KOTA ini menjadi
bertambah pengap, setiap kali anak anak muda yang berstatus mahasiswa berkumpul
di jalan dan segera disergap polisi, lengkap dengan letusan pistol ke udara,
lengkingan sirene yang seakan berniat merobohkan kios kios dari papan di
sepanjang pinggir jalan yang pengap itu.
Yang pasti debu debu musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran
antara polisi dan anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir
setiap hari terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan
beterbangan. Karena seringnya jalan aspal yang berlobang di sana sini itu,
digunakan untuk semua yang bersitegang menuntut suatu kebenaran.
Belum lagi suara
klakson mobil aneka merek, dari yang jadul hingga mobil keluaran terbaru , yang
meneriaki semuanya yang ada di depanya untuk
minggir. Suara lolongan anjing kudis yang kurus kering karena selama berhari
hari tidak makan menambah seram dan pengap jalanan kota itu.
Panas mentari
ikut juga membakar aspal dan atap asbes kios papan di pinggir jalan. Sementara
suara denting benda benda kaca yang saling bersentuhan dari warung bakso, mi
ayam , warung tegal , teriakan ilalang kecil yang berebut order parkir, tidak
kunjung reda. Sesekali suara sirene ambulan kematian di siang hari bolong
menusuk panasnya jalan itu, namun semua tak mengambil peduli dengan nasib manusia
yang terbujur kaku di ambulan itu.
Semua yang
menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam, saat beberapa mulut
lantang meneriakan slogan “ Turunkan BBM…turunkan TDL!!!, turunkan harga
sembako !!!, bantai semua koruptor di negeri pelacur ini !!! ”, bertubi-tubi
teriakan itu melecut membakar udara siang itu. Kembali debu debu kotor dan
pengap ikut pula menyampaikan kabar adanya demo mahasiswa kepada debu lainnya
di setiap sudut jalan pengap itu.
“Tutup saja
warung kita !!!” teriak Sukiman kepada istrinya
yang berlarian kecil mengemas semua peralatan warung mi ayamnya. Padahal
asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di dandang besar. Hari ini sekali
lagi penghidupan Sukimin dan ke empat anaknya menjadi tergerus pengap dan membaranya jalan di kota pengap itu.
“Iya, pak aku
matikan kompornya dulu, nanti sore kalau demo sialan itu sudah rampung, kita
buka lagi , tho mas !”. Suaminya hanya mengangguk, sementara ke empat anaknya
tidak ada satupun yang membantunya, karena semuanya sedang aktif bersekolah.
2
***
“Dooor….door…dor
“ tak urung dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan polisi sudah
mengangkasa, beberapa diantaranya merontokan satu dua daun Akasia yang ada di
pinggir jalan membara itu. Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak
menyurutkan niat para anak muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya.
Bahkan letusan mesiu itu malah menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk
terbang kesana kemari.
Beberapa
diantaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara sebagian lagi
menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut, kios mie ayam, warung
bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang tadinya ganas
dan melengking, kini merengek ketakutan.
“Kok tiap hari
begini, ya Bang Dul “ seru Kang Dirman si tukang becak yang sedari pagi
nongkrong di troktoar. Padahal sedari pagi belum ada satu penumpangpun yang
mengorder dirinya. Wajah si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya
yang sesak tidak berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapaun. Hanya pada
Abdullah, Orang Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.
“Ah, gimana aku
mau dapat duit, bang !” Sekali lagi lelaki tua yang berasal dari pinggiran kota
itu mengeluh pada Abdullah.
“Masih mending
kamu Kang Dirman !, coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar belanja sayur. Eh
baru satu dua piring makananku terjual, demo datag lagi, datang lagi, sampai
kapan selesainya !”. Bang Abdullahpun segera menutup warungnya, meski Kang
Dirman sudah mengayuh becaknya untuk ngeloyor pergi.
Kini hanya
beberapa puluh meter jarak antara kawanan pendemo dengan tameng fiber pak
polisi, sesekali satuan polisi itu
melangkah surut, namun tak berapa lama
terdengar perintah komandan polisi untuk segera maju membubarkan pendemo.
Sementara debu jalanan yang kering kerontang menjadi bertambah liar membumbung
ke angkasa.
“Kami tidak
melarang saudara-saudaraku untuk berdemo, tap lakukan dengan tertib, maka
sekarang bubar, !!!, bubar !!! bubar !!! “ Megaphone yang terjinjing di salah
satu pundak perwira itu dihadapkan kesana kemari, agar semua peserta demo dan
ilalang yang menjadi penonton bisa mendengarkan. Meski suara megaphonenya mampu menyalak,
menggetarkan gendang telinga yang berkumpul di jalan kota pengap itu, namun genderang
perang di hati pendemo tetap saja tersulut.
3
“Majuuuu, jangan
takut !!!! “ entah siapa yang menarik
tali pelatuk komando itu, yang jelas ratusan pendemo itu merangsek maju
menerjang tameng fiber polisi anti huru hara. Sementara lainnya di belakang
mulai melempar bom Molotov ke arah satuan polisi yang bersigap menghadang
terjangan pendemo, yang telah nanar matanya, meradang dadanya dan memerah
amarahnya.
“Jangan halangi
kami !, kami suara rakyat !. Kalau BBM tetap dinaikan akan ada ribuan mahasiswa
dan rakyat yang akan berdemo !!!“ seru seorang pendemo yang berada di lapisan paling
depan.
“Kami tidak
melarang kamu untuk demo !, kami hanya bermaksud menertibkan kamu semua, supaya
tidak merusak kepentingan umum!”. Namun entah mengapa, apakah di negara pengap
ini semua warganya sudah tidak memiliki telinga lagi, atau karena mata hati
mereka semua sudah terhempas angin kembara dan entah sekarang hinggap di mana.
Kedua belah pihak kini sudah tidak mampu mendengarkan teriakan satu sama lain.
Mereka hanya bergumul dengan amarah mereka untuk merobohkan yang ada di depan
mereka. Debu semakin kering dan begabung dengan angin kemarau, tetesan darah
sudah mulai menjadi saksi atas episode yang menggetirkan hati setiap penghuni
kota pengap itu.
Semua kendaran
mulai menepi memnuhi semua ruas jalan pengap itu dalam antrian yang “semrawut”,
sirene mobil polisi kini bertambah nyaring, menyeruak kemacetan berbagai
kendaraan yang malang melintang tak tentu arah. Semua pedagang asongan sudah
meletakan asonganya di tempat yang teduh dan aman.Kawanan ilalang yang
mengusung penderitaaan hidup dan menggantungkan hidupnya pada keramaian jalan
di kota pengap itu mulai berkumpul di seputar pertikaian antar kedua kubu.
Jerit tangis wanita dan anak anak malah kini ikut mencekamkan jalan itu.
***
Ilalang yang
menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya, dada mereka
berguncang hebat, pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian lagi
berlarian kesana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar disana sini, sementara
beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan itu. Tetapi kedua kubu belum
ada yang mau mengalah, bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal dan
bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di pertigaan
jalan pengap itu.
“Jo, mereka akan
membakar pom bensin !” teriak Dirman
pada Warjo tukang tambal ban, yang membiarkan begitu saja kompresornya di
pinggir jalan.
4
“Kita cegah mereka !!!” pinta Warjo
“Jangan, kita
tidak bisa. Itu tugas polisi, kita menyelamatkan saja warung warung kita” jawab
Dirman.
“Tapi kita tidak
boleh tinggal diam !” seru Warjp
“Kita harus
bagaimana ?” tanya Kanapi
“Kita hanya bisa
menolong korban korban itu” jawab Warjo
“Oh, itu tindakan yang baik, kita angkat saja korban
yang pinsan, kita bawa ke sini !” usul Santoso.
“Wah !, tapi
bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu “ jawab Warjo.
“Ha, aku punya
ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita
kibaskan ke tengah mereka, sementara
lainya mengangkat korban yang terkapar, gimana ?” usul Kanapi kepada mereka
yang ikut merasa prihatin dengan tragedy yang mengeaskan itu.
Merekakun
berlarian kesana kemari, guna mencari kain apa adanya untuk mebuat bendera.
Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai, bahu, lengan dan
baju mereka berlepotan noda darah dari para korban yang terkapar di tengah aspal yang membara. Sementara sinar
matahari bertambah ganas memagut episode duka nestapa antara anak negeri.
Kini belasan
korban telah berjejer di bawah pohon akasia, sebagian mereka merintih
kesakitan, sebagian mereka masih diam terbujur dan beberapa diantaranya sudah
mampu duduk kembali dengan mulut yang merintih kesakitan. Para ilalang itu
dengan kendaraan apa saja kini bahu membahu membawa mereka ke rumah sakit.
Sementara matahari
mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari pompa bensin yang terbakar.
Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih berserakan disana sini. Tetasan darah masih belumkering dihisap debu
debu jalan, berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu.
Suasana kini menjadi lengang, belum ada kendaraan yang melewati jalan itu.
Ilalangpun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang
berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini ?.***
Apa mau dikata sebelum
semua ini terjadi, memang hari hari yang
dilewati terasa indah dan berlalu begitu saja. Bagi Cassy jarum waktu menebas
atmosfer yang dihirupnya, terlewatkan begitu saja. Namun ternyata Tuhan Yang
Kuasa menghendaki lain, hari hari yang melingkungi kini bagaikan rantai berduri
yang melilit leher dan sekujur tubuhnya. Setiap sorot mata teman sekelasnya, bagi
dia serasa menyudutkanya. Entah apa dan dosa dia ataukah ini hanya perasaan dia
saja yang sudah tidak memiliki hari indah penuh enjoy. Mengapa pula tumpahan
cobaan hidup bagi remaja flamboyant ini, harus dia hadapi saat dia duduk di kelas
XII, yang beberap pecan lagi dia harus menempuh UN.
Sempat Cassy
hampir satu bulan tidak masuk sekolah
semenjak mama dan papinya berpisah dihempas prahara yang membuat getir hatinya.
Maka saat itu hanya dinding kamarnya saja yang mampu dia jadikan tumpahan
curhat, meski selama itu dinding dinding kamarnya hanya diam membisu. Seloroh
seloroh dalam canda ria bersama dengan teman sekelasnya, yang cuakepnya hampir
sama dengan Boneka Barbie saat itu dia tepiskan, atau dia lebih memilih untuk
menuangkan air matanya di atas bantal gulingnya.
Sesekali Cassy
lebih memilih duduk termenung di ayunan di bawah pohon jambu di belakang rumah.
Tempat itulah yang kerap menjadi tumpahan manja dia pada papinya, saat dia
masih kecil. Setiap Hari Minggu dia selalu bermanja dalam canda sayang bersama
papi dan adik-adiknya. Termasuk suatu hari, saat hari menjelang senja di awal
bulan ini. Saat saat itu kembali datang, meski dalam kemasan lamunan. Hingga Cassy
terlihat sering tertawa sendiri, lantas
tak berapa lama air matanya meggantikan tawa riangnya. Betapa papanya
meninggalkan dia begitu saja, begitu juga maminya yang masih kelihatan cantik
dan muda, yang lebih senang bergumul kepalsuan hidup dengan pria lainya.
Hati Cassy terus
menjadi bulan bulanan ombak Laut Selatan, terombang ambing antara kenyataan
yang merenggutnya dan sebuah protes
entah kepada siapa, mengapa kenyataan ini meski terjadi. Mengapa sesuatu yang
terindah di dunia ini, harus hiolang begitu saja ?. Meski pada sore itu
telinganya mendengar deru mobil yang dia
kenal telah memasuki halaman rumahnya yang senyap. Diapun segera beranjak dari
kursinya untuk segera menjumpai sokib satu kelasnya.
“Oh..sokibku
semua, met jumpa lagi….dari mana saja kamu !..yuk silakan duduk ?” Senyum halus
Cassy tersungging dengan renyah wajah yag disodokan pada Kimberly,
2
Albert dan
Siska, yang begitu saja pada sedang merebahkan punggungnyadi kursi bambu
yang tertata di
beranda depan rumah Cassy yang luas. Sementara
mendung mengintip di belahan langit sebelah barat. Pertanda sebentar
lagi hujan akan menyambangi mereka.
“Cassy !, kamu
tambah nekad ya !, eh kamu sudah dua hari ini tidak ikut try-out. Tadi pagi Pak
Chandra nanyain kamu. Ayo dong be happy masa so sad terus. Kalau
kota kita berselimut mendung tebal, janganlah hati kamu juga ikut mendung, piss
friend !” pinta Kimberly yang sudah lama kental dengan Cassy seperti saudara
sekandung.
“Teman teman
dari klas lain malah mengira kamu pindah kota. Mereka berusaha calling kamu,
tetapi hp kamu tidak aktif. Ayo dong, Cinderella ! besok gabung lagi dengan kita,
aku mau deh njemput kamu, asal kamu mau berangkat, gimana ?” pinta Albert yang
ikut merasa kegetian hati Cassy, Cinderella yang sekarang berwajah seperti
kotanya, tertutup gulungan tebal awan hitam.
“Terimakasih,
sokibku semua. Sungguh aku sama sekali tidak ingin datang ke sekolah, jangankan
untuk ikut try-out. Seluruh hatiku tertutup awan gelap, sama sekali aku tak
selera berbuat apapun. Aku tidak sanggup ikut try out, biar aku langsung ikut
UN saja, sampaikan Pak Chandra, ya !”.
“Cassy !, bukan
itu masalahnya !. Tapi kita sekarang
kehilangan kamu !. Kamu sanggup memberi inspirasi pada kita semua, bila
kita sedang menghadapi masalah. Lagian kamu memang selalu ceria sepanjang hari,
ini yang membuat kita kehilangan, friend !” seru Siska di tengah wajah Cassy
yang mulai memerah jambu, setelah beberapa saat lalu wajah yang cantik dan melangkonis
itu pucat pasi. Selintas hadir di sisi hati Cassy betapa bahagianya saat di
tengah mereka. Baik sokib cewek ataupun yang cowok selalu memanggilnya “Cinderella
Putri Negeri Kaca”. Memang wajah Cassy cantik jelita, seperti mamanya yang
keturunan Belanda dan Ambon. Sedangkan papanya meski kelahiran asli Jawa, namun
wajahnya ganteng seperti actor sinetron.
Selain itu Cassy
dikenal semua sokibnya sebagai cewek yang luwes, familiar dan mau dekat dengan
sokib dari kalangan mana saja. Perihal kehalusan dan budi pekertinya semua
sokib dan guru-gurunya tidak memungkiri kelebihanya itu. Meski dia sanggup
tampil elegan di tempat manapun, tapi dia memilih untuk tampil bersahaja. Namun
saat saat ini dia berubah karakter begitu saja, sepertinya iblis bersayap telah
merenggut seluruh hatinya, tinggalah sisi gelap hatinya yang terus membawanya
bersikap acuh pada siapapun, malas dan tidak memiliki tanggung jawab pribadinya
terhadap masa depanya, yang seindah rajutan benang sutra.
3
Hujan deras kini
menerpa kota itu, mereka bertigapun segera pamit setelah mendapatkan
janji dari Cassy
untuk gabung lagi dengan mereka semua esok hari.
Cassy menjadi
acuh tanpa alasan pada Stevan yang telah lama berusaha mendekati dirinya, meski
sebelum itu Stevanpun hanya dianggap sahabat biasanya. Namun bagi Stevan sikap
Cassy yang lembut dan penuh peduli, dianggapnya telah membuka kedua tanganya
pada hasrat Stevan.Pada suatu pagi Stevanpun datang ke rumah Cassy dengan bekal
mampu menjadi dewa penolong terhadap keterpurukan hati Cassy.
“Akupun sama
sepertimu Cassy !, menjadi korban perpisahan mama dan papaku. Tapi aku biasa
saja, karena semua manusiapun akan mendapat giliran dari Yang Kuasa mendapatkan
cobaan “. Stevan berharap sekali mampu menyembuhkan sisi hati Cassy yang sedang
sakit.
“Itulah bedanya
aku dan kamu, Stev !!!”
“Bedanya di mana
?”
“Kamu mungkin
terbiasa dengan sikap tidak saling mencintai sesama keluarga “ jawab Cassy
dengan suara yang pelan dan datar.
“Mana bisa dalam
satu keluarga tidak saling menghargai satu sama lain ?“ jawab Stevan.
“Bisa saja,
Stevan !, dan banyak contohnya. Mama dan
papa mereka sibuk dengan bisnis dan ambisinya masing masing. Sementara
putra-putranya menjadi liar tak pernah tersentuh kasih sayang. Mungkin kamupun
terbiasa bersikap acuh dengan mama dan papamu”
“Kamu seperti
psikolog Cassy !, kalau mama papamu masih serasi dan bahagia, mengapa mereka
berpisah ?”
“Itulah manusia,
Stev !, dan akupun menjadi shok karena perpisahan mereka. Semua yang aku hadapi
tiap hari hanya limpahan kasih sayang mereka berdua dan sebaliknya. Maaf
Stevan, aku harap kita hanya sebatas sahabat saja tanpa lebih dari itu. Apa
yang kamu pinta sebelum itu, akupun tidak mengerti. Kan sudah sewajarnya sesama
karib saling menyayangi “
“Cassy !, OK !,
aku rela menjadi korban pelampiasan hati kamu, tapi jujur saja Cassy,
aku tidak mampu
jauh dari kamu “ rintih Stevan seperti hari-hari sebelumnya selalu
4
bersikap seperti
itu.
“Aku harap
engkau bisa menjadi sahabatku, maka berilah aku kebebasan untuk
menentukan apa
yang ada di hatiku. Sungguh Stevan !, semua teman pria yang berada diseputarku,
aku anggap sebagai teman biasa. Piss, Stevan !!!! “. Stevan tak mampu lagi
member jawaban pada semua yang dikatakan Cassy, dia hanya pamit dan pergi.
***
Pak Chandra
hanya mengusung sebuah senyuman yang menyuratkan bahwa dia tahu persis apa yang
sedang menyelimuti hati dan perasaan Cassy. Maka dia sebagai kepala sekolah
tanpa banyak bersikap menyalahkan Cassy. Pak Chandra hanya meminta Cassy untuk
kembali terlibat aktif di try out terakhir minggu ini.
“Cassy apa kabar
!, Cinderella kita hadir lagi !” teriak Bram.
“Rencana hari
ini kami semua akan ke rumahmu untuk meminta kamu comeback “ . Sahut Puguh
ketua kelas mereka.
“Oh My God,
bidadarimu kembali tampak di depan kita semua “ Siska segera menyeruak ke
tengah kerumunan mereka dan segera menyodorkan jabat tangan pada sahabat
setianya. Sementara Stevan dengan langkah perlahan mendekati Cassy sambil juga
menyodorkan tangan kananya untuk sebuah jabat tangan, dengan sebuah bisikan “
Cass, habis try out aku antar kamu ke Bu Wulan” pinta Stevan.
“Tidak usah Stev
!, biar aku saja yang menghadap sendirian.
***
“Nah, kamu lihat
tadi teman temanmu kehilangan kamu semua, kan Cass ?”
“Iya bu !”
“Mereka semua
tetap ceria dan aktif sekolah !”
“Mereka tidak
punya masalah keluarga, bu !”
“Siapa bilang,
Cass !, Bu Wulan sebagai wali kelas, biasa mendapat pengaduan dari mereka.
Mereka semua juga punya masalah sepertimu !”
“Tapi masalahnya
lain dengan Cassy, bu !”
5
“Ya, betul,
Cassy !. Tetapi ada beberapa yang yang jauh lebih berat dari kamu “
“Mereka semua tidak
pernah cerita sama Cassy “
“Kamu tahu
Kimberly ?, dia diasuh oleh bukan ortunya sendiri. Sementara hingga kini dia
pengin sekali bertemu dengan ortu kandungnya. Juga Nur Hayati yang mamanya
dikabarkan meninggal di Arab, sedangkan bapaknya di rumah stress. Akhirnya Bu Wulan ikut membantu biaya
sekolah, karena dia sebentar lagi ikut UN. Cassy !, cerialah seperti sebelumnya
!” pinta Bu Wulan.
“Iya bu !, Cassy
akan berusaha !”
“Cassy bahagia
dan kesedihan dari setiap manusia, itu hanya tergantung dari sisi hati sebelah
mana. Bu Wulan sudah lama mengamati kamu dan Bu Wulan kagum dengan pribadimu.
Bu Wulan yakin kamu akan mampu mengurai derita hatimu !. Untuk melupakan derita
itu, cobalah kamu teruskan bisnis mamamu, kamu saya yakin mampu bisnis di bidang
boutiq, menggantikan mamamu”
“Cassy mengerti
Bu !”
Udara di sinang
hari itu kembali cerah, sang mentari tak lagi bermuka cemberut, demikian juga
hati Cassy yang mulai benderang. Sementara itu sayap Sang Putri Negeri Kaca
kembali berkepak lagi***
Malam demikian
larutnya, angin dingin mulai menyentuh semua sendi tulangnya. Meski baju hangat
sudah berusaha menepisnya. Namun lelaki tua itu tidak menghiraukan sama sekali.
Dia lebih asyik melemparkan pandangan matanya ke arah bintang gemintang yang
berserakan di kain hitam malam. Sementara anganya yang liar dan tak tahan
bersemayam di benaknya, terus saja menerjang
jarum waktu. Meski sebentar lagi malam terusir oleh datangnya sang fajar.
Sesekali dia
berdiri mengayunkan langkahnya untuk menuju salah satu sudut beranda rumahnya
yang beralas tanah. Kedua matanya kini mulai redup dipenuhi bening air matanya.
Saat hatinya merintih sedih, kursi tua yang menemaninya itulah yang mampu
mendinginkan hatinya. Kursi jati tua yang berkaki lengkung mendatar itu, adalah
pemberian mendiang istrinya yang belum genap satu tahun meninggalkannya. Hanya
kursi jati tua itu yang mampu mengusung sebuah nostalgia yang indah tentang Karmila,
wanita yang bersama denganya merajut kehidupanya, detik demi detik dengan kehidupan
saling asih sejati selama 40 tahun.
***
Beranda rumahnya
kini menjadi terang benderang, Karmila dengan stelan daster model Eropa saat itu, menarik lenganya saat
Indrawan belum mengganti baju kerja sepulang
dari perkebunan teh. Indrawanpun hanya menuruti saja kemauan istrinya, wanita
lulusan MULO Semarang yang berhasil meruntuhkan hatinya.
“Ah…ada apa Mila
!. Apa apaan sih “ seru dia dengan senyum tipis di bibirnya.
“Sudahlah !,
nanti juga Mas Indra tahu !, aku jamin mas akan senang melihat sesuatu “. Langkah
Mila terhenti hingga sampai di beranda samping rumah berarsitektur Eropa,
dengan halaman bergelar rumput Jepang yang tertata dengan apik. Senyum menawan
masih menghiasi bibir Karmila saat dia membuka kain penutup sesuatu yang
menyebabkan Indrawan penasaran sejak sampai di rumah sore ini. Di depan
Indrawan kini, nampaklah sebuah kursi dari kayu jati yang bertumpu pada
lengkungan kayu yang ada di bawah keempat kakinya.
“Oh ternyata
kursi goyang, kursi goyang seperti ini sudah lama aku impikan Karmila !,
terimakasih !. Kamu memang Karmila istriku !” Sepotong kalimat yang meluncur
begitu saja dari mulut Indrawan, sambil merapatkan tubuhnya pada wanita yang
berperawakan sintal dan berkulit kuning.
Kursi jati
itupun kemudian menjadi korban pelampiasan Indrawan yang lepas mengusung derai
tawa sambil menggerakan kedua kakinya, sehingga kursi jati itupun menjadi
bergoyang. Ada secercah rasa kagum pada laki laki perlente yang ganteng dan
masih
muda itu tentang
perhatian Karmila pada dirinya. “Apakah ini hari ulang tahunku ?, rasanya aku
baru saja berulang tahun tiga bulan silam. Tapi mengapa Karmila repot repot membelikan
aku kursi goyang ini ?”. Bisikan hati tentang kekaguman pada istrinya masih
melekat kuat, sama seperti saat saat lainya kala Karmila dengan tulus
memberinya perhatian padanya sepanjang mereka mengarungi hidup bersama..
Apalagi kursi goyang yang dia duduki kini tentunya bukan kursi yang dengan
gampang tersedia di toko.
“Aku pesankan
kursi ini pada Tuan Hong di kota untuk mas, agar tidak sering melamun di depan
rumah hingga larut malam !”.
“Terimakasi, ya
Mila !. Aku tidak pernah melamun seperti itu, Mila !”
“Ah, Mas Indra
bohong, sering aku ditinggal tidur sendiri sampai larut “
“Mila, kamu kan
tahu !. Tanggung jawabku berat, karena
aku mandor perkebunan teh yang membawahi 1500 buruh. Ada saja masalah yang
harus aku tangani tiap hari. Padahal Menir MC. Perk tidak mau penyelesaian
buruh yang berlarut-larut “
“Tapi ini rumah
kita Mas, Rumah tempat kita dan anak-anak kita saling membagi kasih. Aku hanya
ingin mas melupakan masalah kantor setelah di rumah. Itu juga demi kesehatan
Mas Indra “ Pinta Karmila pada suaminya sambil merajuk seperti anak kecil yang
kehilangan mainanya.
“Baiklah istriku
yang cantik !!!!, aku janji tidak seperti
itu lagi!. Tapi kenapa kau belikan aku kursi roda ?. Katanya aku tidak boleh
melamun ?”
“Ya boleh,
asalkan melamun di kursi itu, Mas !”
“Lho, maksud
kamu gimana ?”. Tanya Indrawan dengan penuh penasaran.
“Ya tetap
melamun !”
“Melamun tentang
pekerjaan di lapangan ?”
“Ya, tidak !:”
“Terus melamun
tentang apa ?”
“Melamun tentang aku !” Karmila tampak seperti
anak gadis remaja yang manja kepada kekasih yang memberinya cinta pertama.
Senyum renyah
istrinya di senja hari beberapa puluh tahun silam betul betul terasa masih mengelitik gendang
telinganya. Indrawan yang kini telah renta dan lemah, kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tua
itu. Sementara dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan, yang mampu melipatkan sayap-sayap lelaki tua itu. Sehingga
berhentilah pengembaraan anganya dari penjuru langit satu ke penjuru lainnya.
Bahkan dinginnya
embun dini hari disela suara adzan Subuh membawa lelaki tua itu untuk
meninggalkan beranda depan rumahnya. Untuk kali ini kursi goyang itu dibiarkan
dingin terbujur sepi.
***
Seperti biasanya
tiap siang hari, kursi goyang tua kali ini kembali bergoyang, di tengah
perkebunan teh Cianjur yang dibangun
pada tahun 1927-1929 oleh Belanda, tepatnya 30 Oktober 1927 oleh M.C. Perk. Meski
Indrawan kini telah pensiun, tetapi dia tidak berniat untuk meninggalkan rumah
tua berarsitektur Eropa yang telah menimbun sejuta kenangan bersama Karmila dan
ketiga putranya yang kini telah hidup di Jakarta dan di manca negara. Semilir
angin dari Gunung Gede semakin kuat mencengkerami tubuhnya. Bintik embun sudah
mulai tertepis oleh radiasi elektromagnetik sinar mentari. Hanya seduhan asli
hangat yang dicampur gula menemani lelaki tua itu. Direguknya perlahan teh hangat itu bersama dengan kursi goyang yang
ikut bercengkerama denganya.
Kembali kursi
goyang itu membisikan sebuah nostalgia padanya, saat beberapa waktu silam
Karmila yang wajahnya pucat pasi duduk di kursi itu dengan tatapan mata kosong
tetapi bilah wajahnya masih terus mengusung senyuman meski terlihat masih
mengusung sebuah kegetiran hatinya. Indrawan kala itu duduk sebelahnya dengan
kursi penjalin berukir Jepara. Kenangan siang itu memang sangat kuat menyelinap
dalam benak hatinya. Karena ternyata
pertemuan itu adalah pertemuan terakhir dirinya dengan Karmila. Persis seperti
goyangan kursi perlahan pada siang hari ini.
“Nampaknya
dokter sudah tidak sanggup apa-apa lagi dengan kanker rahimku, Mas !”
Rintihan kelu
terusung dari bibir pucat pasi Karmila.
“Jangan putus
asa dahalu, Mila !. Besok aku ajak lagi kamu ke Batavia, semoga dokter Albert
sudah mengirim telegram ke Netherland”. Dibelainya rambut Karmila, dengan penuh
harap agar Karmila bisa betahan selama
mungkin melawan kanker ganasnya.
“Apa dia tidak
mampu menangani sendiri, Mas ?”
“Stovia belum
memiliki peralatan khusus untuk operasi kankermu, sayang !”
“Tapi aku sudah
tidak tahan. Tubuhku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang. Untuk pergi ke
Batavia aku sudah tidak sanggup, Mas !”
“Istirahatlah di
dalam Karmila, biar aku ambilkan obat.Tidak akan lama lagi tubuhmu akan kuat
lagi “. Karmila hanya membiarkan tubuhnya diangkat oleh suaminya yang berbadan
kekar. Karmila masih sempat menderaikan sebuah senyuman, namun sorot mata
Indrawan terlihat semakin redup dan mulai terlihat bintik-bintik air mata
menggenangi kedua bola matanya.
“Mas Indrawan !
“
“Ya, Mila !”
“Jangan sedih ya
Mas Indrawan , bila semuanya sudah menjadi suratan takdir “
“Engkau bicara
apa, Mila !. Aku yakin tidak akan terjadi apa apa pada kamu, Mila.Kamu adalah wanita yang kuat, bertahun tahun aku
merasakan hal itu, Mila !”
“Tapi kalau
Tuhan menghendaki lain ?”
“Tidak akan,
Mila !”
“Maafkan aku, ya
Mas !. Aku ngantuk, aku akan tidur dulu Mas. Jangan pergi dulu, rebahlah
disampingku Mas !. Tunggulah sampai aku bangun…”. Cengkeraman tangan Karmila
pada bahu Indrawan kini telah terlepas, karena kedua tangan Karmila kini telah
lunglai, detak jantungnyapun telah berhenti dan terbujurlah tubuh Karmila tak
berdaya.
Indrawan hanya
mampu berusaha tabah sesuai pesan istrinya, rumah gedong megah itupun kini
senyap, sementara kursi goyang di beranda depan turut terpagut sepi ***