Senin, 12 Maret 2012

saat dia datang membawa cinta


dengan gaun biru dia mewarnai hari
datang merentang hari hari jalang
akupun bersauh dalam serapah agar tak gundah
kembali menjerat hari, menusukan pada mentari
kutanyakan rembulan
agar aku mampu berbagi rindu

dia datang
menjemput keranjang bunga, menepis
nafas yang terjerat, mensyahwat biru langit
lantas  kau pungut, escream cinta
beraroma lantang menatap bintang gemintang

aku ceraikan serpihan buku harian
kala setiap halaman menyudutku
dalam nyanyian panjang, hari yang kujinjing

malampun kau pinang, aku hanya bertatap rindu
mari kita rentangkan
agar sendi tulang mampu kita titipkan
di langit penuh dengan kembang pengantin
di singasana tak ada duka lara

di tengah halimun dingin…
dini hari kau ulurkan buluh rindu
secawan teh hangat bergula senyum
mari kita satukan dalam bilik jantung

(Semarang, 13 Maret 2012)

Sabtu, 10 Maret 2012

Anisah Ratu Matematikaku


“Entah apa sebabnya aku begini ???? ” berkali kali,  entah sudah berpuluh  kali pertanyaan itu selalu menggelitik hati Anisah. Bukan tentang hadirnya sang doi di hatinya, atau sorot mata Ikang yang selalu dihujamkan padanya, tiap mereka berdua bertemu di setiap sudut sekolah itu. Atau bukan pula tentang beberapa teman cewek sekelasnya yang selalu melipat bibir mereka sendiri karena cemburu bila menyaksikan setiap langkah Anisah.

Tetapi selalu saja pertanyaan itu timbul bila dia berhadapan dengan Ibu Hamidah yang selalu menuliskan angka di papan whiteboard di pelajaran matematika yang paling dia benci. Angka angka dan serangkaian huruf capital atau hiruf kecil terus saja memenuhi whiteboard di depanya, yang semakin membuat ubun ubun Anisah seakan mau pecah. Apalagi bila angka-angka itu saling membagi atau mengalikan bersama dengan serangkaian huruf kecil atau capital.

Apalagi bila sang guru manis berambut panjang itu, berteriak melengking, besorot mata tajam seakan melihat hantu di sudut kelas,  sambil memukul-mukulkan penghapus pada papan whiteboard, Bu Hamidahpun kerap  berteriak “ Ini bahan ajar untuk UN, kalian harus mencermati materi ini. Kalau tidak bisa gimana kamu mau lulus ?. Padahal UN sudah dekat ?”. Anisah terperangah di tengah perasaan sedih, mengapa otaknya tidak setajam pisau, menagapa Tuhan menganugerahi otak kerbau kepada aku. Kata kata Bu Hamidah “ Gimana mau lulus UN ? …. Gimana mau lulus UN?.... Gimana mau lulus UN ?..” terus saja menempel di hati dan telinganya.

Hari itu tatapan matanya bertambah meredup, rasa takut memenuhi setiap nadi jantungnya. UN kini menjelma menjadi hantu menakutkan,  sebengis wajah Bu Hamidah yang cantik dan lajang itu.
***

“He..first lady…ratu jagad yang kaya Kate Midlleton, tumben kamu melipat wajah hari ini. Apa ada angin tenggara yang menculik hatimu “ teriak Burhan di beranda kelas usai terdengar bel panjang, pertanda mereka bisa pulang di tengah gerimis musim hujan ini.

“Makasih friend, atas rayuan gombalmu. Mana ada first lady, yang bodo seperti aku ?” jawab Anisah dengan sorot mata yang masih kelihatan layu ditikam perasaan pd-nya yang pas pasan.
“Aduh , emak !, sedikit senyum dong !. Mesti kamu habis disemprot Bu Hamidah, iya kan ?”
2
“Ya memang gitu, aku malu dan bingung”

“Kenapa ? “

“Aku selalu tidak  bisa mengerjakan,  bila Bu Hamidah menyuruhku maju ke depan. Entah Burhan !, aku sendiri sering bingung kalau mengerjakan matematika, apalagi soal soal UN, tolong ajari aku, friend !” sahut Anisah memelas.

“Kamu bisa kok !, asal kamu teliti dan sering latihan “

“ Ya itu sih sudah pasti, friend !, aku sudah belajar tapi ya seperti inilah !. Dasar IQ-ku  zero !”

“Gimana kamu bisa, kamu sendiri sudah pesimis seperti itu. Cobalah lebih akrab dengan matematika. He, beautiful !!!, aku sudah kenal kamu sejak kita di SMP, aku tahu kamu alergi terhadap matematika. Beruntung Bu Hamidah yang cantik, luwes dan simpatik. Coba kalau yang ngajar Pak Aditya, masti kamu lebih stressss…” jawab Burhan yang berjalan di sisi The Nice Girls Anisah hingga sampai di pintu gerbang sekolah.

“Makanya ajari aku ya Han ?”

“Percuma !”

“Kenapa, percuma !”

“Kamu sendiri sudah membenci matematika !!!”

“Ah, entahlah ! “, Anisah membanting wajahnya pada jalan-jalan aspal yang mulai basah dijatuhi titik hujan. Anisah kini tenggelam dalam hujan. Sementara angin yang bertiup kencang melempar tiap percik air hujan ke semua penjuru. Tubuh Anisah sudah tak kelihatan lagi.
***

“Pap, aku mau ikut bimbingan tes matematika, boleh pap ?” pinta Anisah pada papanya di suatu sore di beranda rumah gedong yang berhalaman luas.

“Lho, papakan tidak pernah melarang kamu  ikut kegiatan positip seperti itu. Cuma papa mau tanya !. Mengapa tiba tiba kamu minta bimbingan tes matematika ?’

3
“UN sudah dekat, pap !”

“Kenapa tidak dulu dulu ? “

“Pap, Anisa tidak bisa matematika, padahal UN sudah dekat !”

“Anisah !, papa tahu UN sudah dekat. Tapi mengapa baru sekarang kamu ribut ikut bimbingan tes. Papa tahu,  sejak SD kamu malas belajar matematika, yang kamu anggap seperti momok. Inilah salahnya kamu, Anisa !”. Sebenarnya seberrsit harapan kini mulai tumbuh di hati Samsudin. Sebuah harapan agar Anisah mulai rajin belajar hingga mampu kuliah di jenjang perguruan tinggi.

Guratan panik di wajah Anisah mulai jelas kelihatan. Maka sore itu dia hanya melentingkan sorot matanya yang hampa di hamparan rumput jepang yang tertata apik di halaman rumahnya. Hati kecilnya masih selalu saja mengutuk mengapa dia harus belajar angka angka setan, mengapa pula harus ada UN matematika, mengapa Bu Hamidah selalu menyudutkan dia dan kini papanya juga ikut memberikan vonis bersalah padanya. Samsudinpun tahu persis watak dan ego putri kesayanganya itu.

“Anisah !, apa bimbingan tes  bisa menyulap kamu menjadi pandai matematika, hanya dalam beberapa minggu ?”

“Papa gitu, sih !. Malah membuat Anisah panik !”

“Bukan itu maksud papa, kamu bisa siap UN, kalau diri kamu sendiri yang menyiapkan, bukan bimbingan tes “

“Papa malah ngaco !, apa papa keberatan biaya daftarnya ?”

“Aduh !!!, Anisah sayang !, papa dan mamamu tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya untuk kemajuan kamu, paling berapa, sih biaya bimbingan tes ?. Tapi maksud papa kamu mulai sekarang belajar  matematika sendiri yang rajin. Mesti kamu bisa ?. seberapa sulitnya sih, matematika SMA ?’

“Papa !, untuk Anisah, matematika memang sulit, pap !, Anisaj tidak punya bakat pinter matematika !’

“Yang sulit bukan matematikanya, tapi diri kamu sendiri !”

“Sulit bagaimana pap ?”

“Kamu yang memang tidak punya kemauan untuk pinter matematika. Itu papa tahu sejak dulu, sekarang jadikan matematika sebagai teman akrabmu, bukan lagi seperti angka angka setan yang membuat kepalamu puyeng “

“Ah..caranya bagaimana, pap !”

“Ya itu tadi, kamu belajar yang tekun dan rajin mengerjakan soal soal matematika. Jangan pernah lagi kamu anggap matematika seperti angka angka setan “

***
“Matematika tidak sulikan, Anisah ?” dengan senyum renyah Bu Hamidah mencoba berbicara dari hati ke hati pada Anisah di ruang guru, saat Anisah meminta nilai try out terakhir pada Bu Guru yang cantik itu.Anisah hanya tersenyum dalam derai yang dihiasi lesung pipitnya. “Jadi kamu sekarang siap menghadapi UN pelajaran matematika ?”. Pertanyaan Bu Hamidah dibalas dengan senyum canda Anisah, yang mengisaratkan bahwa matematika bagi dirinya bukan lagi ANGKA ANGKA SETAN 

Anisah Sang Ratu Matematika  kini lepas bebas, bagai burung  pipit di pagi hari


***

Puisi tentang Mozaik Negeriku


dalam keranda

dalam keranda kita menyimpan sepi
hari menepi, mentari tak bertumpu langit
kita kehilangan arti
peluh tetap mengeluh, teriakan kita
tak sempat dilentingkan tebing
berpagar beluntas dan sedap malam

kita dalam pengap
dalam adonan kemanusiaan
kita terhisap  raksasa berjabat durjana
tak satupun perguliran musim
melorohkan suka cita
kita dalam gurat kebencian

dalam keranda…..
satu dua episode ditikam belati
milik durjana berkain hedonisme
kita hanya memiliki usungan
untuk esok pagi~tiada semerbak
angin segar desa dan negeri
pada langit kita sodorkan kanvas
putih bersih

(Semarang, 10 Maret 2012)

kurcica

tak  pernah kau jera dengan ocehan
kurcica busuk, bersandar di tiap pagi
sepotong bait, tak mengenyangkan perut belalang
kupu-kupu terus saja mengepak sayap
enggan mengatur nafas
kucirca  menebar duri
dari dalam paruhnya

hidangan pelepas lelah
terlelap dalam kabut penuh pekat hitam
kucirca menari dan melontarkan sihir
sementara daun daun bersorot mata nanar
tiada pernah berhenti bergumul
dalam segala yang menyelinap
di hari, belum sempat berbenah.

(Semarang, 10 Maret 2012)

si dungu penunggu makam sepi

manusia  juling dan bertaring
di tengah bilik hitam
empat tirai kain bisu dan tuli
menyelingkungi, padang sunyi
dihempas angin kebohongan
wajah sembab dan dungu
menanti jarum jam
kubur-kubur apa saja siap menelan
tubuh santun dan keadilan
telah bugil dan dalam tertikam
tanah merah kuburan jaman
tanah itupun berasa anyir
dan sunyi……

(Semarang, 10 Maret 2012)

kereta senja

jangan kau keburu memburu usai
nyanyian senja hanya fatamorgana
kereta senja biarlah melindas relmu sendiri
manusia berkain ilalang, masih berlabuh
pada episode hidup di tanah merdeka

kita masih menyambung tangan dalam jabat erat
menyemai pagi indah, beralas padi menguning
berselimut hijau sayur, bereksotis
dengan angin gunung

kereta senja tak akan lewat
enyahlah kau dari Negeri Bidadari
lengan lengan kecil bergurat moralitas
masih bercumbu dalam selingkuh Negeri Katulistiwa
meski duka nestapa dalam opera gubug bambu
dengan sepotong kue desa, dan kopi pahit

esok pagi masih ada
setangkai mawar bunga
dari sawah ladang,  masih dalam
alunan kembang cinta
selamat pagi negeriku

(Semarang, 10 Maret 2012)








Kamis, 08 Maret 2012

puisi sebuah sketsa

di timur aku mengenalmu

saat ini aku mengenal batas
pada rindu, langit runtuh meluruhkan isinya
matahari menari dengan liuk eksotis
di timur, hari menjadi cermin

kala tenggorokan telah kering
riuh rendah debu semakin bergayut
kau di tali sutra, menjinjing jarum waktu
aku melesat, menjaring resah
tepi tepi malam,
menebarkan metamorfosis
dalam bilik kau dan aku

kau menjadi sayap…..
menuju batas, warna jingga kau tengarakan
berselingkuh dengan ranum bulan
selesai sudah hari dalam tirai samar

(Semarang, 8 Maret 2012)

kain biru

terbentang antara dua sisi jantung
celoteh malam tertabur bunga
kalau kau memburu degup jantung
lautan lepas dalam buih merintih aku kayuh
batas pantai masih menorehkan halimun
senyap..
hanya kanvas hati
menuai warna mawar merah dalam kelopak
menjulur menawarkan sketsa biru rindu
pada pualam langit

kau kembali dengan senyum
saat semua layar perahu terbenahi
kau kerlingkan mata
jantungku memunguti  celoteh parau
biola malam
(Semarang, 8 Maret 2012)




Sabtu, 03 Maret 2012

Di Atas Kereta Biru Rindu

Kereta biru kini menebas dinginya kabut
menyingkapkan semua ikatan rindu, di ujung
sebuah perjalanan menuju batas pagi
sementara roda roda besi terus menelantarkan
jendela kaca yang lusuh terus menerbangkan angin fajar,
aku menggelepar di tengah kerumunan pekik
manusia manusia merajut hidup
dalam selembar janji kuci mahkota di langit

aku terdiam…..
pohon dan nyanyian bisu alam berkejaran
meniti semua tepian hati yang melekang dalam rindu
gerbong tua terus berderit dalam ketidaktahuan
mencari batas yang tak kunjung usai

aku memilih untuk terus mengayuh
asa yang masih samar di ujung sana
aku kembali terdiam

kereta terus melaju dalam biru yang sepi

(Semarang, 4 Maret 2012)


Kamis, 01 Maret 2012

Episoda Saat Aku Bernaung pada Tuhanku


Kau lah yang telah beribu buluh rindu dalam dandananku….
~dalam basah lidahku, untuk mencari ~ di terang warna bulan
di tengah  geram dan meradangnya manusia ,
tetap tergelar pada lazuardi yang Kau tetapkan dalam coretan
langit, dalam pekik awan memenuhi bola langit.

Selaksa kabut hitam memburami sisi jantung yang liar
aku melemparkan pada liuk dan lekuk Kodrat milikMU.
namun bayangan hitam mengelabuhi aku dalam
naungan yang sengaja aku usung untuk lebih kentara
kanvas penuh warna yang aku sodorkan pada langit

Meski hanya setipis kabut dini hari,
namun   tirai tetap samar dan bungkam seribu bahasa
aku bangunkan agar terjaga, dan mampu aku padukan
dengan gambaran hati, yang penuh gejolak deru debu
Kau entah berjarak, selaksa tautan yang aku gapai
dengan gemetar lengan lengan kecilku, sempit dadaku ~ episode
tetap berjalan, tertusuk bilah tajamnya waktu dan jaman

Tak seharusnya aku penat
tak seharusnya melonggar sendiku
tak seharusnya meluruh nafasku
Kau berdiri tegak diatas istana cakrawala~ aku berbenah
pada telapak tanganku bergurat serpihan asa terpagut
noda hitamku yang tertusuk pucuk ilalang,
kala padang hidup merontang, air gunung pun
memalingkan sorot matanya

Belum genap aku lengkingkan sebuah teriakan
untuk membangunkan pipit, kenari serta bakau di pantai
namun tenggorokanku telah hangus  terbakar
oleh prosa hidup yang jauh dari pelipur duka lara
aku punguti satu persatu
lantas semua bajuku  belum mampu menyimpanya

Tuhanku, aku dalam sepi….untuk sebuah NaunganMU   (Semarang, 1 Maret 2012)