Sabtu, 10 Maret 2012

Puisi tentang Mozaik Negeriku


dalam keranda

dalam keranda kita menyimpan sepi
hari menepi, mentari tak bertumpu langit
kita kehilangan arti
peluh tetap mengeluh, teriakan kita
tak sempat dilentingkan tebing
berpagar beluntas dan sedap malam

kita dalam pengap
dalam adonan kemanusiaan
kita terhisap  raksasa berjabat durjana
tak satupun perguliran musim
melorohkan suka cita
kita dalam gurat kebencian

dalam keranda…..
satu dua episode ditikam belati
milik durjana berkain hedonisme
kita hanya memiliki usungan
untuk esok pagi~tiada semerbak
angin segar desa dan negeri
pada langit kita sodorkan kanvas
putih bersih

(Semarang, 10 Maret 2012)

kurcica

tak  pernah kau jera dengan ocehan
kurcica busuk, bersandar di tiap pagi
sepotong bait, tak mengenyangkan perut belalang
kupu-kupu terus saja mengepak sayap
enggan mengatur nafas
kucirca  menebar duri
dari dalam paruhnya

hidangan pelepas lelah
terlelap dalam kabut penuh pekat hitam
kucirca menari dan melontarkan sihir
sementara daun daun bersorot mata nanar
tiada pernah berhenti bergumul
dalam segala yang menyelinap
di hari, belum sempat berbenah.

(Semarang, 10 Maret 2012)

si dungu penunggu makam sepi

manusia  juling dan bertaring
di tengah bilik hitam
empat tirai kain bisu dan tuli
menyelingkungi, padang sunyi
dihempas angin kebohongan
wajah sembab dan dungu
menanti jarum jam
kubur-kubur apa saja siap menelan
tubuh santun dan keadilan
telah bugil dan dalam tertikam
tanah merah kuburan jaman
tanah itupun berasa anyir
dan sunyi……

(Semarang, 10 Maret 2012)

kereta senja

jangan kau keburu memburu usai
nyanyian senja hanya fatamorgana
kereta senja biarlah melindas relmu sendiri
manusia berkain ilalang, masih berlabuh
pada episode hidup di tanah merdeka

kita masih menyambung tangan dalam jabat erat
menyemai pagi indah, beralas padi menguning
berselimut hijau sayur, bereksotis
dengan angin gunung

kereta senja tak akan lewat
enyahlah kau dari Negeri Bidadari
lengan lengan kecil bergurat moralitas
masih bercumbu dalam selingkuh Negeri Katulistiwa
meski duka nestapa dalam opera gubug bambu
dengan sepotong kue desa, dan kopi pahit

esok pagi masih ada
setangkai mawar bunga
dari sawah ladang,  masih dalam
alunan kembang cinta
selamat pagi negeriku

(Semarang, 10 Maret 2012)








Kamis, 08 Maret 2012

puisi sebuah sketsa

di timur aku mengenalmu

saat ini aku mengenal batas
pada rindu, langit runtuh meluruhkan isinya
matahari menari dengan liuk eksotis
di timur, hari menjadi cermin

kala tenggorokan telah kering
riuh rendah debu semakin bergayut
kau di tali sutra, menjinjing jarum waktu
aku melesat, menjaring resah
tepi tepi malam,
menebarkan metamorfosis
dalam bilik kau dan aku

kau menjadi sayap…..
menuju batas, warna jingga kau tengarakan
berselingkuh dengan ranum bulan
selesai sudah hari dalam tirai samar

(Semarang, 8 Maret 2012)

kain biru

terbentang antara dua sisi jantung
celoteh malam tertabur bunga
kalau kau memburu degup jantung
lautan lepas dalam buih merintih aku kayuh
batas pantai masih menorehkan halimun
senyap..
hanya kanvas hati
menuai warna mawar merah dalam kelopak
menjulur menawarkan sketsa biru rindu
pada pualam langit

kau kembali dengan senyum
saat semua layar perahu terbenahi
kau kerlingkan mata
jantungku memunguti  celoteh parau
biola malam
(Semarang, 8 Maret 2012)




Sabtu, 03 Maret 2012

Di Atas Kereta Biru Rindu

Kereta biru kini menebas dinginya kabut
menyingkapkan semua ikatan rindu, di ujung
sebuah perjalanan menuju batas pagi
sementara roda roda besi terus menelantarkan
jendela kaca yang lusuh terus menerbangkan angin fajar,
aku menggelepar di tengah kerumunan pekik
manusia manusia merajut hidup
dalam selembar janji kuci mahkota di langit

aku terdiam…..
pohon dan nyanyian bisu alam berkejaran
meniti semua tepian hati yang melekang dalam rindu
gerbong tua terus berderit dalam ketidaktahuan
mencari batas yang tak kunjung usai

aku memilih untuk terus mengayuh
asa yang masih samar di ujung sana
aku kembali terdiam

kereta terus melaju dalam biru yang sepi

(Semarang, 4 Maret 2012)


Kamis, 01 Maret 2012

Episoda Saat Aku Bernaung pada Tuhanku


Kau lah yang telah beribu buluh rindu dalam dandananku….
~dalam basah lidahku, untuk mencari ~ di terang warna bulan
di tengah  geram dan meradangnya manusia ,
tetap tergelar pada lazuardi yang Kau tetapkan dalam coretan
langit, dalam pekik awan memenuhi bola langit.

Selaksa kabut hitam memburami sisi jantung yang liar
aku melemparkan pada liuk dan lekuk Kodrat milikMU.
namun bayangan hitam mengelabuhi aku dalam
naungan yang sengaja aku usung untuk lebih kentara
kanvas penuh warna yang aku sodorkan pada langit

Meski hanya setipis kabut dini hari,
namun   tirai tetap samar dan bungkam seribu bahasa
aku bangunkan agar terjaga, dan mampu aku padukan
dengan gambaran hati, yang penuh gejolak deru debu
Kau entah berjarak, selaksa tautan yang aku gapai
dengan gemetar lengan lengan kecilku, sempit dadaku ~ episode
tetap berjalan, tertusuk bilah tajamnya waktu dan jaman

Tak seharusnya aku penat
tak seharusnya melonggar sendiku
tak seharusnya meluruh nafasku
Kau berdiri tegak diatas istana cakrawala~ aku berbenah
pada telapak tanganku bergurat serpihan asa terpagut
noda hitamku yang tertusuk pucuk ilalang,
kala padang hidup merontang, air gunung pun
memalingkan sorot matanya

Belum genap aku lengkingkan sebuah teriakan
untuk membangunkan pipit, kenari serta bakau di pantai
namun tenggorokanku telah hangus  terbakar
oleh prosa hidup yang jauh dari pelipur duka lara
aku punguti satu persatu
lantas semua bajuku  belum mampu menyimpanya

Tuhanku, aku dalam sepi….untuk sebuah NaunganMU   (Semarang, 1 Maret 2012)

Senin, 27 Februari 2012

Pelacur dari Bibir Neraka




memang kita belum mampu merapikan pagar bunga

pada halaman rumah berdinding rajutan ilalang,

berlantai tanah yang menggeliatkan nafas yang berlalu lalang

memburu tirai jaman, yang tertusuk jarum waktu

hingga kita terlentang, dalam atmosfer kemunafikan


satu dua bilik bambu kita lewati

dari jaman negeri ini meradang dalam nanar merah darah

hingga senyum semu dari perlente, yang berkerah baju sutera

tiada pernah punya rasa malu, terpinang angin tenggara

yang ganas dan bergigi pongah


kita lebih memilih seloroh pelacur berliuk tubuh anyir

yang bangkit dari bibir neraka, yang membenamkan

kepedulian di tengah lumpur hitam

bersendi tulang rapuh dihempas prahara Papua dan Negeri Serambi

telah kering sudah peraduan pengantin baru

di balik kelambu biru malam, bersimphoni belalang padang.

kita enggan mentautkan angin segar dari beranda

Jaya Wijaya hingga Bukit Barisan.


mengapa tiada lagi stambul dari para pujangga

dengan untaian kata santun dan senyum tipis

semesra ibu ibu dari negeri yang menyodorkan sarapan pagi

dengan secagkir kopi hangat dan ubi rebus

menyambut pagi dengan “Gamelan Jawa” dan “Serampang Dua Belas”


kita hanya pandai menjinjing amarah di tepi jantung

tak ada lagi, anak desa berlarian mengejar kupu kupu

di tengah padang menghijau, menautkan empat cakrawala

kita hanya mampu menghempaskan debu konflik

menyesakan dada dan nafas yang saling memburu


kita kaya dengan kepalan tangan

dan makian pada semua yang berjejer di remang panggung opera

kita tiada lagi di tengah “Tarian Santun” di benang katulistiwa

hingga senja di pantai menuggu biduk kertas untuk berlabuh

mari kita buka jendela langit

agar benang putih mampu menjemput doa kita 

(Semarang, 27 Februari 2012)







Minggu, 26 Februari 2012

Bulan di Atas Pohon Jambu


kau simpan sebagian warna emasnya
kala ku tunggu di pohon jambu…senyum rembulanku
menunggu biru malam, menjadi tirai hatimu…
kau telah mengikat sari dalam kelopakmu
sedangkan aku kumbang yang melipat sayap
kutunggu saat angin padang bertiup sepoi
aku hadirkan rajutan bunga jingga bertepi
benang emas…
kau menggodaku dengan alunan resah
hingga tepi malam mengkaitkan diri
liuk nadi darah yang mendidih

masih ada satu lagi yang kau tinggalkan
aku yang tersudut dalam birama jarum waktu
menjaring prosa lakon dalam Arjuna dan Dewi Supraba
meski hanya mengais di pucuk pohon jambu’
tapi biarkan bulanku memiliki malam ini

dengan separo nafasku di bawah pohon jambu
saat merindu…
dengan seribu buluh cinta.......(Semarang, 27 Februari,  2012)



Kamis, 16 Februari 2012

Negeri Genderuwo



Hingga kemana kita mencari
dalam tepi dan tak terdengar teriakan kita  lagi
lolong anjing ikut pula menitipkan sayatan
yang terdalam  menoreh fatamorgana...manusia
hanya dalam batas tulang dan daging

bila kita dalam ikatan “Swargaloka”
hijau  huma dan biru dalamnya samudra
menjadi naungan untuk kita  berbagi sendi yang lepas
mengapa tak kita benahi kepalan tangan
luruh buih di pantai ~ mengusung sebuah hardikan
pada langit yang berjelaga
merah padam semua wajah yang kelu
bersimphoni dengan lengkingan parau pipit
di beranda pagi

kita dalam jaman
ornamen atmosfer telah siaga dengan taring tajam
kuku panjang bermanik saling menghempas
mari kita  menantang pantai
agar anak anak kita menyambung layar
tak koyak~ kita hanya saling pandang

(Semarang, 16 Februari 2012)

Senin, 13 Februari 2012

Malam Biru untuk Valentine Day


Selimut malam......
untuk sepasang merpati di “Valentine Day”

dalam canda suka, sepasang merpati
memunguti halimun pagi
mengepak sayap, meluruh debu   jalanan
seakan telah lumat tirai waktu
berganti dengan terpelantingnya ,
semua warna dunia dalam sendi tulang mereka

kala mereka menyemai  kelopak jingga
di atas kanwas penuh warna
sang bidadaripun tersenyum malu
bunga dalam suntingan mereka
menaburkan sari hingga menyentuh langit

kala kedua sayap mereka bertaut
sepi...dalam tautan malam

(Semarang,  14 Februari 2012)

Rabu, 08 Februari 2012

Doa Sang Lelaki

1.      Dalam Doa Malam

sekeping hidup dalam buai panjang
pernah singgah,  menepikan seraut  episode menakutkan
di tengah makian debu debu menyesak dada
tak urung,   nyanyian duka
telah disemai di puncak yang bukan milikmu
meski bibir gincu, menyapa hari hari yang asing
tak satupun nama tertanam di pepohonan
yang kekar dan sejuk

merah jambu awan senja
bertepi putih membiru tepi langit
telah menyongsong wajah yang akrab dengan
lipatan jaman…guratan hidup mencumbu nafas
kala terlihat lelah kedua mata kita.

kau mencoba mengukir sisi langit
yang membentuk barisan awan…bertanam mekar sari
seberkas himpitkan  tajam  sebagian langit
meluruhkanmu, …..kembali sepi
dari indahnya wajah bulan di bumi dongeng
hanya tinggal, bahtera yang mengusung
serpihan layar menantang angin buritan

lebih baik kau tawarkan mawar jingga
dalam sebagian malam
bertabur sayap malaikat dari rajutan langit
kemana lagi akan kau cincang hidup ini
bukankah potongan doa lebih indah
dari jarum waktu yang kau tinggalkan……(Semarang, 9 Februari 2012)


2.      Entahlah Meski di Mana Aku Berada

hanya bentangan kuning padi berseri,
terbawa liarnya angin memburu seribu makna
kadang menengadahkan bulirnya ke mentari
berkuning rapat rambut sutra
atau meliukan rindu ke biru gunung menawan
menata kembali nafas yang terpagut merona tepi jaman
entahlah hanya tangkainya yang menggenggam makna
dari dahinya yang berkerut
dan rongga matanya yang dalam membisu.

atau……….
biarkan saja awan jingga dalam angkuhnya
menerpakan sisi cakrawala barat
tempat merpati meluruskan sayap
aku terselip di dalamnya ikut menggetarkan
makna – makna yang meluruh di gerimis senja

aku kencangkan genggam jemari
yang tergolek lesu kalau seribu cermin ego menghimpitku
aku kabarkan dalam seloroh prosa pujangga
namun hanya bait yang menunggu merekahnya mawar jingga
beruntai gerigi tajam menghanyutkan sisi sendiku
aku  kembali dalam canda manja alam
atau kepak kenari yang melambungkanku
menuju batas pandang yang samar
aku tak tahu….

sempat pula sang camar
membenah pantai dari rerimbunan durjana
yang menghitami, jantungnya
namun tanpa mata nanar dan syak wasangka
sang camarpun hinggap di biru langit
dengan wajah menunduk, memunguti  bentangan harap
aku dalam sepi….

masih ada sisa bait, yang terpendam pada
dalamnya kalbu, hanya makna yang aku sendiri
lelah menjinjing di balik wajah yang mencibirkan kelu
mari kita kembali untuk mengetam padi
meluruskan pematang sawah kita
agar kuning padi menyeringai dalam seloroh mentari
hingga belalang melipatkan sayapnya
kita dalam damai
agar tiada lagi sepi….sebuah gambar alam……(Semarang, 8 Pebruari 2012)



3.       Semuanya Kan Usai

lantaran apa kita pinang embun pagi
yang renyah menyelerohkan cakrawala di balik gunung
hingga kita terpikat pada lesung pipit
dan gemulai Gambir Anom sang pesinden penuh
cahaya malam…dan lampu jaman

tulang-tulang iga kita tlah merapat
dijemput maghligai susun tujuh empat penjuru langit
gendang dan kecapi tak mampu lagi
menarikan dedaunan palma di ujung rumah kita
apalagi lagi  dolanan anak anak  yang bertembang
hanya seberkas kenangan dalam rindu hati
bersama kekasih kita

lekaslah mencanda jantung kita masing-masing
agar nyaman tidur siang kita…………(Semarang, 8 Pebruari 2012)

4.      Senyum

dalam senyum sang lelaki tak lagi memincingkan mata
bila rerimbunan pohon tlah menyejuk jiwa
semua gambaran alam..melapangkan dadanya
 lembayung senja bertanam bunga melati
lelaki itupun….entah milik siapa……(Semarang, 9 Februari 2012)

Senin, 06 Februari 2012

Entahlah


hanya bentangan kuning padi berseri,
terbawa liarnya angin memburu seribu makna
kadang menengadahkan bulirnya ke mentari
berkuning rapat rambut sutra
atau meliukan rindu ke biru gunung menawan
menata kembali nafas yang terpagut merona tepi jaman
entahlah hanya tangkainya yang menggenggam makna
dari dahinya yang berkerut
dan rongga matanya yang dalam membisu.

atau……….
biarkan saja awan jingga dalam angkuhnya
menerpakan sisi cakrawala barat
tempat merpati meluruskan sayap
aku terselip di dalamnya ikut menggetarkan
makna – makna yang meluruh di gerimis senja

aku kencangkan genggam jemari
yang tergolek lesu kalau seribu cermin ego menghimpitku
aku kabarkan dalam seloroh prosa pujangga
namun hanya bait yang menunggu merekahnya mawar jingga
beruntai gerigi tajam menghanyutkan sisi sendiku
aku  kembali dalam canda manja alam
atau kepak kenari yang melambungkanku
menuju batas pandang yang samar
aku tak tahu….

sempat pula sang camar
membenah pantai dari rerimbunan durjana
yang menghitami, jantungnya
namun tanpa mata nanar dan syak wasangka
sang camarpun hinggap di biru langit
dengan wajah menunduk, memunguti  bentangan harap
aku dalam sepi….

masih ada sisa bait, yang terpendam pada
dalamnya kalbu, hanya makna yang aku sendiri
lelah menjinjing di balik wajah yang mencibirkan kelu
mari kita kembali untuk mengetam padi
meluruskan pematang sawah kita
agar kuning padi menyeringai dalam seloroh mentari
hingga belalang melipatkan sayapnya
kita dalam damai
agar tiada lagi sepi….sebuah gambar alam


(Semarang, 8 Pebruari 2012)