Senin, 27 Februari 2012
Minggu, 26 Februari 2012
Bulan di Atas Pohon Jambu
kala ku tunggu di pohon jambu…senyum
rembulanku
menunggu biru malam, menjadi
tirai hatimu…
kau telah mengikat sari dalam
kelopakmu
sedangkan aku kumbang yang
melipat sayap
kutunggu saat angin padang
bertiup sepoi
aku hadirkan rajutan bunga
jingga bertepi
benang emas…
kau menggodaku dengan alunan
resah
hingga tepi malam mengkaitkan diri
liuk nadi darah yang mendidih
masih ada satu lagi yang kau
tinggalkan
aku yang tersudut dalam birama
jarum waktu
menjaring prosa lakon dalam
Arjuna dan Dewi Supraba
meski hanya mengais di pucuk
pohon jambu’
tapi biarkan bulanku memiliki
malam ini
dengan separo nafasku di bawah
pohon jambu
saat merindu…
dengan seribu buluh cinta .......(Semarang, 27 Februari, 2012)
Kamis, 16 Februari 2012
Negeri Genderuwo
dalam tepi dan
tak terdengar teriakan kita lagi
lolong anjing
ikut pula menitipkan sayatan
yang
terdalam menoreh fatamorgana...manusia
hanya dalam batas
tulang dan daging
bila kita dalam
ikatan “Swargaloka”
hijau huma dan biru dalamnya samudra
menjadi naungan
untuk kita berbagi sendi yang lepas
mengapa tak kita
benahi kepalan tangan
luruh buih di
pantai ~ mengusung sebuah hardikan
pada langit yang
berjelaga
merah padam semua
wajah yang kelu
bersimphoni
dengan lengkingan parau pipit
di beranda pagi
kita dalam jaman
ornamen atmosfer
telah siaga dengan taring tajam
kuku panjang bermanik
saling menghempas
mari kita menantang pantai
agar anak anak
kita menyambung layar
tak koyak~ kita
hanya saling pandang
(Semarang, 16
Februari 2012)
Senin, 13 Februari 2012
Malam Biru untuk Valentine Day
untuk
sepasang merpati di “Valentine Day”
dalam canda
suka, sepasang merpati
memunguti
halimun pagi
mengepak
sayap, meluruh debu jalanan
seakan telah
lumat tirai waktu
berganti
dengan terpelantingnya ,
semua warna
dunia dalam sendi tulang mereka
kala mereka
menyemai kelopak jingga
di atas kanwas
penuh warna
sang
bidadaripun tersenyum malu
bunga dalam
suntingan mereka
menaburkan
sari hingga menyentuh langit
kala kedua
sayap mereka bertaut
sepi...dalam
tautan malam
(Semarang, 14 Februari 2012)
Rabu, 08 Februari 2012
Doa Sang Lelaki
sekeping hidup dalam buai
panjang
pernah singgah, menepikan seraut episode menakutkan
di tengah makian debu debu
menyesak dada
tak urung, nyanyian duka
telah disemai di puncak yang
bukan milikmu
meski bibir gincu, menyapa hari
hari yang asing
tak satupun nama tertanam di
pepohonan
yang kekar dan sejuk
merah jambu awan senja
bertepi putih membiru tepi
langit
telah menyongsong wajah yang
akrab dengan
lipatan jaman…guratan hidup
mencumbu nafas
kala terlihat lelah kedua mata
kita.
kau mencoba mengukir sisi langit
yang membentuk barisan awan…bertanam
mekar sari
seberkas himpitkan tajam sebagian langit
meluruhkanmu, …..kembali sepi
dari indahnya wajah bulan di
bumi dongeng
hanya tinggal, bahtera yang
mengusung
serpihan layar menantang angin
buritan
lebih baik kau tawarkan mawar
jingga
dalam sebagian malam
bertabur sayap malaikat dari
rajutan langit
kemana lagi akan kau cincang
hidup ini
bukankah potongan doa lebih
indah
dari jarum waktu yang kau
tinggalkan……(Semarang, 9 Februari 2012)
2. Entahlah Meski di Mana Aku Berada
hanya bentangan kuning padi
berseri,
terbawa liarnya angin memburu
seribu makna
kadang menengadahkan bulirnya ke
mentari
berkuning rapat rambut sutra
atau meliukan rindu ke biru
gunung menawan
menata kembali nafas yang
terpagut merona tepi jaman
entahlah hanya tangkainya yang
menggenggam makna
dari dahinya yang berkerut
dan rongga matanya yang dalam
membisu.
atau……….
biarkan saja awan jingga dalam
angkuhnya
menerpakan sisi cakrawala barat
tempat merpati meluruskan sayap
aku terselip di dalamnya ikut
menggetarkan
makna – makna yang meluruh di
gerimis senja
aku kencangkan genggam jemari
yang tergolek lesu kalau seribu
cermin ego menghimpitku
aku kabarkan dalam seloroh prosa
pujangga
namun hanya bait yang menunggu
merekahnya mawar jingga
beruntai gerigi tajam
menghanyutkan sisi sendiku
aku kembali dalam canda manja alam
atau kepak kenari yang
melambungkanku
menuju batas pandang yang samar
aku tak tahu….
sempat pula sang camar
membenah pantai dari rerimbunan
durjana
yang menghitami, jantungnya
namun tanpa mata nanar dan syak
wasangka
sang camarpun hinggap di biru
langit
dengan wajah menunduk,
memunguti bentangan harap
aku dalam sepi….
masih ada sisa bait, yang
terpendam pada
dalamnya kalbu, hanya makna yang
aku sendiri
lelah menjinjing di balik wajah
yang mencibirkan kelu
mari kita kembali untuk mengetam
padi
meluruskan pematang sawah kita
agar kuning padi menyeringai
dalam seloroh mentari
hingga belalang melipatkan
sayapnya
kita dalam damai
agar tiada lagi sepi….sebuah
gambar alam……(Semarang, 8 Pebruari 2012)
3. Semuanya Kan Usai
lantaran apa kita pinang embun
pagi
yang renyah menyelerohkan
cakrawala di balik gunung
hingga kita terpikat pada lesung
pipit
dan gemulai Gambir Anom sang
pesinden penuh
cahaya malam…dan lampu jaman
tulang-tulang iga kita tlah
merapat
dijemput maghligai susun tujuh
empat penjuru langit
gendang dan kecapi tak mampu
lagi
menarikan dedaunan palma di
ujung rumah kita
apalagi lagi dolanan anak anak yang bertembang
hanya seberkas kenangan dalam
rindu hati
bersama kekasih kita
lekaslah mencanda jantung kita
masing-masing
agar nyaman tidur siang kita…………(Semarang,
8 Pebruari 2012)
4. Senyum
dalam senyum sang lelaki tak
lagi memincingkan mata
bila rerimbunan pohon tlah
menyejuk jiwa
semua gambaran alam..melapangkan
dadanya
lembayung senja bertanam bunga melati
lelaki itupun….entah milik siapa……(Semarang,
9 Februari 2012)
Senin, 06 Februari 2012
Entahlah
hanya
bentangan kuning padi berseri,
terbawa liarnya
angin memburu seribu makna
kadang menengadahkan
bulirnya ke mentari
berkuning rapat
rambut sutra
atau
meliukan rindu ke biru gunung menawan
menata
kembali nafas yang terpagut merona tepi jaman
entahlah
hanya tangkainya yang menggenggam makna
dari
dahinya yang berkerut
dan rongga
matanya yang dalam membisu.
atau……….
biarkan
saja awan jingga dalam angkuhnya
menerpakan
sisi cakrawala barat
tempat
merpati meluruskan sayap
aku
terselip di dalamnya ikut menggetarkan
makna –
makna yang meluruh di gerimis senja
aku
kencangkan genggam jemari
yang
tergolek lesu kalau seribu cermin ego menghimpitku
aku
kabarkan dalam seloroh prosa pujangga
namun hanya
bait yang menunggu merekahnya mawar jingga
beruntai
gerigi tajam menghanyutkan sisi sendiku
aku kembali dalam canda manja alam
atau kepak
kenari yang melambungkanku
menuju
batas pandang yang samar
aku tak
tahu….
sempat pula
sang camar
membenah
pantai dari rerimbunan durjana
yang
menghitami, jantungnya
namun tanpa
mata nanar dan syak wasangka
sang
camarpun hinggap di biru langit
dengan
wajah menunduk, memunguti bentangan
harap
aku dalam
sepi….
masih ada sisa
bait, yang terpendam pada
dalamnya
kalbu, hanya makna yang aku sendiri
lelah
menjinjing di balik wajah yang mencibirkan kelu
mari kita
kembali untuk mengetam padi
meluruskan
pematang sawah kita
agar kuning
padi menyeringai dalam seloroh mentari
hingga belalang
melipatkan sayapnya
kita dalam
damai
agar tiada
lagi sepi….sebuah gambar alam
(Semarang,
8 Pebruari 2012)
Minggu, 05 Februari 2012
Dusta
menimang perguliran hari
lantas kau suguhkan, sayatan demi sayatan
hingga tak lagi, aku sempat menilik jantung hati
yang seharusnya berada di kubangan air bunga.
bila aku raih yang nampak dalam guratan tanganku
namun kau hanya mencanda tiupan angin
dari sisi bukit yang menjulang anggun
sementara hariku kau tepis ke tengah fatamorgana
dengan kemilau warna pelangi
yang kusam...lantas sepi
akupun tak tahu
dalam hitungan hari dan deru waktu
kau ayunkan langkah kaki
hingga ke puncak bukit pesona
dengan gaun Sinderella...kau senyum ramah
meluruhkan semua daun palma
menerbangkan sulaman kain kelambu
yang aku bentangkan memenuhi semua liuk tubuhmu
akupun memunguti langkah surut
di batas senja dengan seribu tangan malaikat
yang menghipnotisku, dalam hari hari biru
masih mampu aku ikat benang benang merah jingga
sampai ke semua penjuru langit
hingga Sang Supraba aku teriaki
meski parau suaraku, namun seribu derai tawa
puncak bukit sepanjang negeri sorga
menelikungku.aku terhenyak
wajah hari semakin aku kenal...nyanyian kutilang
tak memekakan telingaku
kerutan dahi yang memerah....telah bertumbuh
sesubur bunga di taman halaman gubugku
biar saja kau pincingkan kedua matamu
tak lagi menyelingkuhi hari hari dalam memburu
(Semarang, 5 Pebruari 2012).
Sabtu, 04 Februari 2012
Saat Perahu Cintaku Kau Tepis
saat kau merebahkan
sebuah benang kelabu membisu
bertaut pada
semu sang wajah bulan
aku
terperangah dan enggan membuka tabir
yang kau
tautkan pada tepi hati
dengan
seribu karang bertabur liuk yang tajam
baru kemarin
kau selipkan ranum bunga
yang
tertanam rapi bermesra dengan kiasan alam
rona kanvas
dalam seribu misteri
telah
mengungkungi penat sendi sendiku
untuk menerbangkan
erotis lampu jalan
hingga
terpingit di beranda rumah kita
engkau
menghujamkan detik waktu
yang berlari
memburu hari- hari bergerigi tajam
kau usung
bersama burung burung camar
melipat dan
mengoyak sisi perahu kita
layar perahu
telah bersulam benang benang
yang
membungkam kering lidahku
Perahu cinta
kita
telah tertanam
di tengah buih kepalsuan
(Semarang, 5
Pebruari 2012)
Kamis, 02 Februari 2012
Tuhanku
Tuhan, aku
datang lagi
Dengan
kemasan kado berbalut kain pasrah
Telah
meluruh bintang-gemintang
Saat aku
pingit di kering tenggrokanku
Aku dengan
genggaman yang longgar
Saat
menerkam semua belantara bermanik hitam
Melilit dan memelantingkan, hingga
tinggal satu dua nafas yang aku punguti
Lantas aku ikat dalam ikatan bunga ibadah
Hingga aku tersungkur
Menelan ludahku sendiri
Aku dalam ritmis yang sahaja
Mengokohkan AsmaMU, di tiap rentangan angan
Berbatas tiada dan tiada
Engkaupun datang dalam bahasa angin, hujan dan debu
Namun hanya batas pandangku yang dapat
kuhadirkan ~Engkau tiada terkira
gemerlap semua puncak gunung dan padang
untuk menyunting bulan dan bintang
aku dalam pangkuanMU (Semarang, 3 /2/12).
Selasa, 31 Januari 2012
Saat Hari Telah Kau Kayuh dengan Pagi
saat telah
sembuh telapak kakimu
dari tajamnya
duri yang kau pinang sendiri
aku bawakan
senampan hiasan hari
agar lebih
akrab engkau dengan pagi~tanpa kedurjanaan
bukankah
harus kau tawarkan semua
sembilu
yang, menyudutkan hatimu
tak lupa
satu bait selamat pagi,
aku hujamkan
pada tepi hatimu
engkaupun
merobek wajah pagi
dengan
untaian mawar merah yang kau selip
pada kain
beludru tirai ranjang pengantin kita
kedua lengan
ini menjadi kencang
karena pagi
masih membentang dalam jalan panjang
meliuk ~
menjadi pematang tanah liat,
yang licin
dan mengusung sebuah cermin
agar kau
pandai bergincu, meski dengan merah mawar
lebih aku
suguhkan, dengan putih melati
seperti hari
ini, yang kau kayuh di tengah pagi
(Semarang, 1
Pebruari 2012).
Selasa, 24 Januari 2012
Selamat Jalan Kakanda
Iman Adji |
Kau ulurkan ikatan bunga,
Dalam senyum yang “menerbangkan debu”
Untuk kau raih, aku tak mampu menggapai
Bila senja telah bertutur dalah bahasa pelangi.
Aku terbangkan angin waktu
Memburumu...tak kunjung aku sampai
Lantaran kau terselip dalam senja
Aku berikan seribu makna dalam sebuah
karangan kata, merah, jingga hingga biru
kau menolehkan wajah, dalam arti
yang aku
tak tahu.
Kau hanya memberi salam kepada angin lalu
Aku terhenyak, saat aku menggapai makna
Ini adalah garis langit
Yang bersemayam “Mahkota Bersusun Tujuh”
Akupun hanya mengakrabi doa
Agar pematang dan sawahmu dirimbuni
Padi yang menguning
Tempat kau berseloroh dengan bidadari
Selamat Jalan Kakanda.
(Semarang, 24 Januari 2012).
Langganan:
Postingan (Atom)