Minggu, 11 Desember 2011

Merpati Terbang Rendah


indah mahanani
Pada emaku di kampung,
Aku kabarkan sebuah “nyanyi rindu” pada untaian bulu-bulu merpati
Yang menjagakan tiap tidurku

Masih ada kawanan merpati yang menghitung awan, demi sebuah isarat
menepis warna- warni “asap ego” milik bumi,  yang menyesakan dadanya
membelit sumsum tulangnya, sehingga atmofer tak lagi sejuk.
Setelah hantu malam memburu dan berhasrat menerkamnya.
Merpati kini meletakan sayapnya,pada gulungan mega jingga,beralas
kain peraduan biru,  hingga mampu  menjaga bulir padi yang menguning
hamdi beffananda aji
dan membasuhnya dengan kabut tipis putih cemerlang
hingga sang padi mampu berotot kokoh.

 Satu dua benua, ia arungi demi rerimbunan semak yang sejuk
Nafasnya kini mampu mengarungi angin darat, kala sang nelayan melaut
Menyemai ikan tuna, cakalang dan sembilang, demi dinding perutnya
Seberkas angin pasat menjenguk, dalam hitungan hari.
Hingga bulu-bulunya mengusut dan melegam, namun tetap
sebuah senyum menghidangkan teh hangat dan panganan
anak desa,dari tepung terigu dan bumbu-bumbu desa.

Merpati itupun sesekali hinggap di buritan kapal menjulang
Semakin dekat jaraknya dengan fatamorgana langit biru,
Hingga sang elangpun menegurnya dengan suara lantang
Jauhi langit yang  akan meretkn sayapmu, sesekali biar saja langit
Berawan hitam prahara”
Namun kedua paruhnya masih mengusung senyuman pada awan
yang menawanya dan memberi bingkisan sebah senja.

Merpati tak nanar lagi, debu-debu gilanya jaman yang mengusamkan sayap
uly aji
Telah dibenahi dengan seonggok ikatan mesra dan ‘nyanyian jiwa”
Yang ditaukan pada kokohnya cakrawala setiap penjuru..
Sang merpati menggapainya untuk menyusun siang  hari dan
membenahi selimut malam dari kain beludru biru.

Sebuah air kesejukan telah membasahi dinding tenggorokanya
Merpati  itupun telah jera menyentuh langit, atau terhempas beliung
Yang membarakan jiwanya dalam batas pandang meradang pilu
Lebih baik merpati itu, menyusun daun-daun yang bersyahwat dengan debu
Lantas dianyam dengan peduli dan tangan dingin demi
perhelatan pagi hari dengan derkuku dan nuri.

Selamat menyentuh kesejukan sesejuk  air mawar
Demi pagi yang tergambar di pelupuk mata

Semarang, 12 Desember 2011





Selasa, 06 Desember 2011

Cukup Sebuah Senyuman


“Jangan sekali- kali kamu semua mencoba mendapatkan bunga kampus kita, yang suka ngomong seenaknya dan konyol itu “ umpat Sam yang menyelipkan tubuhnya ke tengah sokib sokibnya yang sedang rehat di halaman sekolah di tengah pagi yang cerah. Meski saat itu musim hujan sedang menerpa kota mereka.

“Maksud kamu bunga sekolah yang mana Sam?, yang cuakep kaya Kate Midlleton tapi nggak pernah senyum kaya Mak Lampir itu ?” Richard tanpa selembar tiraipun menutupi  ucapanya, sehingga sebuah tawa dari merekapun berderai di pagi itu. Pohon Akasia yang berjejer memayungi halaman sekolah serasa hampir roboh  dihempas derai tawa cowok-cowok kelas IPS, yang lagi betah nyanggong  menunggu bel masuk
“Sayang ya friend !, Kartika sih sebenarnya cuakep, namun galaknya minta ampun !” sela Rush.

“Lagian dia egois!, man ! “ Hendra mulai interest dengan seloroh mereka.
“Dari mana kamu tahu Kartika egois, emangnya kamu pernah dekat sama dia Dra ?” desak Steven.
“Sok tahu kamu Dra !” bantah Sam yang tidak percaya dengan ucapan Hendra.
“Coba dulu !,  kita dengarkan Si Ganteng Pemburu Cinta ini ngomong dulu, dia ngatain Kartika egois !, mesti dia punya alasan, ayo dong Dra !, terusin omongan kamu “ desak Steven yang kini duduk di samping Hendra,
“Ah, bisa aja kamu Stev !, aku cuma ngomong asal-asalan friend !” Hendra merasa tersudut kini, karena  serangan  temen temen yang membrondongnya.
“He, man !, ayo dong yang konsisten, mengapa you ngomong Kartika egois ?. Menurut aku sih dia angkuh, susah diajak kompromi dan susah dideketin. Betul nggak Sam?, lihat saja Sam yang ngap-ngapan deketin Kartika. Sampai sekarang belum berhasil, percuma kamu Sam punya sokib seperti kita kita ini ! “
“Jangankan Sam, yang kaya anak kampungan. Aku sendiri yang bisa dekat denganya belum bisa mendapatkan dia”. Hendra melemparkan selorohnya yang membuat mereka semua terperangah.
Pandangan mata mereka kini semua terarah ke Hendra. Untuk beberapa  saat derai tawa mereka kini terhenti dan semua membisu.
“Temen temen!,  Kartika sering minta tolong aku untuk ngajarin matematika, aku sering ke rumahnya. Akupun mau- mau saja. Tapi giliran aku butuh teman untuk enjoy dan refresh eh dia nggak mau “.

“Hahaha..sekarang Si Ganteng Pemburu Cinta  kena batunya, tahu rasa kamu !” ejekan Steven menderaikan tawa mereka semua.
“Kamu GR duluan sih Dra ?” jawab Richard.
 “Kakek pikun !, bukan seperti itu cara ndekati Kartika !” Sam masih saja belum bisa menepiskan derai tawanya.
“Makanya lain kali jangan terburu-buru !”
“Eh, udik !, perlu kiat khusus untuk mendapatkan kembang  kampus yang flamboyant tapi angkuh itu, belajar dulu sama kita kita ini !”. Ucapan Richard tadi semakin membawa halaman sekolah itu bertambah semarak di pagi yang mulai dihampiri kuning sinar  mentari.
“Eh, sok pinter  kamu Richard !, buktinya mana ! Kamu belum bisa mendapatkan Kartika, kan ?”
“Asal kamu tahu, aja Dra !, Veny segalanya lebih baik dari Nenek Sihir itu !”
“Udahlah !, jangan berantem. Kita kitakan masih anak ingusan. Masalah pacar yang idamkan,  nanti aja kalau kita sudah mahasiswa.Kita kan belum apa –apa !!” .Pinta Rush pada kedua cowok gaul itu yang sudah meradang nadi darahnya.
Teeet…teet…teet. Bel sekolah mengisaratkan mereka untuk segera masuk ke kelas mereka masing masing. Sementara anak anak IPS tadi segera berhamburan meninggalkan halaman depan sekolah mereka. Pohon palem botol dan Akasia kali inipun bisa bernafas lega, kemudian diam membujur diterpa sinar mentari.
***
Perlahan lahan sinar mentari mulai tertutup mendung tebal, tak berapa lama gerimis membasahi Bulan Desember ini. Mereka yang selesai mengikuti tes semester kini memburu waktu agar tidak terjebak hujan. Kecuali Kartika yang sendirian sengaja menunggu Hendra di pintu depan sekolah
Kedua sorot mata mereka berdua bertatapan, sebuah senyum dari Hendrapun dilemparkan ke arah Kartika, yang dibalas dengan senyum tipis dan sebuah permintaan Kartika pada Hendra, untk mampir di kantin sekolah.
“Apa maksudmu sih Dra ?”
“Tentang apa ?”
“Ya tentang aku “
“Maksudmu ?”

“Jangan berlagak bego!, aku tahu semua pembicaraan teman temanmu  tadi pagi di halaman sekolah !
“Dengar dari siapa ?” Tanya Hendra.
“Nggak dengar dari siapa-siapa !”
“Terus bagaimana kamu tahu ?”
“Ya, karena aku duduk di depan kantin  sini dan dengar semua ocehan sokibmu “
“Mereka semua Cuma pengin dekat denganmu,Tika ?” Hendra mencoba mencairkan bara api yang ada di dalam jantung cewek yang telah menautkan benang sutra di hatinya. Cewek yang menjadi kembang kampus di sekolahnya ini, kini telah hadir dalam beranda hatinya.  Meski Hendra telah mengenal dekat dengan Kartika, namun dia masih bimbang bagaimana mengokokan batas antara sebuah persahabatan dengan  sesuatu yang sulit diwujudkan baginya.
“Kalau pengin deket aku,ya deket aja !. Kenapa harus pakai selorohan kasar, si Nenek Sihir !, Mak Lampir ! dan apa lagi !. Hendra !, mereka semua bukan sekedar mau deket dengan aku!, tapi coba kamu pikir!. Seperti Rush, Richard, Sam, Steven itu masih seperti anak kecil, sudah berapa surat yang mereka kirim untuk aku, belum lagi rayuan ingusan lewat hp. Mereka semua belum tahu arti persahabatan, mereka semua hanya mengerti cinta-cinta ingusan !”
“Tapi mungkin lebih baik lagi,  bila kamu selalu memberi senyum pada mereka bila ketemu mereka. Tika !, kalau kamu tidak memberi mereka sebuah harapan, apa harus saling membisu bila berpapaan mereka “pinta Hendra.
“Aku memang the ice girl, namun awalnya aku juga so smilling dengan mereka,namun mereka menartikan lain”

“ Aku juga heran, mengapa mereka menilai kamu seperti itu ?”
“Hendra !, aku juga ingin supaya kamu jangan salah paham. Aku hanya berhasrat merangkai sebuah persahabatan. Aku tidak gampang memberikan harapan pada semua orang. Bila aku mengajakmu belajar bersama, apa ini sesuatu yang lain untuk kita. Maafkan aku ya Dra !, kamu nggak tersinggung,kan ?”Hendra menggelengkan kepalanya, sebuah sorot mata ang lebay terus saja menghiasi wajahnya. Kartikapun tahu bahwa memang cowok ini telah menyimpan sesuatu yang begitu halus dan lembut. Selembut embun pagi.
Namun Kartikapun tahu bahwa perhatian cowok genius ini pada dirinya sungguh lembut. Hendra selalu mengerti perasaan dirinya,  apa yang menjadi batas sebuah persahabatan antar mereka telah  Hendra jaga dengan kokoh, sekokoh pribadinya yang tangguh. Namun hanya sebatas itulah yang mampu Kartika berikan pada cowok ini. Entah sang waktu sajalah yang bakal menorehkan prosa antara mereka.
“Dra !”
“Ya, Tika !”.
“Kamu nggak marah kan ?”
“Nggak !”
“Aku mau minta tolong lagi, mau Dra ?”
“Katakan saja !”
“Kita bahas soal soal matematika tadi di rumahku , maukan ?”
“Asal kamu selalu memberiku senyuman yang terindah, maukan ?”
OK, So Smille So Good !!!!” ***

Selasa, 01 November 2011

Sayap Sayap Patah


Kupatahkan Sayapku sendiri

Biarkan aku terkucil...
membunuh  sorot mata,
membekukan  sudut kamarku,
membelenggu lengan lenganku

aku terbangkan kain hitam tak  bertepi
untuk menghalangi mentari,
hingga pagi terbunuh,
cinta anak ingusan tersayat pilu,

semai cinta dalam vas bunga
telah berkali membentur tebing kokoh
dalam lembah penuh manusia durjana

kupatahkan sayapku
dan  mengait  pada buluh rindu
yang dirajut sang rembulan
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Tetaplah Menjadi  Miliku Apa yang Kupunya

Kau inginkan “bulan berenda emas” ?
di tengah pesta minuman, dengan gelas kaca berelief
negri impian....lantas bajumu bermanik
mutiara tujuh warna...
bukankah itu milikmu sendiri
biarlah ada dalam kantong bajumu
jangan lagi mengerling matamu,
pada diriku  yang galau dan risau

hidup yang kita miliki,
adalah perjalanan menyeberangi benang bertinta hitam
yang kau kaitkan di tengah malam gulita
sehingga langkahku
hanya mampu setengah hati,

Aku adalah ilalang yang kini punya nyali
untuk melepas mawar jingga berduri tajam
yang telah lama menjadi ornamen
baju tidurku.....

(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Jumat, 28 Oktober 2011

Dendam Rindu pada Negeriku


Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak cucu
Yang memburu belalang liar...
dan tidur di ilalang yang mengering

Baru saja udara yang pengap
Berselingkuh dengan rongga dadaku,
Hingga penat menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak bangsa yang menyelipkan
segudang geram,  mampu merobohkan
Anak Krakatau dan Rinjani

Aku tak ingin pulang
Sebelum bunga bunga  kering di tengah jalan
yang ditebar dengan sebelah mata
menjadi bersemi lagi
harum mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya.
(Semarang, 29 Oktober 2011)



Prosa Alam Tentang Negeri


Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar  pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh  “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah  dan gunung.

Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan,  yang tak pernah
melangkah surut ,  meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”

Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa  (Semarang, 29 Oktober 2011)

Sebuah Pesan untuk Saudaraku


Sudah berabad lamanya, nenek moyang kita....
mengikat  pagi,siang dan senja hari
dengan  jagung, ketela rambat dan bayam
tak ada duri tajam di sawah ladang mereka....

mereka siram dengan air Anugerah dari
Yang Kuasa.
Tiada gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan  dan durjana,  sawah merekapun ditanami
“tanaman kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada pernah ada makar, anarkis  dan mesiu

Mari kita menambatkan perahu di  pantai mereka
meski  akan kita temui jalan dari tanah liat yang
licin, lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan “sang  gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu pintu depan rumah gubug mereka.

Kita sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu  memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan bertembok tulang belulang
dari belukar ,  yang tumbuh di tengah padang penuh batu
bergerigi.

Kita sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di Pantai
Dengan mengemudikan angin fajar.

Mari kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang datang dari sudut langit, yang kau penuhi dengan
iri  dengki dendam dan hasut
tiadakah pagi, tempat  memainkan buluh kembang tebu
untuk dijadikan seruling.

Atau kita hanya diam....
Sepi.

Semarang, 29 Oktober 2011.