Malam demikian
larutnya, angin dingin mulai menyentuh semua sendi tulangnya. Meski baju hangat
sudah berusaha menepisnya. Namun lelaki tua itu tidak menghiraukan sama sekali.
Dia lebih asyik melemparkan pandangan matanya ke arah bintang gemintang yang
berserakan di kain hitam malam. Sementara anganya yang liar dan tak tahan
bersemayam di benaknya, terus saja menerjang
jarum waktu. Meski sebentar lagi malam terusir oleh datangnya sang fajar.
Sesekali dia
berdiri mengayunkan langkahnya untuk menuju salah satu sudut beranda rumahnya
yang beralas tanah. Kedua matanya kini mulai redup dipenuhi bening air matanya.
Saat hatinya merintih sedih, kursi tua yang menemaninya itulah yang mampu
mendinginkan hatinya. Kursi jati tua yang berkaki lengkung mendatar itu, adalah
pemberian mendiang istrinya yang belum genap satu tahun meninggalkannya. Hanya
kursi jati tua itu yang mampu mengusung sebuah nostalgia yang indah tentang Karmila,
wanita yang bersama denganya merajut kehidupanya, detik demi detik dengan kehidupan
saling asih sejati selama 40 tahun.
***
Beranda rumahnya
kini menjadi terang benderang, Karmila dengan stelan daster model Eropa saat itu, menarik lenganya saat
Indrawan belum mengganti baju kerja sepulang
dari perkebunan teh. Indrawanpun hanya menuruti saja kemauan istrinya, wanita
lulusan MULO Semarang yang berhasil meruntuhkan hatinya.
“Ah…ada apa Mila
!. Apa apaan sih “ seru dia dengan senyum tipis di bibirnya.
“Sudahlah !,
nanti juga Mas Indra tahu !, aku jamin mas akan senang melihat sesuatu “. Langkah
Mila terhenti hingga sampai di beranda samping rumah berarsitektur Eropa,
dengan halaman bergelar rumput Jepang yang tertata dengan apik. Senyum menawan
masih menghiasi bibir Karmila saat dia membuka kain penutup sesuatu yang
menyebabkan Indrawan penasaran sejak sampai di rumah sore ini. Di depan
Indrawan kini, nampaklah sebuah kursi dari kayu jati yang bertumpu pada
lengkungan kayu yang ada di bawah keempat kakinya.
“Oh ternyata
kursi goyang, kursi goyang seperti ini sudah lama aku impikan Karmila !,
terimakasih !. Kamu memang Karmila istriku !” Sepotong kalimat yang meluncur
begitu saja dari mulut Indrawan, sambil merapatkan tubuhnya pada wanita yang
berperawakan sintal dan berkulit kuning.
Kursi jati
itupun kemudian menjadi korban pelampiasan Indrawan yang lepas mengusung derai
tawa sambil menggerakan kedua kakinya, sehingga kursi jati itupun menjadi
bergoyang. Ada secercah rasa kagum pada laki laki perlente yang ganteng dan
masih
muda itu tentang
perhatian Karmila pada dirinya. “Apakah ini hari ulang tahunku ?, rasanya aku
baru saja berulang tahun tiga bulan silam. Tapi mengapa Karmila repot repot membelikan
aku kursi goyang ini ?”. Bisikan hati tentang kekaguman pada istrinya masih
melekat kuat, sama seperti saat saat lainya kala Karmila dengan tulus
memberinya perhatian padanya sepanjang mereka mengarungi hidup bersama..
Apalagi kursi goyang yang dia duduki kini tentunya bukan kursi yang dengan
gampang tersedia di toko.
“Aku pesankan
kursi ini pada Tuan Hong di kota untuk mas, agar tidak sering melamun di depan
rumah hingga larut malam !”.
“Terimakasi, ya
Mila !. Aku tidak pernah melamun seperti itu, Mila !”
“Ah, Mas Indra
bohong, sering aku ditinggal tidur sendiri sampai larut “
“Mila, kamu kan
tahu !. Tanggung jawabku berat, karena
aku mandor perkebunan teh yang membawahi 1500 buruh. Ada saja masalah yang
harus aku tangani tiap hari. Padahal Menir MC. Perk tidak mau penyelesaian
buruh yang berlarut-larut “
“Tapi ini rumah
kita Mas, Rumah tempat kita dan anak-anak kita saling membagi kasih. Aku hanya
ingin mas melupakan masalah kantor setelah di rumah. Itu juga demi kesehatan
Mas Indra “ Pinta Karmila pada suaminya sambil merajuk seperti anak kecil yang
kehilangan mainanya.
“Baiklah istriku
yang cantik !!!!, aku janji tidak seperti
itu lagi!. Tapi kenapa kau belikan aku kursi roda ?. Katanya aku tidak boleh
melamun ?”
“Ya boleh,
asalkan melamun di kursi itu, Mas !”
“Lho, maksud
kamu gimana ?”. Tanya Indrawan dengan penuh penasaran.
“Ya tetap
melamun !”
“Melamun tentang
pekerjaan di lapangan ?”
“Ya, tidak !:”
“Terus melamun
tentang apa ?”
“Melamun tentang aku !” Karmila tampak seperti
anak gadis remaja yang manja kepada kekasih yang memberinya cinta pertama.
Senyum renyah
istrinya di senja hari beberapa puluh tahun silam betul betul terasa masih mengelitik gendang
telinganya. Indrawan yang kini telah renta dan lemah, kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tua
itu. Sementara dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan, yang mampu melipatkan sayap-sayap lelaki tua itu. Sehingga
berhentilah pengembaraan anganya dari penjuru langit satu ke penjuru lainnya.
Bahkan dinginnya
embun dini hari disela suara adzan Subuh membawa lelaki tua itu untuk
meninggalkan beranda depan rumahnya. Untuk kali ini kursi goyang itu dibiarkan
dingin terbujur sepi.
***
Seperti biasanya
tiap siang hari, kursi goyang tua kali ini kembali bergoyang, di tengah
perkebunan teh Cianjur yang dibangun
pada tahun 1927-1929 oleh Belanda, tepatnya 30 Oktober 1927 oleh M.C. Perk. Meski
Indrawan kini telah pensiun, tetapi dia tidak berniat untuk meninggalkan rumah
tua berarsitektur Eropa yang telah menimbun sejuta kenangan bersama Karmila dan
ketiga putranya yang kini telah hidup di Jakarta dan di manca negara. Semilir
angin dari Gunung Gede semakin kuat mencengkerami tubuhnya. Bintik embun sudah
mulai tertepis oleh radiasi elektromagnetik sinar mentari. Hanya seduhan asli
hangat yang dicampur gula menemani lelaki tua itu. Direguknya perlahan teh hangat itu bersama dengan kursi goyang yang
ikut bercengkerama denganya.
Kembali kursi
goyang itu membisikan sebuah nostalgia padanya, saat beberapa waktu silam
Karmila yang wajahnya pucat pasi duduk di kursi itu dengan tatapan mata kosong
tetapi bilah wajahnya masih terus mengusung senyuman meski terlihat masih
mengusung sebuah kegetiran hatinya. Indrawan kala itu duduk sebelahnya dengan
kursi penjalin berukir Jepara. Kenangan siang itu memang sangat kuat menyelinap
dalam benak hatinya. Karena ternyata
pertemuan itu adalah pertemuan terakhir dirinya dengan Karmila. Persis seperti
goyangan kursi perlahan pada siang hari ini.
“Nampaknya
dokter sudah tidak sanggup apa-apa lagi dengan kanker rahimku, Mas !”
Rintihan kelu
terusung dari bibir pucat pasi Karmila.
“Jangan putus
asa dahalu, Mila !. Besok aku ajak lagi kamu ke Batavia, semoga dokter Albert
sudah mengirim telegram ke Netherland”. Dibelainya rambut Karmila, dengan penuh
harap agar Karmila bisa betahan selama
mungkin melawan kanker ganasnya.
“Apa dia tidak
mampu menangani sendiri, Mas ?”
“Stovia belum
memiliki peralatan khusus untuk operasi kankermu, sayang !”
“Tapi aku sudah
tidak tahan. Tubuhku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang. Untuk pergi ke
Batavia aku sudah tidak sanggup, Mas !”
“Istirahatlah di
dalam Karmila, biar aku ambilkan obat.Tidak akan lama lagi tubuhmu akan kuat
lagi “. Karmila hanya membiarkan tubuhnya diangkat oleh suaminya yang berbadan
kekar. Karmila masih sempat menderaikan sebuah senyuman, namun sorot mata
Indrawan terlihat semakin redup dan mulai terlihat bintik-bintik air mata
menggenangi kedua bola matanya.
“Mas Indrawan !
“
“Ya, Mila !”
“Jangan sedih ya
Mas Indrawan , bila semuanya sudah menjadi suratan takdir “
“Engkau bicara
apa, Mila !. Aku yakin tidak akan terjadi apa apa pada kamu, Mila.Kamu adalah wanita yang kuat, bertahun tahun aku
merasakan hal itu, Mila !”
“Tapi kalau
Tuhan menghendaki lain ?”
“Tidak akan,
Mila !”
“Maafkan aku, ya
Mas !. Aku ngantuk, aku akan tidur dulu Mas. Jangan pergi dulu, rebahlah
disampingku Mas !. Tunggulah sampai aku bangun…”. Cengkeraman tangan Karmila
pada bahu Indrawan kini telah terlepas, karena kedua tangan Karmila kini telah
lunglai, detak jantungnyapun telah berhenti dan terbujurlah tubuh Karmila tak
berdaya.
Indrawan hanya
mampu berusaha tabah sesuai pesan istrinya, rumah gedong megah itupun kini
senyap, sementara kursi goyang di beranda depan turut terpagut sepi ***
“Entah apa
sebabnya aku begini ???? ” berkali kali,
entah sudah berpuluh kali
pertanyaan itu selalu menggelitik hati Anisah. Bukan tentang hadirnya sang doi
di hatinya, atau sorot mata Ikang yang selalu dihujamkan padanya, tiap mereka
berdua bertemu di setiap sudut sekolah itu. Atau bukan pula tentang beberapa
teman cewek sekelasnya yang selalu melipat bibir mereka sendiri karena cemburu
bila menyaksikan setiap langkah Anisah.
Tetapi selalu
saja pertanyaan itu timbul bila dia berhadapan dengan Ibu Hamidah yang selalu
menuliskan angka di papan whiteboard di pelajaran matematika yang paling dia
benci. Angka angka dan serangkaian huruf capital atau hiruf kecil terus saja
memenuhi whiteboard di depanya, yang semakin membuat ubun ubun Anisah seakan
mau pecah. Apalagi bila angka-angka itu saling membagi atau mengalikan bersama
dengan serangkaian huruf kecil atau capital.
Apalagi bila
sang guru manis berambut panjang itu, berteriak melengking, besorot mata tajam
seakan melihat hantu di sudut kelas, sambil memukul-mukulkan penghapus pada papan
whiteboard, Bu Hamidahpun kerap berteriak “ Ini bahan ajar untuk UN, kalian
harus mencermati materi ini. Kalau tidak bisa gimana kamu mau lulus ?. Padahal
UN sudah dekat ?”. Anisah terperangah di tengah perasaan sedih, mengapa otaknya
tidak setajam pisau, menagapa Tuhan menganugerahi otak kerbau kepada aku. Kata
kata Bu Hamidah “ Gimana mau lulus UN ? …. Gimana mau lulus UN?.... Gimana mau
lulus UN ?..” terus saja menempel di hati dan telinganya.
Hari itu tatapan
matanya bertambah meredup, rasa takut memenuhi setiap nadi jantungnya. UN kini
menjelma menjadi hantu menakutkan,
sebengis wajah Bu Hamidah yang cantik dan lajang itu.
***
“He..first lady…ratu
jagad yang kaya Kate Midlleton, tumben kamu melipat wajah hari ini. Apa ada
angin tenggara yang menculik hatimu “ teriak Burhan di beranda kelas usai
terdengar bel panjang, pertanda mereka bisa pulang di tengah gerimis musim
hujan ini.
“Makasih
friend, atas rayuan gombalmu. Mana ada first lady, yang bodo seperti aku ?”
jawab Anisah dengan sorot mata yang masih kelihatan layu ditikam perasaan
pd-nya yang pas pasan.
“Aduh , emak
!, sedikit senyum dong !. Mesti kamu habis disemprot Bu Hamidah, iya kan ?”
2
“Ya memang
gitu, aku malu dan bingung”
“Kenapa ? “
“Aku selalu
tidak bisa mengerjakan, bila Bu Hamidah menyuruhku maju ke depan.
Entah Burhan !, aku sendiri sering bingung kalau mengerjakan matematika,
apalagi soal soal UN, tolong ajari aku, friend !” sahut Anisah memelas.
“Kamu bisa
kok !, asal kamu teliti dan sering latihan “
“ Ya itu sih
sudah pasti, friend !, aku sudah belajar tapi ya seperti inilah !. Dasar IQ-ku zero !”
“Gimana kamu
bisa, kamu sendiri sudah pesimis seperti itu. Cobalah lebih akrab dengan
matematika. He, beautiful !!!, aku sudah kenal kamu sejak kita di SMP, aku tahu
kamu alergi terhadap matematika. Beruntung Bu Hamidah yang cantik, luwes dan
simpatik. Coba kalau yang ngajar Pak Aditya, masti kamu lebih stressss…” jawab Burhan
yang berjalan di sisi The Nice Girls Anisah hingga sampai di pintu gerbang
sekolah.
“Makanya
ajari aku ya Han ?”
“Percuma !”
“Kenapa,
percuma !”
“Kamu sendiri
sudah membenci matematika !!!”
“Ah, entahlah
! “, Anisah membanting wajahnya pada jalan-jalan aspal yang mulai basah dijatuhi
titik hujan. Anisah kini tenggelam dalam hujan. Sementara angin yang bertiup
kencang melempar tiap percik air hujan ke semua penjuru. Tubuh Anisah sudah tak
kelihatan lagi.
***
“Pap, aku mau
ikut bimbingan tes matematika, boleh pap ?” pinta Anisah pada papanya di suatu
sore di beranda rumah gedong yang berhalaman luas.
“Lho, papakan
tidak pernah melarang kamu ikut kegiatan
positip seperti itu. Cuma papa mau tanya !. Mengapa tiba tiba kamu minta
bimbingan tes matematika ?’
3
“UN sudah
dekat, pap !”
“Kenapa tidak
dulu dulu ? “
“Pap, Anisa
tidak bisa matematika, padahal UN sudah dekat !”
“Anisah !,
papa tahu UN sudah dekat. Tapi mengapa baru sekarang kamu ribut ikut bimbingan
tes. Papa tahu, sejak SD kamu malas
belajar matematika, yang kamu anggap seperti momok. Inilah salahnya kamu, Anisa
!”. Sebenarnya seberrsit harapan kini mulai tumbuh di hati Samsudin. Sebuah harapan
agar Anisah mulai rajin belajar hingga mampu kuliah di jenjang perguruan
tinggi.
Guratan panik
di wajah Anisah mulai jelas kelihatan. Maka sore itu dia hanya melentingkan
sorot matanya yang hampa di hamparan rumput jepang yang tertata apik di halaman
rumahnya. Hati kecilnya masih selalu saja mengutuk mengapa dia harus belajar
angka angka setan, mengapa pula harus ada UN matematika, mengapa Bu Hamidah
selalu menyudutkan dia dan kini papanya juga ikut memberikan vonis bersalah
padanya. Samsudinpun tahu persis watak dan ego putri kesayanganya itu.
“Anisah !, apa
bimbingan tes bisa menyulap kamu menjadi
pandai matematika, hanya dalam beberapa minggu ?”
“Papa gitu,
sih !. Malah membuat Anisah panik !”
“Bukan itu
maksud papa, kamu bisa siap UN, kalau diri kamu sendiri yang menyiapkan, bukan
bimbingan tes “
“Papa malah
ngaco !, apa papa keberatan biaya daftarnya ?”
“Aduh !!!,
Anisah sayang !, papa dan mamamu tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya untuk
kemajuan kamu, paling berapa, sih biaya bimbingan tes ?. Tapi maksud papa kamu
mulai sekarang belajar matematika
sendiri yang rajin. Mesti kamu bisa ?. seberapa sulitnya sih, matematika SMA ?’
“Papa !,
untuk Anisah, matematika memang sulit, pap !, Anisaj tidak punya bakat pinter
matematika !’
“Yang sulit
bukan matematikanya, tapi diri kamu sendiri !”
“Sulit
bagaimana pap ?”
“Kamu yang
memang tidak punya kemauan untuk pinter matematika. Itu papa tahu sejak dulu,
sekarang jadikan matematika sebagai teman akrabmu, bukan lagi seperti angka
angka setan yang membuat kepalamu puyeng “
“Ah..caranya
bagaimana, pap !”
“Ya itu tadi,
kamu belajar yang tekun dan rajin mengerjakan soal soal matematika. Jangan
pernah lagi kamu anggap matematika seperti angka angka setan “
***
“Matematika
tidak sulikan, Anisah ?” dengan senyum renyah Bu Hamidah mencoba berbicara dari
hati ke hati pada Anisah di ruang guru, saat Anisah meminta nilai try out
terakhir pada Bu Guru yang cantik itu.Anisah hanya tersenyum dalam derai yang
dihiasi lesung pipitnya. “Jadi kamu sekarang siap menghadapi UN pelajaran
matematika ?”. Pertanyaan Bu Hamidah dibalas dengan senyum canda Anisah, yang
mengisaratkan bahwa matematika bagi dirinya bukan lagi ANGKA ANGKA SETAN
Anisah Sang Ratu Matematika kini lepas bebas, bagai burung pipit di pagi hari