Kamis, 27 Oktober 2011

Merajut Pagi Bumi Nusantara


Benang sutra kini sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir mozaik wajah wajah tunduk,
betapa tingginya bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar kemarau panjang

Telah kering air kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi negeri
hanya duduk melamun dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan sesejuk
buih Danau Toba

Kita telah berada di beranda jaman
yang berisi dunia maya dan “solar flare”
mampukah kita menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi tak membutuhkan lagi

(Semarang, 27 Oktober 2011).