Rabu, 04 Januari 2012

Bila Harus


puspa prasasti aji
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa  engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.

Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek Bulan
Terasa parau,  bila  telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja

Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu

Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan

Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang

(Semarang, 5 Januari 2012).

Selasa, 03 Januari 2012

Di Batas Kota


Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan

Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri

Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit,  menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua

(Semarang, 3 Januari 2012).


Minggu, 01 Januari 2012

Maafkan Aku


sekarkusuma adji
Dalam kerinduanku.....
Satu dua pelangi masih menghiasi langit biru kita,
Setelah sekian lama gerimis, mengukuhkan tekad gulungan
awan hitam, tanpa bersolek dengan senyuman
Seribu warnanya masih kokoh bepegangan satu sama lainnya
Tak satupun berhasrat melongar dan menjenguk pada perdu
Yang melemparkan senja pada padang rumput meranggas tergelar
Untuk hunian kupu-kupu bersayap temaram lesu

Maafkan aku, yang baru saja menjangkau istana di balik cakrawala
Berlantai marmer cemerlang dengan ikatan daun pandan di halamanya
Tak ada lagi pagar bambu, hanya Kuda Sembani berbulu hitam mengkilat
Aku mencoba membuka pintu gerbang yang kokoh bertepi kayu
jati setebal nyaliku yang meradangkan mata yang nanar
Namun sang malaikatpun menghepaskanku.

Aku hanya mampu melincur turun
Dengan sayap terlipat
Meski jauh aku memandang tempat mandi bidadari, dengan air bunga
berkulum senyum, agar liku tubuh bidadari bertambah segar dan merebah
di hunian pagi yang sarat nyanyi alam.

Namun kosong dalam nadi darahku
Kembali sepi.....

sekar kusuma adji
Aku coba memingit Sang Dévavrata... hingga dia bersemayam di
Uttarayana. Tempat sang guru bersemayam.
 Agar mampu aku pasang di figura gambarku,
Agar pula aku mampu menjadi guru sang hidup.
namun tak kutemui jawaban...

Maafkan aku, yang tidak mampu mengajakmu
Mencandai sang pelangi yang menyelorohkan warna warni gamelan jawa
Agar engkau tersenyum dininabobokan angin gunung dan samudra.      
Maafkan aku yang tidak mampu meminang sang rembulan
Dengan serpihan mutiara retak yang dapat aku punguti
Sehingga tidak ada lagi arah angin yang melajukan perahu kita.

Maafkan aku,  yang telah kandas ditikam nyanyi jaman
Dipusari warna pelangi yang lusuh ...hingga tak ada lagi sang elang
yang hinggap untuk mengais butir-butir hidup
Berilah aku secawan nyanyi bahagia, agar aku tidak menerjang
batas horizon antara kebun bunga yang kau semai, dan sayap hitam
iblis pembawa angkara dan amarah

Akan aku letakan sebagian ornamen pagi di bahu yang satu
Sementara bahu lainnya membawa kelopak sang mawar
Untuk gincu bibirmu, agar bunga ilalang bersemayam
Tidak terpagut melekangnya kemarau panjang...hanya sebuah
kata maaf, selayaknya kau berikan untuk gincu bibir
sang rembulan yang bergaun lamam
menanti Don Juan yang berwajah sang maestro Dewa A’mour.

Tiada lagi pelabuhan yang dipenuhi melati
Agar aku terlelap dalam harumnya
(Semarang, 2 Januari 2012)