Benang
sutra kini sudah rapuh,
untuk
merenda pagi dalam kanvas
yang
berukir mozaik wajah wajah tunduk,
betapa
tingginya bunga ilalang menggapai langit biru
di
negeri berpagar kemarau panjang
Telah
kering air kali sejuk membius
angin
benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara
petinggi negeri
hanya
duduk melamun dengan taring menjulur tajam
dan
siap merobek wajah pagi yang santun,
sehalus
sutra dan sesejuk
buih
Danau Toba
Kita
telah berada di beranda jaman
yang
berisi dunia maya dan “solar flare”
mampukah
kita menyobek kelambu dan tabir
yang
mengungkungkan kita di kamar ketertinggalan
maka
tiada guna lagi tangan menggapai liar
bila
rajutan pagi tak membutuhkan lagi
(Semarang,
27 Oktober 2011).