Tentang
apa yang terus terngiang di telinga dan
tiap ujung malam
Satu
demi satu tabir kulepas hingga meradang tulang igaku
Tapi
tak satupun bisa memberiku sebuah rindu,
aku berteriak
Hingga Semeru dan Merapi menggeliat bagai
perempuan binal
Aku
terus bercermin pada huma dan nyanyian pipit, seloroh daun Akasia
Untuk
menembuskan pandang menemukanMU jauh di
Istana Awan Putih
Akupun
menyulam prosa kata kata Munajat dalam doa
Agar
tak tampak lagi gugusan awan hitam menggigitku
Dengan
taring tajam dan sayatan penuh pedih dan pilu
Lantas
apa lagi yang harus aku tanam , bila
taman bungapun terus mongering
Lantaran
jalan panjang menukikan nyanyi jiwa sang nenek sihir
Pongah
dan kebaya berenda kering butiran debu
Aku
terhenyak dari seribu mimpi tentang fatamorgana kilau
tepi pantai denga pagar anyelir tertunduk lesu
Sehingga
aku dating dengan benang sutra menjenguk langiMU
kentara
aku tanam nyhanyian Puja Kemahahebatmu, aku tertukam
hatiku sendiri.
Tuhan
betapa sejuk air dingin yang kau curahkan
Terseibak
sudah Rasa sepi dalam aliran darah.(Semarang, 22 Januari 16).
Semarang
22 Januari 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar