Jumat, 06 Agustus 2021

Hari VALENTIN

 


dalam canda suka, sepasang merpati

memunguti halimun pagi

mengepak sayap, meluruh debu   jalanan

seakan telah lumat tirai waktu

berganti dengan terpelantingnya ,

semua warna dunia dalam sendi tulang mereka

 

kala mereka menyemai  kelopak jingga

di atas kanwas penuh warna

sang bidadaripun tersenyum malu

bunga dalam suntingan mereka

menaburkan sari hingga menyentuh langit

 

kala kedua sayap mereka bertaut

sepi...dalam tautan malam

 

(Semarang,  14 Februari 2021)

CERITA CINTA




 Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja

Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga

untuk  Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu

Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu,

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya

Di serambi rumahnya, senja membelenggunya

Hanya bermesra dengan senja yang sepi

 

Kala Prince Henry,  bayangan kasihnya dalah lubuk hati

Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung

sepanjang jalan  desa  dipusari kebun palawija dan tebu

Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu

Nurlela tersenyum bahagia

 

Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa             

Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti

ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan

Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim

Untuk terbang memunguti hari harinya

 

Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari

Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu

Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi

Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun

dan   sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta 


Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah

 

Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka

Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil

 

Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman

Jakarta tak mengenal petani desa yang polos

Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya..

 

Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya

Sang pangeran menjadi tak tahu arah  terbitnya matahari dan bulan

Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup

Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap

Sang pangeran menjadi jalang dan liar

 

Lakon hidup memang harus terkembang karena angin

bertiup dengan ganas dan liar

Bayang Nurlelapun mengelupas  dari bilik jantungnya

Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis

Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya

 

Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam

Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran

untuk Nurlela.

Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu

Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar

Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 

Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu

Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup

Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering.

 

Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia

yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya.

Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, 

tanpa sepatah katapun Nurlela

menjawabnya.

Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta

 

Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong

Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan

Maka emak dan  bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah

Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya.

Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar

Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ?

Nurlela tertunduk lesu

Semarang, 8 Desember 2020

 

 

 

Kamis, 05 Agustus 2021

Langit Jingga


Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga untuk Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu, 

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya Di serambi rumahnya, senja membelenggunya Hanya bermesra dengan senja yang sepi Kala Prince Henry, bayangan kasihnya dalah lubuk hati Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung sepanjang jalan desa dipusari kebun palawija dan tebu Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu 

Nurlela tersenyum bahagia Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim 

Untuk terbang memunguti hari harinya Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun dan sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah 

 Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman Jakarta tak mengenal petani desa yang polos Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

 Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya.. Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya Sang pangeran menjadi tak tahu arah terbitnya matahari dan bulan Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap Sang pangeran menjadi jalang dan liar 

 Lakon hidup memang harus terkembang karena angin bertiup dengan ganas dan liar Bayang Nurlelapun mengelupas dari bilik jantungnya Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran untuk Nurlela. Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering. Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya. Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, tanpa sepatah katapun Nurlela menjawabnya. Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan Maka emak dan bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya. Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ? Nurlela tertunduk lesu Semarang, 8 Desember 2020

KABUT BIRU

kembali serambi langit bertirai hitam pekat gulungan awan pekat..
. menikam buku harianku tak sedikitaku berniat menutupnya..
 karena sehalaman penuh tertoreh kau di sana di batas langit,..... 

 di tengah gulungan awan hitam.. di ngarai berlantai melati dan kenanga.... 

 di boulevard bersama sang arjuna.... aku tertawan dalam tembang parau berujung gerigi tajam yang kau sedu dengan senyumanmu berilah kabar meski hanya dengan kepak merpati bersama hujan...

untuk sebuah salam canda aku dalam benang rindu

 hujanmu.menyelinapkan aku dalam gubug kecilku

 sepi..tanpamu.... 


 Mentari mentari masih bersinar... 

 menyiratkan masih ada hidup mentari melontarkan hangatnya... pertanda masih ada bara di dada... mentari tiada bosan menyengat... 
 memberi kabar masih adakah semangat...? 
mentri tak pernah menyisakan keluh.. perlambang tak kan ada lagi kesah mentari dan bulan,
 tak pernah bersatu adalah untuk kita makna siang dan malam 
bahwa kita selalu dalam perguliran nasib

 (Semarang 19/12/20)

Sentuhan Kasih

Sudah genapah kau menghitung hari ? 
 Jangan au isi dengan dusta, atau sumpah serapah... 
 Jalinan dahlia, pipit dan halaman rumah membiru 
Menggapai getar dalam nadi darahmu Agar menjenguk s
emilir angin yang menjalin 
Untaian biru lembayung bergambar dewi cinta 
 Kau menantap dengan bahasa sendu

, kata kata pujangga 
 Kau jinjing hingga menawan hatiku ke sudut jantungku Aku meruntuhkan langit
 Menebas birama bumi bagai anak remaja kasmaran 
 Tak tentu arah menjaring angin kembara Kau di sisi mount everest.... 
 mengalir deras di nadi darahku 
Kau biakan aku.tak mendusta hari 

 SEMARANG 12 Juli 2021