Jumat, 06 Agustus 2021

CERITA CINTA




 Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja

Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga

untuk  Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu

Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu,

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya

Di serambi rumahnya, senja membelenggunya

Hanya bermesra dengan senja yang sepi

 

Kala Prince Henry,  bayangan kasihnya dalah lubuk hati

Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung

sepanjang jalan  desa  dipusari kebun palawija dan tebu

Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu

Nurlela tersenyum bahagia

 

Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa             

Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti

ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan

Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim

Untuk terbang memunguti hari harinya

 

Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari

Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu

Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi

Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun

dan   sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta 


Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah

 

Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka

Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil

 

Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman

Jakarta tak mengenal petani desa yang polos

Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya..

 

Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya

Sang pangeran menjadi tak tahu arah  terbitnya matahari dan bulan

Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup

Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap

Sang pangeran menjadi jalang dan liar

 

Lakon hidup memang harus terkembang karena angin

bertiup dengan ganas dan liar

Bayang Nurlelapun mengelupas  dari bilik jantungnya

Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis

Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya

 

Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam

Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran

untuk Nurlela.

Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu

Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar

Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 

Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu

Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup

Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering.

 

Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia

yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya.

Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, 

tanpa sepatah katapun Nurlela

menjawabnya.

Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta

 

Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong

Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan

Maka emak dan  bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah

Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya.

Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar

Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ?

Nurlela tertunduk lesu

Semarang, 8 Desember 2020

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar