinkan segala kekayaan, bahkan separo dari sawahnya dan beberapa rumah gedongakan diatas namakan Munarsih.

Namun bagi Munarsih kebahagian yang akan dia alami hanyalah kesemuan saja, yang sekejap akan sirna di telan cinta sejatinya kepada Kang Parlan dan kedua anaknya
Mataharipun kini sudah tak malu lagi di bilik ufuk sebelah timur, dan kini telah menggantung sepenggalah di langit timur. Munarsihpun kini telah siap bermandi keringat menawarkan jamu gendongnya ke seluruh desanya. Entah hari ini masih adakah segenggam harapan untuk kehidupanya

Yang jelas seperti hari biasanya diapun menaruh jamu gendongnya di sudut pasar tempat dia biasa berjualan bersama dengan pedagang – pedagang kecil lainnya yang memiliki kehidupan tidak jauh berbeda dengan dirinya.

”Narsih aku dapat kabar baik, kamu sudah dengar ? ” . Tanya Yu Minten.
” Kabar apa, Yu ? ” jawab Munarsih penasaran.
” Kamu kenal Suratman, yang tinggal di ujung timur desa kita ”
” Kenal, Yu !, Ada apa dengan Kang Ratman ”. Jawab Munarsih tambah penasaran.
” Minggu kemarin dia pulang dari Malasia, dan kabarnya dia juga mencarimu Nah ! ”

“ Oh. Ya !. Ini mesti ada hubungannya dengan Kang Parlan. Aku habiskan daganganku dulu Yu. Nanti sore aku dengan anak - anak ke rumah, Kang Ratman ”. Jawab Munarsih, hatinya kini diliputi berbagai macam kegetiran, lantaran mengkhawatirkan suami tercintanya yang kini mengadu nasib di negeri seberang.
”Sudahlah Nah, kamu pulang saja. Biar aku saja yang ngurusi daganganmu. Sekarang pergilah ke rumah Suratman, mumpung anak anakmu masih sekolah. Kalau nggak punya ongkos naik colt sayur, biar pakai uang aku saja !.

„Trimakasih sebelumnya ya Yu !. Baiklah sekarang juga aku akan ke sana ”
Jalan menuju rumah Suratman masih berupa jalan desa yang belum bagus, di sana sini masih terlihat lobang – lobang yang hanya ditutup batu – batu padas. Sehingga perjalanan dengan menggunakan colt sayur, memakan waktu yang cukup lama dan membosankan, apalagi bagi Munarsih yang hatinya telah dihinggapi rasa penasaran . Tiak seperti biasanya Munarsih selalu tenang hatinya meski dia hidup dalam penantian. Seakan akan kini dia menemukan berjuta misteri yang tersimpan di hatinya mengenai Kang Parlan suaminya. Entahlah ada apa,. Munarsih sendiripun tidak tahu.

Dari depan rumah, Suratman dan istrinya segera berlarian kecil menyambut kedatangan Mursinah, yang diwajahnya selalu dihiasi senyum ramah, meski menyimpan rasa penasaran yang tak menentu. Mereka kini hanya duduk di serambi rumah, dan Munarsihpun tanpa banyak basi – basi langsung menanyakan kabar Suparlan suami tercintanya.
” Semua manusia kan hanya menuruti apa yang sudah digariskan, termasuk suamimu, Nah !.
”Apa yang terjadi dengan Kang Parlan ? ” dengan tidak sabar Mursinah langsung memotong ucapan Suratman.
” Sabar duku to, Mbakyu ?. Biar Kang Ratman bercerita dulu ”
”Sesampainya disana suamimu tidak segera mendapatkan pekerjaan, seperti yang dijanjikan biro. Sehingga dia disana lama menanggur ”.
”Kok dia tidak kirim surat, to Lik ?. Kalau tahu gitu Kang Parlan tak suruh pulang saja “
”Dia takut membebani dirimu Nah. Tapi percayalah ?, dia masih mencintaimu Nah !. Suamimu adalah tipe laki – laki yang baik “
“Aku selalu percaya Kang Parlan, lantas bagaimana, Lik ! “
“Akhirnya diapun pinjam uang kepada Non Lisa, wanita rentenir asli Indonesia dan sekarang menjadi warga negara Malasia “
“Apa dia masih muda Lik “
“ Amit – amit, Nah. Umurnya dia sudah lebih dari lima puluh tahun”
“Mengapa dipanggil non, apa dia cantik, Lik ? “ . Desak Munarsih, lantaran di hatinya mulai tumbuh rasa cemburu buta.
“Ah, siapa bilang ?. Meski dia minta dipanggil Non Lisa. Tapi kami semua lebih seneng memanggil Mak Lampir. Suamimu sebenarnya hanya meminjam dua ribu ringgit, namun sayangnya suamimu tak kunjung dapat pekerjaan juga. Hingga akhirnya hutangnya membengkan sampai dia sendiri tidak mampu membayarnya “
“Terus akhirnya gimana, Lik “
”Akhirnya Non Lisapun berniat mengadukan ke Polisi Kerajaan Diraja Malasia
”Terus Kang Parlan gimana ? ”
”Dia hanya pasrah, meski hutang dia pada Non Lisa hampir mencapai sepuluh ribu ringgit. Suamimu memang luar biasa Nah. Tanpa sedikitpun dia punya rasa takut.

Kalau toh harus masuk ke penjara dia siap menjalani ” . Suratman diam sejenak, entah karena apa dia tidak melanjutkan pembicaraan mereka untuk sementara. Dia kini hanya asyik mereguk kopi panasnya. Barangkali saja penderitaan dia dan teman – teman TKI selama di Malasia, sungguh sangat berat, termasuk juga penderitaan Suparlan.
”Aku nggak nyangka kalau Kang Parlan akan mengalami hal semacam ini. Sebenarnya aku nggak setuju dia ke Malasia. Lebih baik kita hidup di desa apa adanya, ketimbang hidup di negeri orang tapi begini jadinya ”.
”Tapi Non Lisapun akhirnya melunak dan mau memutihkan hutang suamimu, asal Suparlan mau mengawini Non Lisa, karena secara diam diam Non Lisa menartuh hati sama suamimu yang ganteng. Meski Non Lisa sendiri sudah memiliki suami, yaitu Mr, Chen,. Pria asli Malasia dan kaya raya. Tapi umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahunan ” .
”Akhirnya merka berdua apa nikah secara sah, Lik ? ” . Munarsih menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan itu, meski sebenarnya dia
sudah tidak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun. Hatinya kini terbelah menjadi berkeping – keping. Penantian dia selama dua tahun lebih, hanya kandas di telan kegetiran.
Munarsih yang dari kecil hidup hanya di lingkungan keluarga petani gurem, hampir tidak pernah merasakan kebahagiaan. Benturan dan kesulitan hidup tiap hari dia jumpai, Hingga tercetaklah dia menjadi sosok wanita yang tangguh dan berani menghadapi hidup. Namun menghadapi cobaan hidup seperti ini, dia hampir tak mampu bertahan untuk tetap tegar.

”Nggak, suamimu menolaknya, dia hanya minta supaya nenek gila itu memutihkan hutangnya saja. Kemudian seterusnya aku nggak tahu lagi , Nah. Karena aku nggak tahan lagi hidup di sana dan memutuskan untuk kembali ke desa ini. Dia hanya menitipkan uang ini untukmu dan berpesan. Suatu saat dia pasti akan pulang mendampingimu lagi, Nah. Dia tidak mau kehilangan Siswanto dan Novi. Hanya seperti itu yang aku tahu. Sekarang terimalah uang dari suamimu ! ”.

Meski hari belum sore benar, terlihat langit biru yang cerah masih menemani mereka. Namun bagi Munarsih, seakan –akan dia berada di tengah badai yang dasyat, dan langit berwarna kelam. Hinga akhirnya dia hanya dia membisu sembari menerima uang dari Kang Parlan dia kinipun berpamitan untuk segera pulang.
Dua tahun silam Munarsih memang merencnakan meninggalkan kampung halamannya dengan hati yang bulat. Uang yang diterima dari Kang Parlan suaminya sekarang telah digunakan untuk modal membuka warteg di Jakarta bareng sama kakak kandungnya dia, yaitu Munarti. Karena keuletan wanita yang sarat penderitaan ini, wearteg yang ditekuni kini telah ramai dikunjungi pelanggan.

Meski keberangkatan dia ke Jakarta kala itu , banyak pihak yang menghalanginya, namun dia tetap saja membulatkan tekad. Semata-mata hanya ingin melupakan derita hatinya yang kian tak pasti. Untuk melupakan Kang Parlan justru memang harus meninggalkan desa ini, dan menyibukan diri dengan membuka warung, selain memang jualan jamu gendong dirasa memang sudah tak bisa untuk membiayai kedua anaknya.

Hingga akhirnya keluarga Munartipun sekarang hidup bahagia, meskipun Munarsih belum mau juga mendapatkan pengganti Kang Parlan disisinya, Karena dia tidak mau melukai perasaan kedua putranya itu. Apalagi bagi Novi putri bungsunya yang masih kerap menanyakan Kang Parlan. Cukup dia saja di
dunia yang biasa kehilangan segala sesuatu, kehancuran sebuah hati jangan sampai dirasakan oleh kedua putranya itu.

Sering bila malam hari tiba, kala melihat kedua putranya tertidur saling berpelukan. Munarsih menitikan air mata kesedihan. Dia tak tega melihat kedua anaknya hidup tanpa seorang ayah disisi mereka. Namun perasaan itu akan hilang bila melihat mereka berdua saling ceria, membantu ibunya di warung setiap habis jam sekolah. Dan untuk menemani kedua anaknya yang kesepian, Munarti kakaknya sering menghibur mereka berdua. Hingga tidak terasa telah dua tahun mereka hidup di Jakarta.

Musim penghujan di Jakarta telah tiba, langit mendung tiap hari menggelantung. Hujan seharian tiada henti, udarapun terasa begtu dingin. Sehingga berita mengenai banjir di berbagai tempat di Jakarta telah m,ereka dengar. Munarsihpun enggan membuka warungnya. Dia dan kedua anaknya lebih senang membersihkan rumah mungilnya milik mereka sendiri, hasil memeras keringat di Jakarta selama lebih dari dua tahun.

Sesekali Hp miliknya berdering, namun setelah di buka seketika itu juga terdengar nada putus. Memang Munarsih kerap menerima telepon dari pria iseng dan dia selalu mengabaikannya.
Dari dalam rumah mungil itu, terdengar derai tawa Munarsih dan kedua anaknya, sesekali terdengar juga tawa Munarti dan anak – anaknya yang kala itu kebetulan bertandang ke rumah saudara kandungnya itu. Tanpa mereka sadari, ulah mereka dari tadi telah diamati sepasang mata yang kini meredup sendu.

Udarapun bertambah dingin. Sedangkan malam bertambah larut, sehingga mereka semua yang sedang ceriapun berniat untuk pergi tidur mengurai mimpi. Munarsihpun berniat untuk mengunci pintu depan, lantaran udara malam mulai mengrogoti rumah mungil itu dan semua yang ada dalamnya sudah mulai enggan membuka matanya.
”Narsih ” . Terdengar panggilan dari suara yang betul – betul dia hafal. Namun seketika itu dia tidak percaya. Apakah betul suara itu dari Kang Parlan yang hampir lima tahun tak pernah mengunjunginya.

”Narsih, apa kamu lupa sama aku ? ” . Kini dia yakin betul bahwa suara itu, tidak lain adalah suara Kang Parlan suaminya.
”Kang Parlan, kamu pulang ?. Betulkah sampeyan Kang Parlan ? ” Sekali lagi Munarsih mencoba untuk meyakinkan kembali.
”Apa di dunia ini ada dua Parlan. Apa kamu sudah berhasil menemukan pengganti Parlan ”
”Oh tidak Kang !, aku hanya tidak percaya apa sampeyan masih ingat Novi dan Wanto ? ”
”Tolong, Nah !. Panggil mereka ke sini, aku kangen ”
”Iya Kang, tapi masuklah dulu. Wanto , Novi keluarlah ” . Teriakan mamanya itu segera mereka dengar. Sehingga tanpa menunggu waktu berlarilah mereka keluar rumah diikuti Hendra putra Munarti,
Novi dan Siswanti terbelalak kaget bukan kepalang, karena mereka kini dapat melihat bapak mereka yang sudah lima tahun meninggalkan. Kontan saja mereka segera menubruk sosok yang selama ini mereka nantikan.


Rumah mungil yang tadinya dingin, sedingin hati Munarsih dan kedua anaknya. Kini terasa hangat. Jendela hati Munarsih yang telah lima tahun terkunci rapat kini terbuka lagi, untuk berdua dengan Suparlan menengok nyanyian burung pagi hari.

Karso Dan Minah

Senja kini telah menyelimuti Dukuh Selo di kaki Gunung Merapi, temaram sinar mentari telah pula merambah wajah dukuh itu yang diselingi menebalnya kabut dingin, yang mengubah wajah dukuh Selo menjadi senyap dan pohon-pohon rindang terlihat terbujur kaku. Sementara itu kegiatan bertani dari semua penghuni menjadi terhenti. Mereka segera berbenah menyongsong malam-malam panjang dibuai angin dingin Gunung Merapi.

Silih berganti warna kehidupan mereka sebagai petani gurem yang tidak menentu, tanpa mereka perdulikan, Asal saja tanaman sayuran yang mereka pelihara, berhasil mereka panen berarti pula masih ada secercah kehidupan yang berhasil mereka lalui. Kalau toh tanaman sayuran telah membusuk dimakan serangga atau hama lainnya, pertanda mereka harus bekerja lebih keras lagi di masa mendatang. Merekapun terima dengan penuh tawakal.

Namun hidup adalah perwujudan cinta yang berasal dari pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa kepada makhlukNYA, tak perduli siapopun berhak menerimanya, asalkan kita tetap ingin menjadi insan yang berniat mengisi karunia ini dengan ikhlas dan tawakal.

Cinta kasih antara sesama mereka sebagai manusia juga berhak mereka terima dan berikan kepada satu sama lainnya, meskipun kehidupan sebagai petani gurem sangatlah tidak banyak menjanjikan kebahagian duniawai. Dengan demikian apakah terlarang bagi mereka untuk merenda cinta kasih antara dua sejoli yang telah menjadi fitroh, apalagi bila mereka adalah dua sejoli yang saling sepakat untuk membangun bahtera kehidupan.

Beruntunglah bagi mereka yang mengejawantahkan hidup ini bukan melulu dari kebahagian duniawai. Bukankah kehidupan yang mereka harapkan adalah kehidupan yang saling memberikan manfaat satu sama lainnya dengan belaian kasih sayang. Seperti yang dijalani di kehidupan sehari-hari oleh Karso bersama dengan keluarganya sebagai petani gurem.

Karso sebagai putra sulung dari keluarga Pasangan Randeng dan Tumirah beserta dengan tiga saudaranya yang hidup sangat sederhana, melewati hari-hari kehidupannya dengan membanting tulang, memanfaatkan tegalanya yang tidak seberapa luas, ditambah dengan penghasilan tambahan sebagai kuli bangunan atau apa saja yang mampu menghasilkan uang halal.

Sudah barang tentu Karso yang hanya tamat SMK itupun juga tidak tinggal diam untuk membantu bapak dan emaknya dalam menjalankan roda kehidupan. Termasuk juga biaya
sekolah ketiga adiknya yang masih kecil. Maka wajar saja bila Karso tumbuh menjadi remaja yang tegar hidupnya dan tegap badanya sekaligus memiliko otot yang berisi dan berwarna legam karena harus bergelut dengan sinar matahari.

Namun bukan itu semua yang diinginkan Karso, melainkan kegigihan dan pantang kehilangan harapan untuk membenahi kehidupan di masa depanya, itu sudah cukup bagi remaja yang telah didewasakan oleh kehidupannya ini.

Idealis yang tertanam kuat di benaknya semenjak dia masih duduk di bangku sekolah, untuk semenatara luluh-lantak dimakan kebutuhan untuk membantu ortunya. Jangankan untuk kuliah di kota besar, untuk makan sehari-haripun dia harus bergelut dengan tegalan dan sayurnya. Bergelut pula dengan nasib sebagai anak desa yang akrab dengan penghidupan yang tiada menentu.

Apa mau dikata nasib telah mencetaknya demikian, namun sungguh beruntung sekali Karso yang telah ditempa lahir batin oleh Randeng bapaknya, sebagai petani gurem yang telah banyak memakan garam dan kesabaran kehidupan. Kehidupan dan kesuksesan meski hanya sejengkal tidak akan datang begitu saja. Semua harus diraih dengan berkorban untuk diri kita sendiri. Mengapa tidak ?, bukankah semua kehidupan Randeng dan Tumirah walau seberapa kecilnya, selalu diraih dengan pundak mereka sendiri ?.
Karsopun menyadari hal tersebut, maka wajar saja bila dia bertekad untuk memulai segalanya dari kegiatan bertani sayuran di kebon bapaknya ini. Tak perduli apapun yang harus dia alami, bukankah kesuksesan tidak harus dimulai dengan berlimpahnya harta. Telah cukup banyak dia saksikan kesuksesan saudagar-saudagar
2
kaya dikampungnya dimulai dari kegiatan bertani seperti dia. Jangan harap bisa meraih kesuksesan bila kita sendiri menjadi musuh kesuksesan yang dapat kita raih.

Demikian bisik hati kecil Karso di tengah kebonya yang hanya ditemani tajamnya sinar mentari yang membakar tubuhnya. Tangkai cangkul yang kini telah dibasahi keringatnya dikeringkan agar tidak licin lagi, sementara dia kini berjalan menuju bawah pohon yang
rindang di tepi kebunnya , untuk meneguk air putih guna membasahi tenggorokannya yang kering sambil beristirahat sejenak. Karena matahari kini telah berada tepat di atas kepalanya.

Sambil menikmati air teh bekal yang dibawanya dari rumah, anganya kini kembali ke masa-masa dia masih sekolah. Sungguh indah cita-cita yang dulu pernah dimiliki, sama seperti teman-temanya kala mereka masih gaul bareng. Diantara Karso dan temen-temenya tiada satupun yang bercita-cita apa adanya. Selalu saja mereka bareng memiliki cita-cita yang setinggi langit. Namun apalah artinya sebuah cita-cita, toh semuanya terhempas dengan kenyataan hidup ini.

Termasuk juga cita – cita yang pernah dia ungkapkan kepada Minah, cewek gedongan yang manis manja, putra kesayangan juragan Iskandar, tuan tanah yang paling sukses di desanya. Kadang pula Karso merasa malu sendiri, terlebh bila berpapasan dengan cewek
kolokan itu, bila melihat kenyataan dengan cita-cita yang pernah dia ungkapkan di depan bunga desa itu.

Biar saja bumi ini akan berputar terbalik, asal saja matahari dan bulan tetap saja pada kedudukannya masing-masing, meski saling berseberangan, sementara tiupan angin gunung inipun kuharapkan masih memberi secercah kehidupan bagi diriku. Biar saja yang aku miliki hanya angan tak berbatas, asalkan saja bahuku yang legam ini masih mampu menyandarkan hidupku.

Meski cita –citaku dulu sangat bersebrangan dengan kenyataan, namun bumi belum berhenti berputar. Karso belum gagal untuk mendapatkan kehidupan ini, masih ada pula tempat di sudut bumi ini yang akan memberikan kesuksesan bagi dirinya walau hanya sejengkal. Itulah suara hati nurani yang selalu berkumandang dari kalbu remaja desa yang tidak pernah mengenal menyerah.

Udara panas tengah hari kini terasa lebih menyengat, Karso segera menyandarkan punggungnya di pohon akasia di salah satu pojok kebonnya. Topi capingnya ia kipaskan untuk mengurangi gerahnya tubuh, yang sudah dibasahi keringat Kedua kakinya telah diluruskan untuk mengurangi kepenatan, karena sejak pagi dia terus berdiri mencangkul

Basah peluh tubuhnya kini menjadi saksi akan kegalauan hatinya, masihkan bisa dia bareng Minah berangkat sekolah naik mobil bak terbuka seperti dulu lagi, berdesak-desakan dengan pedagang sayur yang mau ke pasar. Meski Minah sebenarnya mampu bersepeda motor ke sekolah bila dia mau, namun dia lebih memilih bersama temen-temen sekampung bercanda-ria di atas mobil sayur , termasuk bareng dengan Karso.

Canda–ria tiada batas antara mereka terasa sangat mengasyikan, meski mereka bersekolah di sekolah yang berlainan. Namun keakraban antara remaja desa yang tiada memandang perbedaan membuat mereka merasakan kesenangan yang tersendiri. Kelok jalan desa ditambah dengan naik-turunya jalan, tiada mereka takuti meski mereka berada di tumpukan sayuran.

Desiran hati Karso terasa begitu tajam bila dia beradu pandang dengan Minah, yang juga tersipu malu wajahnya. Apalagi bila Karso memandanginya lebih tajam, wajah Minah menjadi merah tersipu malu, dan tak lama kemudian merekapun saling melempar senyum. Kedua remaja itu kinipun mulai merasakan kebahagiaan. Mereka mulai mengerti , arti dari sebuah senyuman. Apalagi bila mereka satu hari tak bertemu, merekapun menjadi gelisah mendambakan saat pertemuan.

Karsopun belum berani menyimpulkan ini sebagai suatu cinta yang bersemi di hati mereka berdua. Apakah arti semua ini ?. Toh wajar saja bila mereka yang dah lama saling kenal dan konco bareng berangkat ke sekolah mengalami hal-hal yang seperti itu.

3
Ah.. . . betapa indahnya hari itu kala dia bersama Minah pulang sekolah berdesakan di bak mobil sayur, Karso teringat pula saat dulu entah karena apa sebelum mereka mencapai rumah, mesin mobil sayur yang ditumpangi itu mogok secara tiba-tiba. Akhirnya semua penumpangnya turun dan berjalan kaki bareng. Kebetulan hanya dia dan Minah yang rumahnya paling jauh, sehingga kini tinggalah mereka berdua berjalan seiring menyelusuri jalan desa yang turun-naik dan berkelok.

Mengalami kejadian ini Minah bukannya bersikap uring-uringan, tetapi malahan sebaliknya senyum manis tersungging di bibir tipisnya yang merah merekah dan langsung saja dia menggandeng Karso untuk menyelesuri jalan desa ini.

“ Ayo So !, kita jogging aja !, dah deket kok rumah kita “

“ Entar lu cuapek, Min ?. Kita tunggu aja mobil yang akan lewat “ . Karso sebenarnya tidak tega membiarkan Minah, berjalan di bawah terik matahari.

“ Hualah ngenyek lu, jaraknya paling nggak seberapa kok So “

“Ya udah terserah lu aja “ jawab Karso yang terheran dengan sikap cewek gedongan ini, lantaran tidak seperti biasanya Minah bersikap mau mandiri seperti ini.

“Nggak keberatan kan So !, jalan bareng sama aku ? “. Sekali-kali Minah memang suka manja sama siapa aja, termasuk entah mengapa dia juga seneng manja dengan temen deketnya Karso.

“ Waduh ! , , , siapa sih yang keberatan jalan bareng ama, lu “

“Emangnya kenapa ! “ tanya Minah sambil menghadapkan wajahnya kepada Karso lebih dekat lagi dan melemparkan pandangan matanya kepada Karso dalam-dalam, seakan akan Minah mengharapkan jawaban yang jujur dari Karso. Sesaat pandangan mata kedua remaja ini saling bertemu dan tak lama kemudian tinggal tersisa senyum kedua remaja yang tersungging di bibir masing-masing.

“Apabila kembang mekar menebarkan wewangian ke semua penjuru mata angin, maka pastilah datang kumbang berniat hinggap di kelopaknya, sambil menikmati indahnya warna-warni kembang itu” .

“ Ini llagunya siapa, So ? “

“ Ini bukan lyric lagu, tapi puisi bebas karangan aku sendiri “

“Kirain album terbaru KD, So ! Lu kan belum jawab pertanyaanku, kenapa lu seneng jalan bareng aku sih ? “

“ Ya . . .itu tadi jawabanku, pakai puisiku tadi “

“So aku bukan sastrawan atau maestro atau apa itu pengarang lagu, aku nggak ngerti maksudnya, Jawab dong So ? “. Pinta Minah dengan rengekan kecil mirip anak kecil yang manja.

“Kamu itu cuakep . tuan putri !. Bagaikan kembang mawar yang sedang mekar dan menawarkan wewangian ke semua kumbang yang dahaga. He. . .he.. .he. . .maka siapa saja seneng kalau main bareng sama lu !. Sudah selesai jawaban hamba, tuan putri ! “

“Idiih, kamu genit So, “ jawab Minah sambil berusaha mencubit punggung Karso. Karsopun segera menghindar cubitan Minah. Kini terlihat kedua remaja yang sedang bercanda
ria, berkejaran mirip acting film India, tak memperdulikan teriknya matahari dan hilir-mudiknya mobil sayur yang melewati jalan itu.

Sekali - sekali terdengar bunyi klakson mobil dan makian sang supirnya, lantaran ulah mereka yang menganggu lalu lintas. Hingga suatu ketika terdengarlah klakson yang keras diiringi bunyi ban yang berderit tajam dari arah
4
belakang mereka berdua. Secara spontan Karso memeluk Minah dan mendorongnya ke arah pinggir jalan. Sehingga kini mereka berdua bergulingan di tanah dan selamatlah kedua insan itu dari terjangan mobil dibelakangnya.

Kontan saja sang supirpun menjadi berang bukan kepalang, apa jadinya bila truk sayur yang dikemudikan menggilas tubuh mereka berdua. Namun kedua remaja itupun tidak menggubrisnya, karena mereka kini telah terjerambab di tepi jalan dengan posisi saling berpelukan. Pososo Karso yang kebetulasn diatas menindihi Minah, kemudian melepaskan pelukannya dan perlahan-lahan bangkit sambil menjulurkan tangan kepada Minah umtuk membantunya berdiri.

“Trimakasih So, telah menyelamatkan aku “ seru Minah dengan raut muka yang memerah lantaran tersipu malu. Karsopun tidak tahu harus berbuat apa, karena kejadian itu sama sekali bukan hal yang direncanakan. Yang ada dibenaknya kini hanya rasa malu yang tiada terkira, karena perbuatan itu menurutnya adalah tetap saja perbuatan yang tidak senonoh.

“ Maafin aku ya Min !, aku tidak bermaksud. . .. . . ”

“Udahlah So, aku tahu kau tidak bermaksud kurang-ajar, thank a lot of So “ . Minah sama sekali menyadari perbuatan Karso tadi. Meski diwajahnya masih menyimpan perasaan malu, tapi apalah jadinya tadi bila tak diselamatkan Karso. Sehingga yang ada di perasaannya kini hanyalah perasaan terlindungi. Meski beberapa pasang mata ikut menyaksikan kejadian romantis tadi. Bahkan hanya Minahlah yang mampu menjelaskan perasaan yang timbul dari benaknya yang paling dalam. Maka kini hanyalah senyum manis yang menghias wajah Minah gadis desa yang selangit.

“Eeh . . ayo dong kita pulang, jangan bengong aja kaya patung “ Minah segera menarik lengan Karso yang masih berdiri bengong, lantaran masih tidak percaya dengan kejadian tadi. Karsopun kini hanya melangkah menuruti kemauan Minah. Kedua remaja itupun kini kembali dengan nuansa-nuansa canda-ria sepanjang jalan desa menuju rumah masing.

Sementara di kanan-kiri jalan desa yang mereka lalui, terlihatlah daun-daun rumput gajah yang meliuk ke kanan kiri diterpa angin Gunung Merapi, menimbulkan suara gemirisik . Menghantarkan salam cinta kepada dua remaja yang sedang di mabuk asmara. Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Sementara itu Karso masih asyik dibuai lamunannya tentang kisah indah yang lalu kala di masih duduk di SMK di Boyolali. Tak beberapa lama Karsopun terbangun dari lamunannya, lantaran suara ramai burung-burung gereja yang bersenda-gurau di dahan atas pohon akasia.

“ Aku perhatikan dari tadi selalu saja sampeyan terbawa lamunan masa lalumu , So !. Itu nggak baik untuk pemuda seperti sampeyan. Lihatlah aku ini . So !, Apapun yang aku alami, selalu saja aku terima dengan lapang. Yang penting upaya kita untuk masa depan jangan pernah diabaikan “.

Seru Kang Amri mencoba mendekati Karso, yang sedang duduk istirahat di bawah pohon akasia. Sementara bekal dari emaknya masih utuh belum dimakan sedikitpun oleh sahabatnya itu. Pertanda dalam diri sahabatnya kini sedang dihinggapi kegetiran hati. Menjumpai keadaan seperti ini, dalam hati Kang Amripun timbul rasa prihatin yang mendalam terhadap Karso.

Karuan saja Karso menjadi tersentak kaget mendengar penuturan sahabatnya itu yang kini tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya, karena dari tadi Karso tidak memperdulikan kehadiran teman setianya itu. Meski mereka berdua memiliki nasib yang sama-sama tak menentu, namun perhatian antar mereka berdua sungguh tiada duanya. Kebetulan saja Kang Amri juga petani sayur yang menggarap lahan disamping lahan milik Karso. Hanya saja Kang Amri berumur 4 tahun lebih tua dari Karso, dan baru tahun kemarin Kang Amri membina maghligai keluarga dengan gadis desa tetangganya yang bernama Ngatini.

Sehingga Kang Amripun tahu persis apa yang ada di benak sahabatnya itu. Terlebih-lebih mereka berdua adalah sahabat kental sejak masa kecil. Maka tentu saja Kang Amri telah mengetahui hitam-putih diri Karso.

5
Yang jelas segala nasehat ataupun saran yang akan mampu membuat perubahan baik untuk dirinya, Karsopun tidak segan-segan untuk menerima dengan lapang dada. Maka langsung saja Kang Amri berniat untuk menguatkan hati sahabatnya itu, agar mau bertekad membuang jauh-jauh lamunan Karso yang tak berujung itu

“Ah. . . aku hanya kecapaian, Kang ! “. Karso berusaha menutupi apa yang bersemayam dalam sudut hatinya.

“Aku juga pernah muda, So !. Tiada yang mampu membuat anak muda menjadi tak berdaya, kecuali menghadapi kegagalan cinta “.

“ Aku dah melupakan Minah kok, Kang ! ”

“Sukur kalau sampeyan bertekad seperti itu, tapi hati sampeyan belum bisa !. Selamanya kalau sampeyan tidak bertekad menghapus kenangan lama, akan membuat sampeyan tidak gairah “

“ Gairah apa to Kang ? “

“ Ya. . . namanya orang hidup, pasti ingin mendapatkan segala-galanya agar hidup kita bahagia, tentram dan damai. Meski kita hanya petani sayur , yang nggak punya masa depan. Karso hanya terdiam seribu bahasa, pandangan kini jauh ke depan. Mencoba membangkitkan angan-angan tentang apa yang akan dilakukan untuk masa mendatang. Bukankah dia masih memiliki rentang waktu yang masih panjang, untuk mengisi hidup ini dengan segala sesuatu yang dapat berguna untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat di sekelilingnya.

Apakah kehidupan yang selama ini tidak bersahabat dengan dirinya ini, masih bersedia menempatkan dirinya menjadi manusia yang bernasib sesuai yang diimpikan Karso, ataukah dia hanya cukup seperti ini saja. Pertanyaan seperti itu tiada henti-hentinya melintas di benak Karso, bila dia mengalami kegalauan hati, akibat dari kehidupan yang sudah mulai pengap ia rasakan. Sedangkan Karsopun tahu bahwa Minah adalah gadis desa yang tidak mendewakan duniawi, namun setidak-tidaknya Karso tidak ingin bila keluarga yang dimiliki kelak hanya puas sebagai petani gurem. Meski dia selama ini mampu menghadapi kehidupannya dengan tangguh dan pantang menyerah, namun belum tentu putra-putranya kelak bisa bersikap seperti dia..

Masih saja melintas di hatinya untuk bisa memiliki Minah, cewek yang begitu kuat melekat di hatinya. Hanya kepada dialah Karso berniat untuk mewujudkan segala impiannya. Meskipun impian yang dimilikinya itu telah kandas. Apalagi selama ini dia menyaksikan sendiri betapa ulet dan gighnya orang tuanya dalam membiayai pendidikan dia meski hanya sampai tingkat SMK, Suatu kebanggaan sendiri bagi Pak Randeng yang sudah begitu sarat dengan hidup yang membebaninya. Akankah perjuangan ortunya selama ini akan sia-sia saja.

Karso hanya tertunduk lesu, disekanya keringat yang masih saja deras membasahi wajahnya. Cangkul yang sejak tadi pagi melekat kuat di tangannya yang kokoh, kini dibiarkan saja melintang di depannya. Pandangan matanya mulai sayu lantaran dia merasakan himpitan penderitaan yang demikian beratnya. Belum lagi beban biaya sekolah ke tiga adiknya, tentu saja semua ini seharusnya menjadi tanggungannya, karena kedua bahu Pak Randeng sudah tak sekokoh dahulu. Ditambah lagi kehidupan petani gurem sudah tidak banyak menjanjikan kehidupan yang layak.

“Pendek kata, So !. Selama kita belum mampu berhasil memperjuangkan nasib kita sendiri, selalu saja kepahitan hati yang akan kita temui dan disitulah letaknya manusia harus banyak bersabar “. Kata-kata Kang Amri tadi sedikit membuat hati Karso agak terbuka dan Karsopun merasa menemukan sedikit obat hati yang dimasukan dalam-dalam ke lubuk hatinya.

“ Lantas aku harus bagaimana Kang !. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa “

“Desa ini tidak mampu menjanjikan apa-apa untuk pemuda sepertimu “ Jawab Kang Amri dengan tegas.

“ Maksud Kakang gimana ? “

6
“Merantaulah ke Jakarta atau Semarang atau lainnya, bila sampeyan tangguh. sampeyan akan mampu merubah nasib “

“ Rasanya nggak mungkin Kang ! ”

“Mengapa nggak mungkin, aku memang tahu, berat rasanya bagi sampeyan meninggalkan desa ini. Apalagi Kang Randeng sudah sakit-sakitan. Tapi ingat lho So !,
Sampeyan adalah tamatan SMK Jurusan automotif, Sampeyan nggak bakal bisa memanfaatkan ijazah sampeyan. Sayang lho So, bila engkau tetap menjadi petani gurem “ .

“Bapak mungkin nggak ngasih ijin, Kang ! Sebenarnya aku juga punya rencana kaya gitu ! . Tapi aku berpikir juga, nanti siapa sih yang akan membantu bapak di sawah ? “.

Dalam hati Karso memang timbul rasa bimbang untuk menentukan pilihan itu. Lantaran kondisi bapaknya yang sudah mulai sakit-sakitan. Sehingga Karsopun tetap memilih untuk tinggal di desa ini, sambil membimbing dan mengawasi ke tiga adiknya yang masih kecil.

Apalagi semenjak Minah kuliah di Jogja setahun yang lalu, dia sama sekali sudah nggak betah tinggal di desa ini. Dia ingin segera melupakan Minah tambatan hatinya yang sengaja di kuliahkan di Jogja oleh Juragan Iskandar, agar putri kesayangannya bisa melupakan dirinya. Entahlah Karso tidak tahu harus berbuat apa, agar dia mampu melupakan Minah demi kebahagian Minah sendiri.

Terkadang pula Karsopun berniat untuk membuktikan kepada Juragan Iskandar, bahwa dia bukanlah pemuda yang bisa dipandang rendah dan dicaci sesuka juragan itu. Kejadian satu tahun yang lalu memang sungguh menyayat hati dia dan ortunya. Cacian dan hinaan yang dilontarkan juragan itu di depan
orang banyak, sungguh selalu terngiang di telinganya kemanapun Karso pergi. Belum lagi tangis emaknya yang begitu dalam menahan sakit hati atas perlakuan itu.

Meskipun Pak Randeng lebih mampu menahan perasaan sakit hatinya, namun tetap juga bapaknya Karso itu tidak mamupu menyembunyikan kegetiran hatinya. Pertanda dari raut mukanya yang kelihatan bertambah tua. Lebih sering menderita sakit demam, terutama bila tengah malam yang bercuaca dingin. Namun karena bapaknya adalah laki-laki yang sejak kecil akrab dengan penderitaan hidup , maka Pak Randeng lebih mampu bersikap tegar. Dan untuk yang satu ini, Karsopun bangga dengan sikap bapaknya yang bisa dijadikan teladan.

Jujur saja Karso mengakui bahwa dengan ketegaran dan kedewasaan yang dimiliki bapaknya, sudah cukup bisa dijadikan bekal hidup bagi pemuda sederhana itu, apabila Karso mampu berdiri setegar bapaknya. Karena kekayaan materi hanya salah satu bentuk saja dari suatu kebahagian yang diperjuangkan setiap manusia. Namun hakekatnya kaya dan miskin terletak di dalah relung hati tiap insan itu sendiri.

Bukankah Minah sendiri yang sering bertandang ke rumah Karso yang reot untuk mengajak jalan-jalan menyusuri jalan desa yang menembus kebon-kebon sayur milik warga
desa itu, untuk bercumbu rayu dengan Karso kekasih hatinya. Pemuda yang menurut Minah memiliki pribadi yang matang dan dirasakan mampu melindungi Minah sera bertanggung-jawab. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan watak Minah itu sendiri.

Minah merasakan kelembutan belaian kasih sayang Karso terhadap dirinya, meski Karso hanya anak seorang petani gurem. Segala macam peluk dan cium selalu Minah dapatkan apabila mereka berdua memadu kasih, disaksikan oleh temaramnya senja di Desa Selo Kaki Gunung Merapi. Minahpun merasakan tiada dunia selain disisi Karso. Sehingga hanya kepada pemuda inilah Minah akan menyerahkan hidupnya.

Meski dia nantinya hanya berperan sebagai istri seorang petani gurem, bila Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menjodohkannya. Namun ada hal yang terselip di hati Minah yang tidak mampu ditebus oleh apapun jua, yaitu cintanya yang bening kepada Karso pujaannya. Demikian pula kasih-sayang yang demikian lembut dan tulusnya, mampu Minah dapatkan dari pujaan hatinya.

7
Rupanya drama cinta yang telah diperankan dua insan ini terdengar hingga ke telinga Juragan Iskandar. Satu dua kali kabar yang didengarnya tak pernah digubrisnya. Namun kabar tentang putri kesayangannya itu semakin santer terdengar di telinganya. Ditambah lagi sering Juragan Iskandar jumpai perubahan sikap Minah yang suka ngelayab, malas membantu ibunya di rumah dan kadang pula sering dia temui sikap Minah yang sering melamun.

Maka pada suatu hari, Karsopun ingat betul betapa dia tak mampu melupakan begitu saja kisah yang sangat menyakitkan itu. Juragan Iskandar dengan dikawal beberapa anak buahnya melabrak Karso di rumahnya. Kebetulan saat itu Minah sedang bertandang ke rumah Karso. Saat Minah. Pak Randeng dan Tumirah emaknya Karso sedang asyik berbicara di ruang tamu yang berdinding bambu, masuklah rombongan Juragan Iskandar tanpa basa-basi menanyakan keberadaan Karso.

Beberapa anak buah Juragan Iskandar tanpa permisi Pak Randeng, dengan kasarnya menyeret tubuh Minah dan membawanya pulang. Sedangkan sebagian lainnya langsung masuk
ke dalam rumah Pak Randeng yang hampir roboh itu untuk mencari Karso. Setiap sudut rumah
Pak Randeng tidak ada yang luput dari pengamatan mereka.

Sementara teriakan minta tolong dari Tumirah dan Minah yang diculik secara kasar telah membuat para tetangga Pak Randeng berhamburan keluar, tetapi apa yang dapat mereka lakukan. Karena memang telah kesohor dimana-mana bahwa anak buah Juragan Iskandar tidak pernah mengenal belas kasihan dan bertangan dingin dan dengan cara seperti inilah Juragan Iskandar mampu mengelola dagangnya hingga berkembang pesat.

Tak lama kemudian mereka berhasil menyeret Karso hingga sampai halaman rumah. Dengan wajah dingin dan tak mengenal belas kasihan, mereka beramai-ramai melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh Karso yang terus menerus berteriak kesakitan.

“Karso !, Ingat – ingat pesanku ! , kalau kamu ingin selamat. Jangan sekali-kali engkau mendekati anaku lagi. Kalau kau ulangi lagi perbuatanmu, maka kau akan tahu sendiri akibatnya. He. . . anak muda ini baru permulaan “. Ancam Juragan Iskandar kepada Karso, yang terus-terusan memohon ampun, namun tidak pernah digubris oleh sang juragan yang sombong itu. Sementara kini terlihat di sudut bibir Karso dan hidungnya telah mengalir darah segar.

“Silahkan bapak berbuat sesuka hati kepadaku, Namun perlu bapak ketahui, antara aku dan Minah tidak mungkin akan berpisah. Tanyakan sendiri pada Minah!, bila bapak tidak percaya !“

“Kurang ajar !, dasar anak tak tahu diri. Rasakan ini ! “ . Teriak Juragan Iskandar sambil melayangkan bogem mentah ke arah pipi Karso. Sementara itu karena Karso tidak sempat menghindar, maka kini dia melangkah surut sambil terhuyung-huyung kemudian roboh, akibat pukulan Juragan Iskandar yang keras mendarat tepat di rahang bawah.

Melihat anak sulungnya limbung dianiaya Juragan Iskandar, Pak Randeng segera memapah tubuh anaknya yang sempoyongan. Namun sama seperti nasib putra sulungnya, beberapa bogem mentah dari anak buah Juragan Iskandar kini mendarat di beberapa bagian tubuhnya.

“Randeng !, suruh anakmu yang tak tahu diri ini untuk bercermin, apakah pantas dia mendapatkan anaku. Termasuk kau juga, jangan coba-coba punya niat ingin menjadi besanku. Dengar tidak ! “ bentak juragannya itu seraya mengangkat krah baju Randeng yang hanya bisa menangis menahan kehancuran hatinya itu.

Karena kekayaannya begitu melimpah, maka mata hati Juragan Iskandar hanyalah mampu melihat segala sesuatu dari sudut duniawi. Begitu juga perlakuan terhadap putri kesayanganya yang menjadi bunga desa. Apapun yang Minah inginkan selalu saja Juragan
Iskandar penuhi. Bahkan untuk calon suami Minahpun, sudah dipilihkankan, yang sudah barang tentu tidak sembarangan pemuda yang berkenan di hati juragan kaya itu.

8
Tidak heran bila Minah dijodohkan dengan pemuda gedongan dari Kota Magelang, yang berprofesi sebagai dokter internist terkenal di kotanya. Pemuda itu putra seorang kontraktor besar teman bisnis Juragan Iskandar. Meski selisih umur Minah dengan calon suaminya itu cukup banyak, namun tidak menjadikan halangan bagi kedua ortu untuk menjodohkan putranya. Demikianlah kabar yang santer dari mulut ke mulut, yang tersebar di seluruh penghuni Dusun Selo.

Karso tersentak kaget dari lamunannya, kala Kang Amri menyodorkan kopi hangat kepadanya. Diteguknya kopi hangat tadi, hingga Karso kini terlepas dari lamunan=lamunan yang selalu datang dan pergi kemanapun Karso pergi.

“Sudahlah So !, sekarang bulatkan tekadmu !, merantaulah kemana sampeyan suka. Ini akan melupakan dirimu dari bayang-bayang masa lalu. Tentang ijin bapakmu, tidak usah kuatir. Minggu kemarin Kang Randeng telah setuju agar sampeyan meninggalkan desa ini demi secercah kehidupan. Bahkan pakmu tidak tega melihat sampeyan bernasib seperti ini “.

Setelah memberi saran Karso seperti itu. Direguknya berkali-kali kopi hangat yang ada di depan Kang Amri , hingga tinggal gelasnya saja yang telah kosong.

“Jadi bapak setuju , Kang ?. Oh syukurlah, sebenarnya aku ingin ke Jakarta membantu Lik Udin yang memiliki bengkel kecil-kecilan. Aku ingin membantunya meski Lik Udin belum mampu menggajiku “

“Akupun setuju dengan rencanamu, So !. Aku sarankan jangan memikirkan gajimu dulu, So !. Engkau diterima Likmu saja sudah syukur. Lantas kapan sampeyan berangkat ?. Aku sarankan sebelum berangkat telepon dulu Likmu So !. “

“ Aku belum bisa memutuskan kapan berangkat, Kang !. entahlah Kang ! “

“Kalau Cuma untuk beli tiket Senja Utama Solo Balapan, sampeyan nggak usak kuatir, biar aku bantu untuk membeli tiketnya “

“Matur nuwun, Kang !. Nggak usah lah Kang. Nanti ngrepoti sampeyan. Aku punya sedikit tabungan kok, Kang ! “

“He. . .he.. he nggak usah malu-malu So ! , betul aku ikhlas , Tabunganmu biar untuk uang sakumu selama di Jakarta, Nanti malam habis isya datanglah ke rumahku, ya….? “. Pinta Kang Amri kepada Karso yang dibalas dengan senyuman kecil Karso.

“Mengapa sampeyan begitu baik sama aku, Kang !. Padahal hidup sampeyan masih sengsara sama seperti aku, lho Kang ! “


“Jangan malu, So. Perlu sampeyan ingat, kala aku jatuh seperti sampeyan tidak ada yang mau menolongku, kecuali Lik Randeng Beruntunglah sampeyan memiliki bapak seperti dia “.

“ Apa benar, Kang ! “

“Lho kapan aku bohong sama sampeyan “. Jawab Lik Amri sambil menggandeng tangan Karso untuk segera pulang, karena hari telah sore. Kini kedua insan itupun saling tertawa berderai, bersendau-gurau di liku jalan desa sepanjang perjalanan ke rumah mereka.
__________000______

Kabut tebalpun kini mulai menyelimuti lereng Gunung Merapi itu, sebagian besar penghuni Dusun Selo telah mengenakan baju hangat mereka, Suara desir angin gunung bertambah kuat seiring datangnya rembulan malam.

9
Sementara di dalam rumah bambu yang reot itu Karso sibuk membimbing belajar adik-adiknya disaksikan oleh Tuminah emaknya sambil tersenyum bahagia memperhatikan anak-anaknya yang tumbuh sehat.

Malam semakin larut, ketiga adik Karso kini telah berselimut rapat di tengah kedinginan malam yang membawa mereka tidur dengan nyenyaknya. Tinggalah Karso dan emaknya yang duduk di kursi bambu tua yang mereka miliki, sambil menikmati singkong rebus dan kopi panas. Mereka berdua asyik mengobrol. Tak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk kecil dari Pak Randeng yang terbangun dari tidurnya dan segera bergabung dengan pembicaraan mereka berdua.

“Jadi sudah bulat niatmu untuk ke Jakarta, Nang ? “ tanya Pak Randeng sambil merapatkan sarungnya ke seluruh badannya.

“Nggih, Pak !. Besok pagi-pagi Karso berangkat menuju ke Jakarta. Kebetulan barusan aku dari Kang Ramli untuk pinjam HP dan berhasil SMS Lik Udin “

“ Terus gimana jawaban Likmu ? “.

“Alhamdullillah Pak, Lik Udin akan menjemputku di satatiun Gambir, dan sebenarnya sudah lama kedatangan saya ditunngu Lik Udin “.

“Syukrlah kalau begitu Nang, berangkatlah setelah adik-adikmu pergi ke sekolah. Sehingga mereka tidak merengek minta ikut. Yang aku takutkan bila mereka bersedih mengetahui keberangkatanmu ke Jakarta “ seru Pak Randeng.

“ Emak nggak bisa ngasih uang saku untukmu Nang, hanya sekedar untuk makan di perjalanan saja. Yang sabar ya Nang. Dari mulai engkau lahir hingga kini bapak dan emakmu hanya bisa sabar dan tawakal. Kalau engkau bisa meniru bapakmu ini, niscaya hidupmu tidak akan pernah merasa kekurangan “ . Kini emaknya ikut nimbrung pembicaraan mereka. Dari kedua matanya yang sudah keriput mengumpulah titik air mata kesedihan.

Sebenarnya sangat berat hati Tumirah melepas kepergian Karso, namun lantaran dia dan suaminya sangat mendambakan keberhasilan putranya. Maka dengan ikhlaspun Tumirah merelakan kepergian Karso, yang menjadi kebanggaan dia dan suaminya.

“Janganlah merasa berhasil dalam hidup ini, So. Sebelum kau tunjukan kepada seluruh warga desa ini, bahwa keluarga kita tidak serendah apa yang pernah mereka tuduhkan kepada kita. Ingat So, apa yang pernah manusia dapatkan bisa berubah dalam sekejap bila Tuhan yang ada diatas menghendaki demikian “. Pak Randeng dengan suara datar dan berat mencoba untuk memotivasi putra sulungnya agar mampu berbesar hati menghadapi kehidupan nantinya di Jakarta.

“ Nggih. Pakne. Karso mohon doa restu, agar cita-cita kita berhasil “

“Aku dan emakmu, siang dan malam selalu berdoa semoga dalam perjalanan hidup ini engkau selalu mendapat bimbingan dari Tuhan yang Kuasa dan selalu diberi kekuatan hati agar mampu menghadapi cobaan hidup ini. Aku dan emakmu berusaha sekuat hati agar selalu tabah dan pasrah dalam menghadapi cobaan-cobaan yang baru saja kita lewati. Ini semua harus engkau tiru, bila kamu memang pengin menikmati hidup yang sebenarnya “ seru Pak Randeng.

“Insya Allah, Pakne. Di masa yang akan datang kita tidak akan mengalami hal-hal seperti tahun lalu, ini semua karena kesalahan Karso Pak “

“Dalam hal ini Bapakmu tidak pernah menyalahkan siapapun. Karena semua ini hanya lelakoning urip dan kita tidak mungkin mampu menghindari. Setelah engkau mengalami hal-hal seperti tahun lalu, aku harap engkau mampu menjadi pemuda yang dewasa, lapang dada, gigih dan tidak cepat puas mendapatkan segala

10
sesuatu “. Pak Randeng diam sejenak sambil menyalakan rokoknya yang mati dan selalu menempel di mulutnya.

“Aku memang bertekad untuk melupakan Minah, Pakne !. Gadis itu memang bukan selayaknya menjadi teman hidupku “

“Syukurlah, Nang. Bila engkau memiliki tekad seperti itu. Emak sangat senang bila engkau bisa melupakan dia. Sebenarnya Minah gadis yang baik, hanya saja bukan kelasmu untuk mendapatkannya “ pinta emaknya dengan nada sungguh – sungguh.

“Anaku ! , Bapakmu tidak pernah melarang engkau untuk mendapatkan Minah. Karena bapak tahu, Minah adalah gadis yang baik. Namun tentunya engkau belum siap segalanya untuk mendapatkannya, bila engkau telah siap membahagiakan silahkan saja itu hakmu, Anaku !. Tetapi bila engkau berat melakukan hal itu, pilihlah gadis lainnya yang orang-tuanya lebih terbuka menerimamu . Jangan lupakan pesan, bapakmu ini, ya So ! “

Masing-masing yang terlibat dalam pembicaraan malam itu tiada ada yang kuasa lagi meneruskan pembicaraan, lantaran mereka semua terhanyut dengan kepahitan, kegetiran dan birama kehidupan mereka masing-masing.

“ Sepertinya aku tidak kuasa lagi menerima Minah lagi, Pakne !. Karena sikap Juragan Iskandar yang sungguh keterlaluan dengan diri kita. Belum lagi sikap warga desa ini yang telah mencibir kita baik yang di belakang punggung ataupun yang jelas-jelas langsung dilontarkan pada emak dan bapak, atas hasutan juragan sombong itu “,

“Jangan begitu anaku, jangan dulu menaruh dendam pada orang yang tidak bersalah seperti Minah, Hilangkan rasa benci yang mendalam terhadap juragan Iskandar, sebab itu akan menyiksa hatimu sendiri. Apalagi disaat dirimu sedang prihatin seperti ini, rasa benci inilah yang akan terus menggrogoti hatimu, hingga engkau lupa akan kebutuhan dirimu sendiri. “

“ Ah. . . lantas aku harus bagaimana, Pakne ? “

“Anggaplah engkau terlahir kembali di Jakarta, sehingga masa lalumu telah terkubur dalam-dalam. Lalui jalan hidupmu dengan gigih. Bukankah engkau melihat sendiri bagaimana pakmu ini selalu menghadapi liku-liku hidup ini dengan ketabahan. Barangkali ini bisa engkau jadikan pedoman kerjamu di Jakarta. Apabila engka kangen dengan adik-adikmu, tidak usah kau pulang, cukup bapak dan emakmu beserta adikmu yang akan ke Likmu, jangan khawatir biayanya. Anaku !. bapakmu ini masih punya beberapa sapi untuk ongkos ke Jakarta.. Pakmu dah ngantuk, tak tidur dulu “

Semua lampu di rumah Pak Randeng telah dipadamkan, hanya lampu neon 10 watt yang ada di halaman rumah mereka yang masih menyala. Seisi rumah gubug reot itupun kini telah beristirahat, merenda mimpi-mimpi malam. Agar esok hari tubuh mereka segar kembali guna menjalankan roda kehidupan masing-masing.

Karsopun mulai terlelap di dalam tidurnya, yang kini berusaha sekuat hati melupakan Minah si jantung hati, apalagi mulai esok dia sudah di Jakarta. Sehingga perpisahan ini diharapkan akan mengantarkan Karso pada lembaran hidup yang baru.

Rabu, 27 Oktober 2010

Atmosfer Di Atas Negeriku

Biarkan Kubersajak Untuk Negeriku yang Berjelaga

ATMOSFER NEGERIKU

Bila lentera telah menyerpih dalam wajah menghitam
Menggantung di atmosfer menebar jelaga pengap
Ditelikung dengan bedak gincu, bertebar sembilu menusuk langit
Pantas sudah sebuah pentas hidup
Dari selaksa ilalang,
Berakar tak seberapa kokoh
Masih mendenguskan nafas di semilir
angin pagi…..tiada penat melepas galau
Kala harus menebas tabir kokoh

Ilalang yang tak kuasa menjaring angina
Harus menanggalkan tenggorokanya yang mongering
Tiada mereka pernah tahu warna pelangi
Tempat menanggalkan sebelah tanganya
Mungkin pula rona pelangi di Negeri Yunani
Atau tersangkut di padang Nigeria
Nyanyi pilupun tak mampu
Meronakan pelangi dengan nafas manusiawi

Atmosferpun kini terkapar …berdandan lusuh
Mengerang bagai singa penjaga kaki langit
Masih adakah sebilah jantung
Agar ilalang bercanda dengan kesejukan
Atmosfer menggurat langit

(Semarang, 22 Oktober 2010)



HYMNE DI PENGHUJUNG TAHUN

Empat penjuru langit telah melampiaskan pekik
Meradang tebing dan batas langit
Menembus cakrawala
Hingga bergantung pada jingga mentari
Yang telah lelah

Namun belum kentara juga
Meski halilintar berteriak seribu meriam
Tak mampu menggoyahkan sebuah kematian
Untuk peduli pada “sayatan luka” milik…..
Buih buih putih seperti kain kafan
Yang bertaut pada ombak Laut Pantai Selatan.
Kini mereka terhempas dalam hymne
Ibu pertiwi

(Semarang, 22 Oktober 2010)


HINGGA DI UJUNG LANGIT

Kala aku sampaikan esai tentang…..
Halaman rumah biru bertebar asa
Harusnya berpintu rapat dari musim..
Yang menebar debu anarkis
Menghalau lakon dengan kerah baju
Bercorak koruptor…berenda nanar

Kita tak mungkin lagi mengusung
Detik waktu hingga ujung langit
Bila halaman rumah bertebar duri
Bila semai keteduhan jiwa
Menyalak dengan taring tajam
Dan kuku yang menerkam leher
Negeri ini

Marilah kita sambung tali
Hingga ujung langit
Untuk bersandar anak cucu kita

(Semarang, 22 Oktober 2010)


TELAH HABIS WAKTU KITA

Ketika para dewa tidur di ketiak langit
Berbantal mega, berselimut kain biru
Berseloroh dengan hijau alam, dengan…
Duduk manja di Puncak Merapi
Membasuh badanya di Danau Toba
Maka terciptalah “archipelago”.

Namun beranda para dewa kini..
Bersimbah air mata dan darah
Beraroma mesiu dan ego,
Adakah waktu lagi, hingga….
Lebih eksotis lagi dandanan “archipelago”
Agar mampu menyunting cakrawala timur
Dan mengais keadilan di tumpukan…
Jerami kering, melekang tak beruntai senyum
Hingga bocah bocah lugu
Masih bisa mendengar lenguh sapi …
Di negeri hijau makmur,,
Bermandi angin katulistiwa.

(Semarang, 22 Oktober 2010)




KERETA API PRESIDEN

Telah berkemas semua anak bangsa
Agar bisa menderu bersama kereta api
Yang berangkat dari halama istana Negara
Sementara pagi masih berkabut,
Melewati stasiun Semanggi dan Ampera
Di atas roda roda besi
Ada seonggok nyanyi kumbang
Dengan bulu warna warni
Untuk siap meranggas padang yang
Diterkam kemarau panjang

Sang kereta apipun,
Terus melaju memecah angin muson
Di bantaran rel hedonisme dan lancung
Lantas sang kereta api sejenak
Melepas lelah, ditepian kubangan Lumpur
Yang panas dari perut bumi

Sang kereta api meradang pilu
Bila telah hilang nyanyian para dewa

(Semarang, 22 Oktober 2010)

Menembus Batas Langit

Langit langit rumah yang tersusun dari ilalang, kini dilumuri debu debu penantian, kala sebagian hidup yang diusung oleh jiwanya terasa berat dijinjing. Meski beribu laksa hari telah ditapaki dengan perasaan pasrah, karena kehidupan manusia dibalut oleh kodrat dari Sang Maha Pencipta. Itulah yang diyakini, sehingga membuat hidupnya sekokoh akar pohon Akasia yang melingkungi rumahnya, tak bergeming meski diterjang angin kembara yang bersorot mata nakal. Meski pula diguyur hujan seharian, yang mencengkeram perasaan sepi yang tetap bergayut. Alfian tetap saja berpegang pada kata hatinya di sudut jantungnya yang kian melemah, untuk segera mewarnai hidup bagaikan nyanyi burung kenari silver di pagi hari.

Bibir yang kering itu masih menyunggingkan senyumnya yang masam , kala dokter menyodori hasil pathology analytic tentang penyakitnya. Meski masih ada kekuatan hidupnya yang tersembunyi dari nadi dan nafasnya yang telah lelah, Alfian masih mencoba bertahan hidup demi dunia ini, demi sang istri yang kini menjadi milik orang lain. Lantaran istrinya, wanita berkuning langsat dan berambut ikal sebatas pinggul, adalah manusia juga yang berhak mendapatkan kehangatan dari laki laki yang perkasa, muda dan gesit serta jauh lebih baik dari apa yang dia miliki. Meski dengan batuk batuk kecilnya yang terus saja merongrong kerongkonganya, Alfian mencoba untuk mengatur deru hatinya, agar tidak sepanas “wedus gembel” gunung merapi, saat senja hari di beranda rumahnya.

Sepuluh tahun silam, istrinya dengan genitnya membuatkan air teh hangat untuk sekedar menepis kepenatan tubuhnya, setelah seharian dia bergelut dengan proyek developernya. Sebentar sebentar istrinya merajuk bersama dengan Norma putri tunggalnya yang selalu saja manja dipangkuannya. Norma dan Evelyn adalah dunianya, bak taman bunga berwarna warni. Entah senja yang keberapa dia larut dengan lamunan di beranda ini. Sebuah beranda yang hampa, apalagi di beranda rumah bambu di tepi kota. Inilah yang dia mampu tempati. Karena beranda istananya telah dijual, untuk mengganti hutang-hutangnya setelah kebangkrutan perusahaan jasa pengembang perumahan. Ditambah dengan komplikasi penyakitnya yang terus menyelimutinya.

Entah kemana Evelyn, setelah diterpa angin asmara yang bertaut di serambi hati Albert teman bisnisnya. Kabar terakhir yang dia peroleh Evelyn dan Albert berhasil mendirikan super market di Jakarta. Namun Norma putri tunggalnya kinipun entah kemana, sama sekali tidak pernah mengirim selembar suratpun. Apalagi kelihatan batang hidungnya. Kini Alfian hanya mampu bersembunyi di sorot matanya yang dijatuhkan dalam dalam ke bumi bila merasakan pedihnya seribu sembilu, yang meretakan hatinya.

***
Jadwal control sakitnya kini telah tiba, dokter Hendrik kini dengan cermat mendiagnosa perkembangan penyakit pasienya yang telah menjadi kurus kering tubuhnya.

“Maaf, Pak Alfian pekembangan penyakit bapak belum menunjukan adanya kemajuan”
“Terus, saya harus bagaimana, dok ?”
2
“Maaf, Pak. Cobalah banyak curhat dengan istri dan anak-anak bapak ! “.
“Hmmm. ….Kalau toh mereka semua ada disampingku, tentu saya bisa segera sembuh, dok !”
“Maksud, bapak ?”.

Sebuah derita yang sanggup menyayatkan hati dokter Hendrik telah terlontarkan begitu saja dari bibir pucat Alfian. Sunyi kini memenuhi ruang periksa itu, dokter Hendrikpun sekarang telah tahu bahwa Alfian lebih menderita batinya ketimbang tubuhnya. Tapi dokter itupun merasa kagum dengan semangat hidup laki laki paro baya di depanya itu.

“Bapak memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa, selain bapak barangkali sudah tak tertolong lagi”
“Terimakasih,dok!” !”
”Tapi bapak, harap maklum !
“Tentang apa, dok ?”.
“Pasien yang bahagia hatinya, menghadapi penyakit berat inipun harus memiliki kesabaran setinggi langit. Apalagi bapak yang ditinggal keluarga, sudah seharusnya bapak memiliki kesabaran menembus batas langit. Memang berat, pak ?”
“Barangkali saja kesabaran saya sudah menembus batas langit ke tujuh, dok ?”
“Oke, bagus kalau begitu !, dan sudah saatnya bapak harus bangun lagi dari keterpurukan. Bapak harus menekuni usaha bapak hingga berhasil lagi”.
“Dengan modal apa, dok ?”
“Dulu waktu bapak sukses, modal dari mana ?”.
“Hanya keberanian dan kemauan, dok ?”
“Wah, bagus kalau begitu. Mengapa sekarang bapak tidak berusaha bangkit lagi !”
“Untuk apa, dok ?. Istri dan anaku sudah tidak ada disampingku ?”
“Justru agar mereka kembali, bangkitlah pak. Buktikan kepada mereka bahwa bapak adalah laki laki yang kuat. Memang ada sebagian wanita yang memiliki karakter hanya imgin bersanding dengan laki laki yang tangguh segalanya “

***

Hari hari bergulir secepat desingan peluru, namun hari hari yang dimiliki Alfian digunakan untuk terus saja berburu meraih apa yang dahulu pernah dia dapatkan. Penyakit berat yang ada di tubuhnya tidak pernah dia rasakan. Setapak demi setapak pengharapan berhasil dia raih. Dikalangan ahli konstruksi dan perencanaan bangunan sbenarnya sudah lama mengakui kepiawaian laki laki mrlangkonis ini. Maka bagi Alfian untuk meraih apa yang dia harapkan, sebenarnya hanya masalah waktu.

Hari berganti bulan dan tahun. Alfian telah kembali mereguk kesuksesan semula. Bahkan pengalaman masa kejatuhan dia dahulu telah dijadikan pengalaman berharga. Sehingga Alfian kini tak ubahnya menjadi seorang konsultan tehnik konstruksi bangunan. Maka tidak mengherankan bila Hari Minggu ini dia menggelar workshop tentang inovasi konstruksi bangunan tingkat nasional.

Hari minggu ini, Bougenvile Square masih lengang, hanya dia dan beberapa pegawai gedung itu yang sudah datang. Alfian sempat mengendurkan semua ototnya di kursi VIP. Tiba tiba bahu kirinya terasa ada tangan yang mengusapnya. Tanpa berpikir panjang laki laki melo itu mengarahkan wajahnya ke arah empunya tangan itu.

“Norma, kaukah Norma anaku ?“ bibirnya kini hanya mampu bergetar, masihkah putri tunggalnya itu mengenalinya lagi.
“Pap, kau kah papi ?. Papi sekarang kurus sekali ?”
“Norma !, mengapa kamu ada di sini ?”
“Aku juga mau ngikut workshop ini, papi aku sekarang kuliah di tehnik. Papi juga ada disini, kenapa. ?”.
“Aku nara sember inovasi konstruksi”
“Oh, jadi itu papi ?. Aku kira bukan papi. Aku bahagia punya ortu seperti papi !”
“Syukurlah, kamu masih mengakui aku sebagai bapak, tapi kamu seperti mamamu mencampakan papimu begitu saja ?”
“Sudahlah, pap..ceritanya panjang. Papikan mau presentasikan, nanti habis pesentasi, papi saya ajak jalan jalan. Oh, iya… papi pengin kenal Marcell ?”
“Marcell, siapa itu, pacarmu ?”
“Ah, papi. Marcell itu cucumu ?”
“Cucuku ?. jadi kamu sudah married. Oh ya nanti setelah presentasi aku pengin menggendongnya, dan siapa suamimu ?”
“Suamiku, menantu papi, orang dari Bandung, Nanda Prasetya”
“Nanda Prasetya, ahli alarm bangunan itu ?”
“Iya, Papi kenal ?”
“Bukan kenal lagi, dia rekanan bironya papi ?”
“Dia, nggak pernah crita aku, Pap ?”
“Ya crita, tapi dia memanggil istrinya dengan kata ajeng. Mana aku tahu itu kamu ?”
“Ok Pap, waktu workshop telah on. Papi bersiaplah ?”
“Sayangnya. Mamamu nggak ngumpul kita lagi, Norma ?’
“Sudahlah Pap, papikan harus konsentrasi presentasi. Nanti setelah papi selesai. Segera saya kenalkan Marcell. Agar hati papi terhibur, papi nggak usah ingat mama lagi!”

***

Kedua matanya yang dibungkus kelopak yang mulai keriput itu telah dipenuhi air mata bahagia, bahkan kini dadanya berguncang. Dipeluknya Marcell dengan penuh kelembutan, sementara Normapun telah dihamburi perasaan yang tidak menentu, antara bahagia dan kesedihan tentang kehidupan yang tercerai-beraikan.

“Papi, bahagiakan hati papi. Kini hidup papi telah utuh kembali, Norma dan Marcell sudah cukupkan membahagiakan papi ?. Mama biarlah bahagia dengan Om Albert, kalau toh dia bersama papi lagi, papi tidak akan bahagia. Sekarangpun mami sudah meninggalkan Om Albert. Sudahlah pap, kalau papi pengin aku dan Marcell bahagia, lupakan mama saja ?”

Alfian hanya diam membisu, meskipun dalam hatinya kini telah benderang, lantaran pelita yang dulu padam kini telah menyala lagi. Direguknya the hangat yang ada diatas meja. Mereka kinipun meluncur menuju rumah Alfian yang baru, yang mulai saat ini menjadi rumah bahagia.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Lembayung Senja Di Nusantara

MASIH ADAKAH LAGU RINDU

Senja mengelabuhi seisi alam
Dengan gincu tipis berpupur temaram,
Kala sang bagaskara menyelipkan kelelahan
hati…..
Di pintu pagar manusia jauh menyekap hasrat
Tentang lagu hidup….tentang peluh
Dan hari esok yang kabur
Di jinjing burung bangau…
Yang mencari sekeping kesejukan,…

Masih adakah di tanah merdeka ini,
Berbatas kesayahduan buih putih di pantai
Berpagar Bukit Barisan dan berenda
Pulau Dewata….
Kita mampu menyenyam
Sekeranjang suka cita
Dengan nyanyian rindu kepada alam
Kepada pagi yang melecutkan….
Gairah untuk berbenah hidup ……(Semarang, 23 Oktober 2010).



TUBUH TUBUH YANG LETIH


Seberapa lama kau akan merobohkan tebing
Yang terjal, penahan angin kembara.
Mengendus dan melupatkan noda pada Jaya Wijaya
Hingga sampai puncak Semeru
Bila belum seberapa kokoh kaki yang kau pijakan
Pada merah membaranya suatu sejarah,

Lantas mengapa kau jinjing
Selaksa peluh yang bertepikan keletihan
Padahal telah sarat untaian hati sang bidadari
Berseloroh di langit bertatap biru,
Di tengah semilirnya Angin Bahorok

Bila kau terjangkan lagi
Seribu lembar prosa kegalauan
Dengan belati yang terhunus
Menajamkan bilik jantung yang melemah
Dari setiap yang merindu …….(Semarang, 23 Oktober 2010).

TAK KULIHAT LAGI PERMADANI EMAS


Gemercik air kali…kini menggelapar
Yang melintang di tengah sawah,
Telah mengusung sebuah ego
Hingga menghitam dan anyir …menyedu
gelisah semua palma dan belukar.

Mengapa kau abaikan cantiknya bulir padi
Yang tertunduk bagai putri kahyangan
Kala harus bermandi di jernih airmu
Mengapa pula tak kau beri lagi
Pelepas dahaga lantaran bercengkerama
Dengan Sang Bagaskara

Lantas harus pulakah meradang mata
Yang nanar…..
Bila telah habis episodamu
Mengeluskan gemercik airmu
Di tengah panggung sandiwara
Para punggawa dan hulubalang raja….(Semarang, 23 Oktober 2010)


EPISODA SEPENGGALAH MATAHARI


Bangkitlah semua yang mengendarai waktu
Meski semua yang diliang kubur
Atau hantu penasaran…di malam buta
Sebelum tanah ini beraroma…
Dan meletupkan isi bumi
Hingga jauh ke sudut langit…

Tajamkan sorot matamu
Agar belukar kini tak terinjak lagi
Sementara sudah habis semua nafasnya
Hingga sebilah nafas yang tersimpan
Yang diharapkan untuk mencumbu
Pagi yang datang dari Kahyangan…..(Semarang, 23 Oktober 2010)


KUTITIPKAN MALAM PADA REMBULAN

Bila telah malam,
Tak tampak lagi
Kembang sore hari
Serta tidur panjang
Embun pagi

Bila telah malam
Kita hanya mampu bermimpi
Merajut jalan tanah
Yang ada
Di depan gubug kita

Bila telah malam
Kumbang melipat sayapnya
Tiada kembang tersenyum ceria

Bila telah malam
Aku titipkan pada rembulan
Agar hasrat anak bangsa
Tetap terang menerjang…..(Semarang, 23 Oktober, 2010)

Jumat, 22 Oktober 2010

Awan Gelap Di Bumi Melayu

1.Hamparan Negeri-negeri yang Subur

Ketika tabuh genderang beriuh rendah……
Dari Negeri Kahyangan , tempat dewa semayam
Menyiratkan berita gembira pada seisi alam maya
Jauh dari balik Himalaya…..hingga ke tengah Sahara
Tentang hiasan “mutumanikam” yang kini memenuhi
“jagad berkungkung samudra dan berpantai nyiur”.
Mereka melambai….saat nelayan memetik hidup….

Bila pasat meliuk…….
Bulir padi menunduk dan menguning.. menggapai damai
Sapi perahan melenguh menguntai makna
Padang luas biarlah berbenah, lantaran disitulah sebuah
Rumpun hidup tentram, damai, adil dan sentosa
Dihamparan negeri-negeri bertabur wangi bunga
(Semarang, Agustus 2010)

2.Genderang “Ganyang” 1965
Tiada kita mengerti, padi menjadi legam menghitam
Bejejer di sawah yang menghembus nyinyir darah
Sementara Sang Pasatpun menghembus deru mesiu
Semua alam meradang…..
Ditoreh pelangi merah membara

Lantas mengapa rumpun hijau kini menyodorkan
Bilah daunan yang melenggangkan kebencian
Sementara nyanyian anak di padang purnama
Berganti dengan pekik ganyang

Kita tepiskan saja keranda pembawa ajal
Di balik cakrawala yang tak kunjung fajar
Hanya pekat saja bertabur hati manusia yang nanar

Jangan kita ikuti angin kembara
Yang merajut duka lara……
Mari berhias di semai rumpun hijau menawan
(Semarang, Agustus 2010)


3. Dua Putri Ayu (Sipadan dan Ligitan )
Kala dewa hendak melepas lelah..
Di pangkuan dua putri ayu mereka melepas dahaga
Kala angin badai menggulung ombak lautan
Di pangkauan merekalah…badai meluruh

Kala kita hendak mengusap wajahnya
Sang bayang hitam berona keangkuhan
Menghardik dan menepiskan tangan kita

Kemanakah warna-warni dandananmu
Ketika kaki langit milik “Sang Putra Palapa”
Hendak melepas sauh…..
(Semarang, Agustus 2010)

4. Pentas Saudara Kembar
Panggung pentas sudah dipenuhi asap pengap
Suara “kenong kimpul” makin terdengar parau
Tampilah barong “Batu Pahat” dengan gambar wajah legam
Kedua kaki dan tanganya bergiliran menampakan getar.

Tak segan munculah Sang Reog ,
bersulam “Ki Ageng Kutu Bre Wirabumi”…..
Barongpun meliuk menapaki “Dadap Merak”
Barong tersipu malu…….
Keduanya mensenyapkan panggung yang riuh……
(Semarang, Agustus 2010)

5. Merajut Angin Kesejukan
Tiadalah beliung ataupun kemarau panjang
Berhias padang ilalang dan belalang
Tiada pula pekik tangan mengepal…..
Sehingga tiada lagi purnama bergantung

Arah tenggara ketika kita menanam palawija
Arah barat sepoi ketika kita menebar padi
Ke dua arahlah kita bergandeng
Merajut masa depan di cakrawala esok
(Semarang, Agustus 2010)

Puisi Untuk Kepapaan Negeriku

GERIMIS DI TENGAH KEMARAU

Aku mengusung singkong, ubi jalar dan tanaman sayur,
Yang tumbuh di halaman rumah
Ke dalam bilik kamarku,
Agar terasa hangat hatiku, jantungku
Darahku, yang terbujur kaku,
Meski ini bukan gerimis terakhir
Yang mengguyur dinding bilik
Terbuat dari anyaman bambu
Membasahi ilalang di atap rumahku,

Namun sepiring nasi lusuh
Dengan sekerat tempe
Dan dibasahi sayur asem
Mampu mengganjal laparku,
Dengan senyum beribu warna
Istrikupun menghangatkan tubuhnya
Dengan sayur dan kue-kue pasar
Agar di tengah malam tak terjaga
dari teriakan dinding perutnya

Di meja yang tiada seberapa kokohnya
Berkaki bambu sebesar lenganku
Tertata makanan hangat
Agar anak-anaku tiada menghujamkan
Tangis bernada sinis
Karena kosong isi perutnya,
Meski perut yang mungil itu
Telah akrab dengan jaman

Aku menari nari di atas lantai tanah
Dengan radio butut yang berwarna kusam
Sekusam warna pagar rumahku
Yang mengumandangkan tembang jawa
Anaku sontak memburuku
Bagaikan kupu kupu di kebon belakang
Berhamburan memesariku
Istriku hanya tertawa hingga jelas
Lesung pipinya

Inilah sejuk…….
Bukan lantaran rumah berdinding semen
yang halus mengkilap
Putih cemerlang, bergurat jeruji penjara
Seperti pada loji para petinggi
Berdinding marmer nan licin
Sehingga berulang menjatuhkan musuhnya

Gerimis tak berniat surut
Aroma tanah yang dilekang kemarau
Masih saja memenuhi dinding bambu
Bayang hitam merengkuh bilik bambuku
Seloroh kini telah berada di atas bantal
Dengan dengkuran yang menepiskan
Getir yang mengitari pembuluh nadi

(Semarang, 26 September 2010).


ANAK “SINGKONG REBUS”

Jangan kau malu anaku,
Kala sepeda ini dikayuh, melewati jalan
yang kering dengan batu batu terjal
mencibirkan…makna
Jangan kau berangan “duduk” di kursi
Hulubalang raja
Yang berenda kertas berhias sutra
Lantaran kau adalah anak “singkong rebus”
Yang selalu bisa mengganjal perut
Bila matamu nanar
Merangkul kegetiran……

Anaku….
Kau bukan anak menteri di atas sana
Tapi tak harus kau melangkah surut
Kejarlah kedamaian
Dengan kedua tanganmu yang teduh
Meski sorot matamu redup
Tak mampu menerangi sudut langit

Jangan kau kejar rembulan…anaku….
Bila separonya telah dihimpit awan gelap
Kejarlah bintang di langit
Bila awan telah menyodorimu
Senyum indah
Berdoalah bila benakmu telah
Menyimpan apa yang ada di kepalamu…..

(Semarang, 26 September 2010).

BINTANG KEJORA

Apa telah kau besihkan beranda rumah
Meski hanya berlantai tanah liat
Agar tegar langkahmu, membidik bintang kejora
Warna warni,
Di bibir langit,
Apakah benar kau mampu menyuntingnya,
Bila melewati remang malam
Beterbangan kelelawar penghisap darah
Dari urat nadimu yang kecil….tak berdaya

Namun tiada juga kau bersalah…..
Bila kau memungutnya dan kau simpan
Dalam cucuran peluhmu..
Karena kau masih tegar
Melangkah pada kedua kakimu
Dan legam bahumu telah cukup kokoh

Biarlah emak dan bapakmu
Melepasmu di pagar luar rumah
Janganlah kau hirau, pada guratan wajah
Yang kami sisakan untukmu…..
Tengoklah kebon sayur bila
Telah gontai langkahmu

Semarang, 26 September 2010).


ABANG BECAK
Pada langit, bumi, lembah dan ngarai
Aku pekikan…..
Aku tiada pernah merasa lelah
Mengusung kehidupan
Di hari yang mengigit dan
Dan nafas yang menerkam

Jalan ini adalah miliku
Meski dipusari gedung bertingkat
Beratap jalan laying, berwajah gincu tebal
Aku akan terus menerjang
Meski debu jalan menghardiku
Demi manja istriku dan anaku
Semarang, 26 September 2010).

Merajut Cakrawala Negeriku

SEBUAH PERJUMPAAN

Saat datangnya sang rembulan
Menjenguk langit malam yang mengering
Ketika kaki langitpun menebarkan……
Semai mawar dan harum semua
yang di dekatnya…
Kapankah ?...untuk sebuah hati kecil

Semua yang telah menghitam kulit tubuhnya
Wajah tertunduk lantaran letih
Sementara gemerisik ilalang masih saja
Menjadi teman kala gersang meradang
Dipingit kabut yang menyesak dada
Kitapun perlu berjumpa

Ketika lidah membeku dalam kelu
Dunia hanya dalam kanvas semu
Tertatih di tengah sawah ladang
Yang diterjang kemarau tanpa mengenal iba
Petirpun tak pernah menjinjing hujan
Hingga pandang mata tak lebih dari bias

Angin yang tiada menyodorkan nama
Terus saja melambungkan tubuh
hingga menyentuh dinding suara di jauh sana
yang dikerumini sayap malaikat
dengan sayap yang tergelar rapi…untuk sebuah
bilik jantung……..
Lantas mengapa belum juga meminangku
Sang penganten di sudut senja yang sepi…
.
Semarang, 14 September 2010

KETIKA FAJAR

Tiap pagi yang kutemui
Adalah kekasih pujaan sang fajar
Saling memberi arti dengan untaian bunga
Bila sang kupu-kupu masih setia
hadir mengusung suka cita

Di tengah fajar merekah menjadi samudra
Belaian manis sepoi angin
Turut mengurai hadirnya bayang hitam
Yang kencang melilit tulang tulangku
Dan hampir tiap jarum jam menelan hidup
Tebing tebing terjalpun
Tak henti ingin melumatku
Akupun menghampiri sang fajar

Semarang, 14 September 2010

SAYAP SAYAP

Dengan kukunya yang runcing
Sayap sayap itu menelikung bumi
Layaknya sudah tak mampu lagi
bumi berputar mengusung kehidupan

Sayap sayap itupun dijaga
Sebagian manusia yang sedang menghardik
Buih laut yang bergelombang
Menelan pantai, kala manusia menunggu
lambaian daun nyiur
untuk mengatur nafas

Sayap sayap
Teruslah mencengkeram bumi
Agar tiada liar lagi
Sayap sayap
Teruslah menggambar langit
Agar tiada lagi badai
Di sejengkal tanahku
Di dalamnya terdapat seribu nafas
Inilah nusantaraku

Semarang, 14 September 2010

MASIH KUDENGAR SUARA ALAM

Kita memang manusia dungu
Ysng tak mampu mensirati bahasa
Stunami ketika bertandang di serambi rumah
Membawa kabar
Untuk bekal manusia esok hari

Lantas karena kita bungkam
Sinabungpun ikut larut dalam
percakapan alam
Namun sekali lagi
kita lebih senang bahasa
dalam oplosan yang meringkuk di botol
Hingga mampu menerbangkan
Semua tubuh dalam langit
Bersusun tujuh

Bahasa lainpun datang
Dari dalam bumi yang melambung tinggi
Hingga bertandang ke rumah
semua yang masih menyelip asa

Namun manusia menyodorkan
Bahasa yang aneh untuk alam
Lebih suka memenuhi kantong bajunya
Yang sarat denga catatan harian si miskin
Entah nafas ini milik siapa
Bukan para petinggi negeri hujan setahun

Suara alam…
Entah datang kapan lagi
Cakrawalapun menunggu
agar engkau tak lagi garang menerjang

Semarang. 14 September 2010


TAMAN HATIKU

Istriku yang elok
Bersama anaku…di pagi
Memenuhi seloroh kala hati berbunga
Berhias taman hati…
Berkubang archipelago dan angin muson
Sebuah taman hati disusun bersama

Berdinding bukit barisan
Kala pagi membujurkan dingin
Nyalakan kawah Jaya Wijaya agar
Hangat memenuhi jiwa kita

Namun batas taman hatiku
Telah dirusak kucing hitam
Yang haus sekerat daging
Yang dibumbui sedapnya rempah rempah
Yang tumbuh di taman hati

Akupun menjadi jalang
Melempar kucing hitam dengan
Kepalan tangan
Agar tiada lagi kepala yang mengeras
Karena diganjal kesombongan
Dari balik bangunan loji kompeni

Semarang, 14 September 2010

NEGERI PARA DEWA

Ketika sang dewa di kahyangan
Tersenyum berseri, hingga nampaklah
gigi mereka tergambar biji mentimun
lahirlah tanah berpantai nyiur melambai
dengan kubangan kerbau
di tengah sawah yang menguning

Semarang, 14 September 2010

SAJAK TANAH AIRKU

Merah Padam Ronamu

Ketika kita beranjak dari peraduan…
Bermandi semilir angin dari tengara
Yang mengusung buih laut
Menuju pantai…
Tanpa berkawan lembayung jingga

Ada seuntai “janji”….
Yang meringkuk di kepalan tangan kita
Untuk menandu sang ibu pertiwi
Agar tiada lagi kerikil tajam
Yang tiada pernah mengerti akan iba
Dari sebuah perjalanan

Akupun hanya menguatkan pegangan
Agar tangan ibu yang keriput memucat
Bernafas lega…….
Mampu bermandi air bunga
Dalam gubug sederhana
Beranyam bamboo
Berhalaman bunga melati, kenanga dan mawar

Jangan kau biarkan ibu
Merah rona wajahmu…
Terbawa angin debu mengusung biadab
Biarkan ibu bersemayan dalam cakrawala archipelago

Semarang, 12 September 2010

Episoda Negri Sebrang

Meski nasi dan jagung..
Beralasan piring tanah..
Dimasak dari tungku tanah liat…
Berteman sepotong ubi…
Tertata rapi di atas daun pisang

Kita terlahir dari lengan yang legam
Bahu yang melepuh karena terik matahari…
Mengatur beberapa nafas dari bilik bambu
Tapi kita rimbuni dengan pohon buah
Yang menjadi lalu lalang kenari, perkutut dan kutilang

Kita batasi gubug kita yang kokoh
Meski dari batang kayu nangka
Rumputpun menebar hijau
Yang tertata bagi permadani dewa.

Jangan kita sodorkan rembulan
Yang telah hinggap di atap rumah kita
Meski lantang dan angkuh mengusik
Dari negeri sebrang..yang nampak
berceloteh dari balik gedong loji
berkelambu sutra
belantai marmer pujaan para raja

Kita adalah kita…
Meski negri sebrang meradangkan
singa lapar, bersuara sampai ke ujung fatamorgana
tidak pernah di lingkaran langit nusantara
Kita surut untuk memangku nestapa
Kita mampu menerjang bak prajurit ‘segelar sepapan”
Dari Majapahit yang merengkuh negeri para dewa

Semarang, 12 September 2010

Bara Api dari Rumpun Bambu

Di tepian telaga
Tempat mandi bidadari
Sang jalak menawarkan bulu hitamnya
Pada kutilang yang bersayap putih
Kenaripun manyimpan rapat rapat bulu kuningnya

Sang perkutut diam membisu..
Meski dia ingin meminjam bulu merah
dari Cendrawasih

Telagapun menjadi bermandi kuning keemasan
Dari semburat sinar mentari
Yang mengalahkan warna bulu mereka semua
Namun tiada mereka mau membasuh
bulu mereka dengan air telaga…
Mereka malah menajamkan paruh dan cakar
untuk memungut sebuah bara…...

Tiada pernah mereka tahu.
Bahwa negeri gerimis ini …
Adalah negeri tempat mandi bidadari
Ketika Manikmaya membasuh mahkotanya
Untuk pertemuan agung esok hari…
Mereka tidak pernah tahu…..
di bawah lambaian daun nyiur di tepi pantai..
adalah tempat dewa melepas lelah
“Jayalah Negeriku”

Semarang, 12 September 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

EFFINTA

Sebaiknya bila engkau punguti catatan harian, yang terselip di sudut langit biru. Tentunya akan kau temukan sesuatu yang di tengahnya aku gambari lukisan tentang keindahan. Sebagai ungkapan tentang aku yang akan merindumu.

Sudahkah jiwa ini yang telah engkau telanjangi dengan rayuan merdumu. Telah pula engkau buatkan penyejuk untuk melepas lelahku. Oh…alangkah jauh perjalanan ini. Sudahlah kembang kertas ini engkau sulami dengan warna-warni hasrat. Maukah engkau tunjukan mana yang bisa engkau nyanyikan.

Malam aku tempuh dengan keluhan nafas yang berat, karena terpagut dengan langkah yang tertinggal. Bila engkau mencoba, mungkin kau akan tergambar pada ufuk esok pagi. Oh. . . cakrawalamu . sudahkah berhias sinar mentari pagi. Sudahlah !, untuk sementara biar aku genggam haru birumu, menyertai perahu hasratku yang kandas di keangkuhanmu.

Kupadukan antara hasrat, kagum dan beribu asa. Menjadi secawan hiasan hidup yang dinamakan cinta. Kulukis di tiap dinding hatiku, yang belum pernah kau gantungkan denting kemesraan
Atau mungkin diriku yang belum mengerti yang mana tempatmu singgah, dimana engkau sembunyikan pesona hidup ini, atau mungkin lebih jelas bila kusodorkan cinta. Agar hatimu mau meneguk kejernihan hatiku.
“Engkaulah bunga sejuta harapku, adakah sisa hatimu untuku ? “ demikian aku coba bertanya pada hati ini.

“Lantas dimana kau simpan hatimu, yang belum terisi sejuta keindahan “ jawab sebuah hati yang entah tersembunyi di mana.

“Bila engkau mau merinduku, lalu akan kamu apakan jiwa yang menggelepar ini ?, sedangkan bayang wajahnya terus saja terbujur kaku di mimpiku” terus saja suara dinding hatiku bergeliat.

“Mampukah engkau menyusun puisi hidup, tentang irama keindahan cinta. Jangan kamu kagumi wajahku, jangan kau kagumi dengan betis atau bibir merah delimamu. Kagumilah aku yang terus telanjang menantikan arti hidup ini “ jawab dinding waktu yang sekarang entah berdiri di mana.

Aku tersentak kaget dari tidurku. Terdapat selembar gambaran wajahmu yang tiba-tiba muncul, tanpa aku duga darimana arah kedatanganmu. Lantas aku sertakan engkau, untuk meniti perjalanan pagi. Kala itu beberapa saat yang silam akupun belum tahu, bahwa telah terselip dalam hatiku tentang keindahanmu. Belum ada di bagian manapun di hati ini, yang ingin tahu lebih jauh tentang dirimu.
Namun berulang kali dentang jam dinding yang berjalan secepat kilat, menyambar keinginanku yang menggumpal dan terus menggumpal. Sehingga mendesak jantung hatiku dan menyesakan dada, mengapa belum ada perahu hasrat yang berlabuh di pantai hatimu
Tentunya bila aku sodorkan sebuah cinta untukmu, Engkaupun akan mengepakan sayapmu, menuju cakrawala, yang entah akan menggelantung di langit sebelah mana. Namun kembali lagi jarum waktupun terus mengejarku, agar bulan dengan seribu panorama, yang terpancar dari senyumu, tiba-tiba saja tunduk dipangkuanku.

Bulan kini masih tersembunyi di balik awan, dan akupun telah berada tepat di depanmu. Entahlah aku sendiri telah menguatkan hati yang tadinya hanya mampu bernyanyi sepi. Namun kini hatipun telah aku siapkan, hingga mampu menjadi telaga tempat aku berpuas diri.

Kusapa dan engkaupun tetap menyisakan senyumu, laksana sebuah permintaan agar bulan setidaknya mau mengintip di langit malam. Untuk menyaksikan aku yang hendak menuangkan hasrat kepada kekasih hati, yang kini berada di depanku.\
Kuberikan juga sepenggal asa agar kita berdua menghiasi biduk dengan ornament yang sederhana. Mengarungi lautan biru, dengan ombak yang akan menguatkan kedua sisi biduk kita. Tentunya pula akan kau gapai, bila memang harus kutemui bulan tepat di atas tempat kita mendirikan rumah mungil tapi bersih. Dan pada giliranya rona sinar bulan akan menjadi senyumu.

Hari demi hari, tentunya dandanan hidup akan lebih semarak. Bila engkau tiada pernah bosan untuk menyirami kembang – kembang taman yang ada di pekarangan rumah mungil kita. Bila telah ada pula tautan hati diantara kita untuk sekedar merobahkan tubuh kita yang penat.

“Jangan kau biarkan halaman depan rumahmu dipenuhi debu sore hai, yang dibawaoleh angin kembara yang nakal hai. . .kau wanita tambatan hati “ demikian ungkap kembang mawar di sudut halaman.

Sedangkan kembang melati juga tak kalah lantangnya untuk meneriaki wanita yang ada di dalam rumah mungil itu, “ Jangan kau pernah ragukan secawan cinta suci dari pria yang akan membawamu mengepakan sayapmu menuju biru langit.
Sekali-sekali kembang kenanga juga ingin nimbrung bareng dengan kebahagian kembang-kembang sore yang telah basah disiram air sejuk, yang dijinjing wanita yang berkulit kuning dan bersih,

“ Jangan kau harap akan mampu menggenapi hidup ini, bila dalam hatimu masih ada sisa ketidak- tulusan. Mungkin pula engkau bisa menipu dirimu sendiri, namun sorot mata adalah sesuatu yang tidak bisa diajak berbohong. Maka benahi rumah mungilmu, agar sepanjang malam engkau mampu berdandan ayu “.

“Efinta !, inilah rumah mungilmu, apabila engkau selalu menatanya dengan optimis, maka tentunya dinding dan atapnya tidak akan runtuh walau digoyang gempa sekuat apapun “.

Demikian sempat aku bisikan pesanku dekat ketelinganya, saat bulan sudah mulai hadir di atap rumah kita, agar cukup tangguh maghligai bahtera ini, menghadapi ketidak pastian dunia ini. Bukankah telah cukup banyak rumah mungil yang runtuh diterpa angin prahara keangkara-murkaan manusia yang tak tahu diri ini. Bukankah pula banyak rumah mungil, yang justru diisi dengan ornamen durjana, dari manusia yang menajamkan nafsunya setajam pedang.
“Efinta bersihkanlah selalu kaca jendela rumah mungil kita, agar kita bisa memandangi dengan transparan, cakrawala di depan halaman. Sehingga kita tahu persis kemana langkah kaki akan kita ayunkan “. Bulanpun sudah mulai mendekat di raut wajahmu.

“Benarkah engkau pria yang selalu dekat denganku, benarkah itu “ ?. Kala itu bulanpun mulai merajuk, untuk ditembangi dengan nyanyian bunga-bunga wangi. Untuk mengharumi ruang demi ruang di rumah mungil ini.

“Efinta, aku hanya memiliki bagian hati, yang sebagian untuk dengus nafasmu, dan separonya lagi hanya untuk rembulan yang kini sudah menumpahkan keindahaan di kerling senyumu

”Lantas semua ornament rumahpun telah menjadi saksi bisu, ketika dua hati mengucapkan selamat malam pada rumah mungul ini, pada semua kembang pekarangan yang menata rapi. Dua hatipun bergelora di dalam rumah mungil ini, untuk menghabiskan malam panjang bersama rembulan, yang kini telah menjadi miliku,

Senin, 04 Oktober 2010

BIDADARI JALANG

KEMBALIKAN SAWAH Dan LADANG HIDUPKU

Bila aku harus terkungkung……
Oleh langit hitam, yang lama mengirimkan senyum kegetiran tanpa adanya
Daun daun hijau keteduhan,
Agar ranum bumi enggan di tawan jaman,
Menggilas tiap sudutnya, hingga bumipun meronta,
Kini bumipun terperosok dalam kubangan yang menggeliatkan
senyumnya di wajah pagi
Lantas pengembala kerbau di suatu sudut
Menarik nafas panjang, …….

Nyanyian alam ini…..
Telah menghardik semua mata yang meredup
Yang lama menjaring hari dalam tawanan musim
Dalam cengkeraman udara yang anyir….
Mereka begitu pandainya….
Menyimpan senyumnya, pada sekotak kisah”bidadari jalang”
Yang menurunkan nafas busuk
Hingga menusuk kulit mereka yang di tengah sawah

Kita terpelanting dalam pusaran
Tiada akhir, tentang gugurnya sayap belalang
Meronanya daun palma dan tak mampu lagi menjadi gambaran
Riuh rendahnya manusia melepas rindu
Hingga bilah hati saling membaca
Dalam buku harian alam……..
Yang memberi ornamen pada dinding kabut
Yang kini mampu membuat hidung, tempat nafas bersulang
Tak lebihnya hanya melekangkan paru kita

Aku tak mau lagi berkungkung langit
Bergambar ego manusia mendenguskan keangkuhan
Menebar jala-jala tajam ketiap sendi tulang, hingga lunglai
hidup semua yang bertumpuk pada tulangnya sendiri
hingga tersudutkan di pinggir bumi
Menantikan pergantian angina pasat
Yang membawa semi padi.
Menjinjing keranjang palawija
Bersembunyi di rimbun kebun sayur

Tak ada lagi tanaman mesiu
Berbunga pecahan kaca dan paku
Berpekik hingga bergaung ke seantero kaki langit
Manusia tak lebih dari benih ilalang
Yang tertiup angin menyebrangi wajah senja
Kita adalah yang mencangkul lading
Membalik tanah sawah, mengaliri dengan gemercik
Air kali di pagi hari
Yang melintang di tengah sawah dan kebon hidup kita
Lantas tidak kau terbangkan saja
Sayap sayapmu yang hitam berkuku tajam

Tak kuhiraukan meski engkau telah merobek langit
Meski engkau telah menawan bulan purnama
Meski pagar tumbuhan di pematangku
Telah kau robohkan, lantaran kegalauan dalam hatimu
Aku tetap melahap ubi jalar yang tumbuh di halamanku
Atau singkong rebus berselimut gula jawa
Atau pula pagi ini adalah miliku sendiri
Terbanglah engkau ke jaman milikmu sendiri
Bukan di sawah lading dan hidupku
Engkau merajut nafasmu…..

Semarang, 5 Oktober 2010

TEDUHKAN HATIMU

Pernahkah kau berpikir tentang selimut pagi
Hingga anak anakmu berceria
Berlarian di halaman rumahmu
Mengejar kupu-kupu jaman
Yang cantik, elok dan bersayap lincah

Dari pagi hingga senja berikutnya
Adalah kehidupan dengan prosa
Beruntai kata kata pujangga
Yang harus kau beri makna
Untuk penghibur jiwamu yang tenggelam
Dalam kawah gunung Merapi…

Nampaknya pagimu hanya
Dirajut oleh sejuta sembilu
Dari pohon bambu yang tak pernah kau tanam sendiri
Maka engkaupun harus menuai kalap

Srmarang, 5 Oktober 2010

MENJARING ANGIN

Bila engkau mengepalkan dan mengayuhkan kedua kakimu
Akan kau temui telaga bertepi nyanyi burung kenari
Berpita alam gemercik air kali menawarkan sendu dan indah
Awan di pagi dan senja hari.
Lantas mengapa kau menolehkan batas pandang pada detak nadi yang melemparkan makian. Padahal guratan gubug bamboo dengan halaman anyelir
Mampu kau singgai sekedar menyejukan kata hatimu

Kembalilah pada yang meminangmu
Seorang ibu dengan ayunan dan tembang”lagu jawa”
Kala kau kecil di pangkuanya

Mengapa pula kau simpan sembilu pada ruang jantungmu
Sehingga nafasmu selalu menyodorkan kata sumbang, dan amukan bedil
Lebih kau senangi, dengan merangkai pekik ketakutan dari……
Semua manusia.
Bila di sawah ladangmu telah kau tanami perdu dan beluntas
Lalu sayur , buah delima ranum memerah
Membasahi halaman hatimu yang telah meradangkan bara…..
Engkaupun mampu melepas lelah dalam buaian alam
Betapa syahdunya menjaring angin di halaman gubug bambumu
Ketimbang bergelut dengan aspal jalanan