yang
memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak
“merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi,
biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur
sang katulistiwa ,
menyusun
prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka
menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh
yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk
berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.
Jangan
bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu
berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita
berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun
episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut
perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram,
bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.
Kita tak
memiliki lagi “Anjing NICA” berlidah
menjulur
Menggeleparkan
ilalang dengan mata-mata kosong
Kita tak
dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya
menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai
lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan
setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk
membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang
mengurai rambut suteranya.
Dalam hujan,
basahi kita dalam damai
(Semarang, 5
Januari 2012 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar