Satu dua
pelangi masih menghiasi langit biru kita,
Setelah sekian
lama gerimis, mengukuhkan tekad gulungan
awan hitam,
tanpa bersolek dengan senyuman
Seribu warnanya masih kokoh bepegangan satu sama lainnya
Tak satupun berhasrat melongar dan menjenguk pada perdu
Yang melemparkan senja pada padang rumput meranggas tergelar
Untuk hunian kupu-kupu bersayap temaram lesu
Maafkan aku, yang baru saja menjangkau istana di balik cakrawala
Berlantai marmer cemerlang dengan ikatan daun pandan di halamanya
Tak ada lagi pagar bambu, hanya Kuda Sembani berbulu hitam mengkilat
Aku mencoba membuka pintu gerbang yang kokoh bertepi kayu
jati setebal nyaliku yang meradangkan mata yang nanar
Namun sang malaikatpun menghepaskanku.
Aku hanya mampu melincur turun
Dengan sayap terlipat
Meski jauh aku memandang tempat mandi bidadari, dengan air bunga
berkulum senyum, agar liku tubuh bidadari bertambah segar dan merebah
di hunian pagi yang sarat nyanyi alam.
Namun kosong dalam nadi darahku
Kembali sepi.....
Uttarayana. Tempat
sang guru bersemayam.
Agar mampu aku pasang di figura gambarku,
Agar
pula aku mampu menjadi guru sang hidup.
namun
tak kutemui jawaban...
Maafkan aku, yang tidak mampu mengajakmu
Mencandai sang pelangi yang menyelorohkan warna warni gamelan jawa
Agar engkau tersenyum dininabobokan angin gunung dan samudra.
Maafkan aku
yang tidak mampu meminang sang rembulan
Dengan serpihan
mutiara retak yang dapat aku punguti
Sehingga tidak
ada lagi arah angin yang melajukan perahu kita.
Maafkan aku,
yang telah kandas ditikam nyanyi jaman
Dipusari warna
pelangi yang lusuh ...hingga tak ada lagi sang elang
yang hinggap
untuk mengais butir-butir hidup
Berilah aku secawan
nyanyi bahagia, agar aku tidak menerjang
batas
horizon antara kebun bunga yang kau semai, dan sayap hitam
iblis pembawa
angkara dan amarah
Akan aku letakan
sebagian ornamen pagi di bahu yang satu
Sementara bahu
lainnya membawa kelopak sang mawar
Untuk gincu
bibirmu, agar bunga ilalang bersemayam
Tidak terpagut
melekangnya kemarau panjang...hanya sebuah
kata maaf,
selayaknya kau berikan untuk gincu bibir
sang
rembulan yang bergaun lamam
menanti Don
Juan yang berwajah sang maestro Dewa A’mour.
Tiada lagi
pelabuhan yang dipenuhi melati
Agar aku
terlelap dalam harumnya
(Semarang, 2
Januari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar