“Entah apa
sebabnya aku begini ???? ” berkali kali,
entah sudah berpuluh kali
pertanyaan itu selalu menggelitik hati Anisah. Bukan tentang hadirnya sang doi
di hatinya, atau sorot mata Ikang yang selalu dihujamkan padanya, tiap mereka
berdua bertemu di setiap sudut sekolah itu. Atau bukan pula tentang beberapa
teman cewek sekelasnya yang selalu melipat bibir mereka sendiri karena cemburu
bila menyaksikan setiap langkah Anisah.
Tetapi selalu
saja pertanyaan itu timbul bila dia berhadapan dengan Ibu Hamidah yang selalu
menuliskan angka di papan whiteboard di pelajaran matematika yang paling dia
benci. Angka angka dan serangkaian huruf capital atau hiruf kecil terus saja
memenuhi whiteboard di depanya, yang semakin membuat ubun ubun Anisah seakan
mau pecah. Apalagi bila angka-angka itu saling membagi atau mengalikan bersama
dengan serangkaian huruf kecil atau capital.
Apalagi bila
sang guru manis berambut panjang itu, berteriak melengking, besorot mata tajam
seakan melihat hantu di sudut kelas, sambil memukul-mukulkan penghapus pada papan
whiteboard, Bu Hamidahpun kerap berteriak “ Ini bahan ajar untuk UN, kalian
harus mencermati materi ini. Kalau tidak bisa gimana kamu mau lulus ?. Padahal
UN sudah dekat ?”. Anisah terperangah di tengah perasaan sedih, mengapa otaknya
tidak setajam pisau, menagapa Tuhan menganugerahi otak kerbau kepada aku. Kata
kata Bu Hamidah “ Gimana mau lulus UN ? …. Gimana mau lulus UN?.... Gimana mau
lulus UN ?..” terus saja menempel di hati dan telinganya.
Hari itu tatapan
matanya bertambah meredup, rasa takut memenuhi setiap nadi jantungnya. UN kini
menjelma menjadi hantu menakutkan,
sebengis wajah Bu Hamidah yang cantik dan lajang itu.
***
“He..first lady…ratu
jagad yang kaya Kate Midlleton, tumben kamu melipat wajah hari ini. Apa ada
angin tenggara yang menculik hatimu “ teriak Burhan di beranda kelas usai
terdengar bel panjang, pertanda mereka bisa pulang di tengah gerimis musim
hujan ini.
“Makasih
friend, atas rayuan gombalmu. Mana ada first lady, yang bodo seperti aku ?”
jawab Anisah dengan sorot mata yang masih kelihatan layu ditikam perasaan
pd-nya yang pas pasan.
“Aduh , emak
!, sedikit senyum dong !. Mesti kamu habis disemprot Bu Hamidah, iya kan ?”
2
“Ya memang
gitu, aku malu dan bingung”
“Kenapa ? “
“Aku selalu
tidak bisa mengerjakan, bila Bu Hamidah menyuruhku maju ke depan.
Entah Burhan !, aku sendiri sering bingung kalau mengerjakan matematika,
apalagi soal soal UN, tolong ajari aku, friend !” sahut Anisah memelas.
“Kamu bisa
kok !, asal kamu teliti dan sering latihan “
“ Ya itu sih
sudah pasti, friend !, aku sudah belajar tapi ya seperti inilah !. Dasar IQ-ku zero !”
“Gimana kamu
bisa, kamu sendiri sudah pesimis seperti itu. Cobalah lebih akrab dengan
matematika. He, beautiful !!!, aku sudah kenal kamu sejak kita di SMP, aku tahu
kamu alergi terhadap matematika. Beruntung Bu Hamidah yang cantik, luwes dan
simpatik. Coba kalau yang ngajar Pak Aditya, masti kamu lebih stressss…” jawab Burhan
yang berjalan di sisi The Nice Girls Anisah hingga sampai di pintu gerbang
sekolah.
“Makanya
ajari aku ya Han ?”
“Percuma !”
“Kenapa,
percuma !”
“Kamu sendiri
sudah membenci matematika !!!”
“Ah, entahlah
! “, Anisah membanting wajahnya pada jalan-jalan aspal yang mulai basah dijatuhi
titik hujan. Anisah kini tenggelam dalam hujan. Sementara angin yang bertiup
kencang melempar tiap percik air hujan ke semua penjuru. Tubuh Anisah sudah tak
kelihatan lagi.
***
“Pap, aku mau
ikut bimbingan tes matematika, boleh pap ?” pinta Anisah pada papanya di suatu
sore di beranda rumah gedong yang berhalaman luas.
“Lho, papakan
tidak pernah melarang kamu ikut kegiatan
positip seperti itu. Cuma papa mau tanya !. Mengapa tiba tiba kamu minta
bimbingan tes matematika ?’
3
“UN sudah
dekat, pap !”
“Kenapa tidak
dulu dulu ? “
“Pap, Anisa
tidak bisa matematika, padahal UN sudah dekat !”
“Anisah !,
papa tahu UN sudah dekat. Tapi mengapa baru sekarang kamu ribut ikut bimbingan
tes. Papa tahu, sejak SD kamu malas
belajar matematika, yang kamu anggap seperti momok. Inilah salahnya kamu, Anisa
!”. Sebenarnya seberrsit harapan kini mulai tumbuh di hati Samsudin. Sebuah harapan
agar Anisah mulai rajin belajar hingga mampu kuliah di jenjang perguruan
tinggi.
Guratan panik
di wajah Anisah mulai jelas kelihatan. Maka sore itu dia hanya melentingkan
sorot matanya yang hampa di hamparan rumput jepang yang tertata apik di halaman
rumahnya. Hati kecilnya masih selalu saja mengutuk mengapa dia harus belajar
angka angka setan, mengapa pula harus ada UN matematika, mengapa Bu Hamidah
selalu menyudutkan dia dan kini papanya juga ikut memberikan vonis bersalah
padanya. Samsudinpun tahu persis watak dan ego putri kesayanganya itu.
“Anisah !, apa
bimbingan tes bisa menyulap kamu menjadi
pandai matematika, hanya dalam beberapa minggu ?”
“Papa gitu,
sih !. Malah membuat Anisah panik !”
“Bukan itu
maksud papa, kamu bisa siap UN, kalau diri kamu sendiri yang menyiapkan, bukan
bimbingan tes “
“Papa malah
ngaco !, apa papa keberatan biaya daftarnya ?”
“Aduh !!!,
Anisah sayang !, papa dan mamamu tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya untuk
kemajuan kamu, paling berapa, sih biaya bimbingan tes ?. Tapi maksud papa kamu
mulai sekarang belajar matematika
sendiri yang rajin. Mesti kamu bisa ?. seberapa sulitnya sih, matematika SMA ?’
“Papa !,
untuk Anisah, matematika memang sulit, pap !, Anisaj tidak punya bakat pinter
matematika !’
“Yang sulit
bukan matematikanya, tapi diri kamu sendiri !”
“Sulit
bagaimana pap ?”
“Kamu yang
memang tidak punya kemauan untuk pinter matematika. Itu papa tahu sejak dulu,
sekarang jadikan matematika sebagai teman akrabmu, bukan lagi seperti angka
angka setan yang membuat kepalamu puyeng “
“Ah..caranya
bagaimana, pap !”
“Ya itu tadi,
kamu belajar yang tekun dan rajin mengerjakan soal soal matematika. Jangan
pernah lagi kamu anggap matematika seperti angka angka setan “
***
“Matematika
tidak sulikan, Anisah ?” dengan senyum renyah Bu Hamidah mencoba berbicara dari
hati ke hati pada Anisah di ruang guru, saat Anisah meminta nilai try out
terakhir pada Bu Guru yang cantik itu.Anisah hanya tersenyum dalam derai yang
dihiasi lesung pipitnya. “Jadi kamu sekarang siap menghadapi UN pelajaran
matematika ?”. Pertanyaan Bu Hamidah dibalas dengan senyum canda Anisah, yang
mengisaratkan bahwa matematika bagi dirinya bukan lagi ANGKA ANGKA SETAN
Anisah Sang Ratu Matematika kini lepas bebas, bagai burung pipit di pagi hari
***
Anisah Sang Ratu Matematika kini lepas bebas, bagai burung pipit di pagi hari
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar