Kamis, 12 Januari 2012

Episode Cinta Remaja

Anita si cewek cantik jelita,  saat itu memucat wajahnya, apalagi setelah melihat Bu Anggun melipat wajahnya, yang kini duduk di depanya terbujur dingin. Anita tidak tahu lagi apa yang akan terjadi, bila Bu Guru Anggun yang hitam manis itu tanpa sedikitpun berhias senyum indah seperti biasanya. Hari ini memang bagi Anita kegiatan belajar sedari pagi tadi kelihatan hambar, setelah Bu Anggun sendiri yang menyuruhnya menghadap seusai sekolah berakhir.
“Anita duduklah !, langsung saja to the point tentang  sesuatu yang ingin ibu sampaikan. Anita jawablah ?. Ini ibu yang jadul, nggak tahu “playing love”nya anak muda atau kamu yang harus menuruti nasehat ibu “. Sesuatu yang dibayangkan sebelumnya oleh Anita kini memang menjadi realita, setelah Bu Anggun mencoba menelisik privasinya.  “Mengapa kedekatan aku dan Ryan mengusik hatinya ?, apakah bu guru yang cantik itu cemburu denga aku yang lagi enjoy ?. huuuh, aku cuekin aja. Mama papaku saja tidak melarang aku dekat dengan Ryan , apa urusanya dia marah sama aku “ bisik hati Anita kini menggayuti beranda hatinya.
“Anita, mengapa diam ?.
“Anita tidak mengerti apa yang ibu maksud ?”
“Kamu mau belajar ?, apa mau terus-terusan main dan bolos sekolah !”
“Anita mau sekolah, Anita kemarin-kemarin ijin bu ?. Papa sendiri yang buatkan surat ijin “
“Oh, ya !, betul papamu yang nulis ijin ?. Bukanya Ryan yang nulis surat ini!. Anita akulah mamamu, akulah papamu di sini. Sejak kapan kamu pandai berdusta “
“Tapi, bu…..!”
“OK !!!, Anita seribu alasan pasti akan kamu ajukan ke ibu ?. Karena ibu tahu saat saat seperti kamulah semua akan terasa kecil, resiko apapun akan kamu abaikan. Anita !, ibu harapkan kamu sudah mampu membedakan siapa yang tulus memperhatikan kamu dan tidak. Bu guru sama sekali tidak melarang kamu untuk berpacaran, selama itu menjadi penyemangat untukmu “
“Tapi Ryan hanya teman Anita, tidak lebih dari itu !”. Anita masih menyerpihkan seberkas alasan kepada guru yang selama ini menjadi guru pujaan baginya.
“Inilah yang ibu khawatirkan, Anita !. Kamu tahu maksud ibu ?”
“Tidak bu !”
Anita sekarang tidak lebih dari anak ingusan yang tidak berkutik sama sekali di depan wali kelasnya.  Meski selaksa untaian kata telah dia persiapkan sebelum bertemu Bu Anggun. Namun sentuhan halus guru yang piawai itu telah membuat tenggorokanya terseumbat. Lantas bagaimana nantinya aku akan enjoy dengan Ryan, bila aku tak mampu menghadapi guru ini. Tapi bukankah selama ini Bu Anggunlah yang membimbing aku segalanya ?, berkat sentuhan halus darinya, aku mampu terus-terusan mendapat rangking di sekolah ini.
“Anita ? hargailah ibu jangan kamu diam seribu bahasa. Bu guru tidak pernah berniat menjerumuskan kamu. Meski hati kamu sekarang sedang tidak di hadapan ibu lagi “

“Bu Anggun tidak perlu khawatir pada Anita, Anita sudah dewasa bu !”
“Dewasa ?,  mana Anita yang dewasa !. Persahabatan biasa tidak mungkin membawamu menjadi siswa yang sering ke cafe pada jam sekolah, tidak mungkin menjadikanmu siswa yang malas belajar. Tapi persahabatan itu tidak lebih dari simpatik kamu yang gelap mata pada cowok ganteng seperti Ryan. Inikah yang disebut dewasa ?”
“Anita tidak pernah ke café, bu ?”
“Inilah yang sekali lagi  membuat aku kecewa. Anita ?”
“Sungguh, bu !”
“Demi Ryan kamu berbohong pada ibu ?”
“Tapi Anita sudah gede, bu !”
“Anita !, bu guru tidak pernah menelisik kamu pacaran sama Ryan apa tidak ?. Karena kamu sudah gede seperti katamu. Tapi yang ibu harapkan, kehadiran Ryan dihatimu justru menambah spirit kamu untuk meraih prestasi. Bukan malah menjadi cewek badung seperti sekarang ini“
Seberkas titik air kini mulai membasahi kelopak mata Anita, yang sebenarnya tahu persis bahwa selama ini dia di depan guru sekaligus figur penyejuknya itu dia berbohong. Mengapa Bu Anggun selama ini tahu persis tentang dirinya dan Ryan.
“Anita sayang ?, Bu Anggun sudah sering kali menjumpai kasus seperti ini. Tapi Bu Anggun tidak pernah melarang siapa saja untuk pacaran. Bu Anggunpun pernah muda dan pernah juga bepacaran. Tapi yang ibu selalu hindari adalah perasaan yang lebai, yang hanyut dengan romantisma picisan, yang justru akan menenggelamkan kamu ke dalam lumpur yang dalam. Itulah yang bisa ibu berikan pada kamu, Anita !”
Goresan goresan kecil yang ada di libuk hati Anita, yang semula menimbulkan kegalauan kini mulai tertepis karena sentuhan nalar Anita. Hatinya semula terpingit oleh Ryan yang tampil seperti actor Tom Cruise, dengan janji janji wangi bunga yang tumbuh di taman hatinya. Namun bukan berarti dia harus menghempaskan Ryan yang mencuri separo hatinya. Tapi justru dia harus mampu menyejukan cowok badung itu yang melekang diterpa eksotis jaman.
“Sudahlah, Anita !, maafin ibu ya !. Semua yang ibu katakan sama kamu semata semata permintaan mama kamu yang sayang sama kamu. Selebihnya terserah kamu saja “
“Maafin ya bu, Anita tadi berbohong !”
“Sudahlah, Bu Anggun tidak menyalahkan kamu. Asal kamu mau berjanji pada ibu “
“Janji apa Bu ?”
“Anita !, jangan kamu yang tersihir rayuan Ryan. Tapi justru kamulah yang harus mampu membuat Ryan menjadi anak baik. Perlu kamu ketahui, Anita !. Apabila Ryan masih sering membolos, maka terpaksa sekolah akan mengeluarkan dia dan ibu harap kamulah sang dewi penolong bagi Ryan, sanggup ?”
Anita hanya mengganggukan kepala dan segera berlalu.
Mata yang berkaca kini mulai menampakan menggambar hati insane remaja itu, pertanda di hatinya mulai tumbuh semi yang bakal mengokohkan hatinya demi Ryan, demi cintanya, demi maminya dan Bu Anggun serta demi segalanya.
***
Sebuah sedan biru sendu metalik  kini menderukan mesinya menggilas genangan air di jalan aspal sisa hujan semalam. Mobil keluar meninggalkan halaman sekolah di tengah hari dan mobil itu seakan sedang berbagi rasa dengan seseorang yang duduk di belakang kemudinya, untuk sebuah niatan tulus demi Sang Dewi Amour. Sementara terlihat cewek remaja itu sibuk merogoh kantong bajunya untuk mendapatkan Hpnya yang berdering lembut.
“Anita !, aku mau jumpa kamu sebentar saja. Tadi ngapain kami dipanggil Bu Anggun “
“Ah..nanti saja kita jumpa, aku capek, aku mau jumpa mamiku dulu, besok besok saja kita ketemu !”
“Anita, nanti dulu..”
“Dah Yan, bye bye…klik”. Anita segera mematikan Hpnya dan menaruhnya di Dashboard mobilnya.Sementara dari HiFi stereo mobilnya bergema lagu jadul Elvis Presley “Are You Lonesome To Night “. Anita kini tertikam udara musim hujan yang dingin dan semilir untuk beristirahat tidur siang di rumahnya.
***
“Aku tidak mau lagi nongkrong di café sama kamu lagi Yan !. Aku malu ditegur Bu Anggun dan mami sekarang demam setelah tahu aku sering bolos sekolah”, pinta Anita seusai sekolah di siang hari.
“Tapi, kapan kita bisa bebas jumpa kamu !”
“Kita bukan anak kecil lagi !,  simpan saja egomu yang kaya anak ABG saja !. Aku nggak mau seperti itu lagi. Yan kamu sudah diancam guru guru, kamu harus rajin masuk karena sebentar lagi UN “ sekali lagi pinta Anita disodorkan pada Si Ganteng itu.
“Ah, masa bodo Anita, aku ya seperti ini. Kamu nggak usah ngatur aku piss !”
“Ya sudah!, Cuma kamu harus tahu Yan !, kalau kamu mencintai seseorang kamupun harus bisa berbagi perhatian dengan lainnya, kamu hanya bisa mencintai egomu saja . Itulah permintaanku pada kamu. Yan aku pulang saja, mami sudah menungguku di rumah “
“Eh Anita, tunggu dulu !”
“Aku harus menunggu apa lagi “
“Aku tadi Cuma ngomong nggak serius !”
“Kamu masih suka saja sama egomu itu !”
“Nanti dulu Anita, OK, OK, ya aku janji . Aku pengin bareng pulang sama kamu. Aku pengin njenguk mamimu. Aku mau minta maaf sama mami kamu, papi kamu dan kamu,     sayang !”
“Sungguh Yan !, aku sungguh sungguh ! “
“Ya, sayang !”
Daun daun palma di depan sekolah kembali bereksotis ditiup angin musim hujan. Gerimis mulai membasahi bumi, sebasah hati Ryan yang mulai lapng dan sejuk ***

Episode untuk Orang Orang Kecil


Masih Ada Waktu

Jarum  waktu  menerkamkan  bara membakar semua yang kumiliki
untuk  di pinang  pada kantong bajunya, akupun enggan menjadi mempelainya,
meski bintang gemintang telah aku buru,
menyelinap di tengan kelambu langit,
namun birunya  telah menyapaku gelisah.
Akupun masih dalam jingganya apa yang kau cibirkan.

Aku berniat berkawan  awan…..
Melepas lepuh tubuh, dengan kawanan “merpati” bertatap elok
Membangunkan gelisah sang palma di hujat jaman
Biarkan semai bulir padi, tetap digenggamanku
Untuk sesuap sarapan pagi kita,  menantang jaman
bersama istriku, “Sang Rembulan”
Meski kita berdua tak memiliki rajutan kain sutera esok pagi
Namun air Toba tetap menjadi penyejuk

Agar pematang di sawah tidak bercampur dengan noda busuk
Seperti yang dijinjing punggawa negeri,  menebar sembilu
hingga “perih dan pedih” menyelingkui Ibu Pertiwi.
Aku orang kecil, menebas halimun “Solar Flare”  tak mampu,
Apalagi larut dalam tepuk riuh dendang “Sang Koruptor”

Mari kita hiasi tepi jarum waktu
Dengan seloroh yang lebih renyah, hingga waktu dapat kita pungut
Taringnya yang tajam tidak mengoyak jantung kita
Sehingga tidak terlepas ikatan tentang sebuah Negeri Bidadari
Yang bersemayam di beranda Toraja, dan menebar wangi bunga
diantara Serambi dan Puncak Jaya Wijaya

(Semarang, 13 Januari 2012).

Aku Bukan Malin Kundang

Bila Sang Ibu bersedih,
Biar air matanya kesedu dalam peluh
hingga hilang penat tubuhku
aku tetap menjagamu

Bila Sang Ibu mengerlingkan mata
Seribu makna akan aku buru
hingga ke ujung langit
akupun tetap dalam cumbu rayu

Bila Sang Ibu berduka
Akupun menebas langit, mencari selendang
bidadari, agar  engkau terlelap dalam negeri gubug bambu
akupun menunggu pagi

Bila Sang Ibu menjenguk langit
Hingga badai di beranda rumahku
Akupun tersungkur dalam doa
Pada Sang Segalanya di atap langit
Agar Ibu menjenguku lagi.

(Semarang, 13 Januari 2012).

Surat untuk Negriku

 Matahari telah lama dalam canda
di pelataran Bukit Barisan, untuk bercumbu
dalam riang pesta teh hangat
yang disidorkan di atas nampan Negri Seribu Dongeng.
Bertiup semilir angin dari celah Pegunungan Kidul

Nyanyian burung pagi hari
Menjadi  hidangan wajah bergincu syahdu
Yang tak pernah terlewatkan dewa dewa di “Indrakila”
Karena darinya,  negeri ini terbujur dalam bentangan
Akupun terkungkung,  dalam taman bunga
Yang tak lelah menjulurkan kelopaknya

Hingga dalam episode orang kecilpun
Mereka masih memingit mega-megamu
Berjaga di pagar bambu  halaman rumahmu

Kamis, 05 Januari 2012

Bernaung di Negeri Hujan


Awalnya hanya senyum ranum....sekumpulan beluntas
yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.

Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.

Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA”  berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata kosong

Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.

Dalam hujan, basahi kita dalam damai

(Semarang, 5 Januari 2012 )


Rabu, 04 Januari 2012

Bila Harus


puspa prasasti aji
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa  engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.

Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek Bulan
Terasa parau,  bila  telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja

Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu

Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan

Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang

(Semarang, 5 Januari 2012).

Selasa, 03 Januari 2012

Di Batas Kota


Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan

Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri

Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit,  menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua

(Semarang, 3 Januari 2012).


Minggu, 01 Januari 2012

Maafkan Aku


sekarkusuma adji
Dalam kerinduanku.....
Satu dua pelangi masih menghiasi langit biru kita,
Setelah sekian lama gerimis, mengukuhkan tekad gulungan
awan hitam, tanpa bersolek dengan senyuman
Seribu warnanya masih kokoh bepegangan satu sama lainnya
Tak satupun berhasrat melongar dan menjenguk pada perdu
Yang melemparkan senja pada padang rumput meranggas tergelar
Untuk hunian kupu-kupu bersayap temaram lesu

Maafkan aku, yang baru saja menjangkau istana di balik cakrawala
Berlantai marmer cemerlang dengan ikatan daun pandan di halamanya
Tak ada lagi pagar bambu, hanya Kuda Sembani berbulu hitam mengkilat
Aku mencoba membuka pintu gerbang yang kokoh bertepi kayu
jati setebal nyaliku yang meradangkan mata yang nanar
Namun sang malaikatpun menghepaskanku.

Aku hanya mampu melincur turun
Dengan sayap terlipat
Meski jauh aku memandang tempat mandi bidadari, dengan air bunga
berkulum senyum, agar liku tubuh bidadari bertambah segar dan merebah
di hunian pagi yang sarat nyanyi alam.

Namun kosong dalam nadi darahku
Kembali sepi.....

sekar kusuma adji
Aku coba memingit Sang Dévavrata... hingga dia bersemayam di
Uttarayana. Tempat sang guru bersemayam.
 Agar mampu aku pasang di figura gambarku,
Agar pula aku mampu menjadi guru sang hidup.
namun tak kutemui jawaban...

Maafkan aku, yang tidak mampu mengajakmu
Mencandai sang pelangi yang menyelorohkan warna warni gamelan jawa
Agar engkau tersenyum dininabobokan angin gunung dan samudra.      
Maafkan aku yang tidak mampu meminang sang rembulan
Dengan serpihan mutiara retak yang dapat aku punguti
Sehingga tidak ada lagi arah angin yang melajukan perahu kita.

Maafkan aku,  yang telah kandas ditikam nyanyi jaman
Dipusari warna pelangi yang lusuh ...hingga tak ada lagi sang elang
yang hinggap untuk mengais butir-butir hidup
Berilah aku secawan nyanyi bahagia, agar aku tidak menerjang
batas horizon antara kebun bunga yang kau semai, dan sayap hitam
iblis pembawa angkara dan amarah

Akan aku letakan sebagian ornamen pagi di bahu yang satu
Sementara bahu lainnya membawa kelopak sang mawar
Untuk gincu bibirmu, agar bunga ilalang bersemayam
Tidak terpagut melekangnya kemarau panjang...hanya sebuah
kata maaf, selayaknya kau berikan untuk gincu bibir
sang rembulan yang bergaun lamam
menanti Don Juan yang berwajah sang maestro Dewa A’mour.

Tiada lagi pelabuhan yang dipenuhi melati
Agar aku terlelap dalam harumnya
(Semarang, 2 Januari 2012)

Sabtu, 31 Desember 2011

Tersekap di Tahun 2012

puspa prasasti aji
Hari ini , aku meminang hari
Hari pertama aku menginjak tahun 2012 dalam benang
biru,  berujung simpul asa berkait pada rongga dada
yang lapang......
Istriku tersenyum berseri,  anaku lelah
semalam mencandai terompet dan kembang api
akupun masih kenyang dengan roti bakar dan
segelas kopi panas semalam.

Gerimis  membungkam pekik terompet
Juga  memberiku halaman baru...menyodoku
agar terus memutar roda hidup, dalam birama
Jalan panjang berliku, seperti tubuh Ular Naga
Namun berbagai warna tubuhnya belum aku kenal

Kubalas dengan metamorfosis suka duka
Dengan nadi jantung yang memburu tirai kelam tersingkap
Pagar bambu halaman rumahpun ikut menyentak
Dalam protes tepi jaman yang tak mampu kupandang
Namun beruntung embun pagi
Terus menyapaku
Menyejuk urat nadi istriku
Memberikan ikatan bunga untuk anaku

Membeningkan pandang mataku
Yang tak lagi menelanjangi guratan nasib
Yang menghisapku pada nyanyian burung parau
Sehingga mengemas resah,
Melumat sisi jantungku
Menyucapkan selamat tdur
Meski kedua mata hanya terpencing

Aku bangun dalam bingkai 2012, sebuah misteri...
Dalam kado bahagia, tanpa “Solar Flare” atau “Green House Effect”
Tanpa melempar hujat pada korutor
Atau kolektor uang negara

Aku tetap terpingit, pada nyanyian padang
Masih berlantai tanah merah berhias belukar
hanya belalang yang berhasrat menyegerakan berputarnya
bumi menyergap matahari. Namun inilah
bilah yang aku punya untuk memburu embun pagi
dalam basuh wajah yang segar berseri
menjemput benang lurus 2012

(Semarang, 1 Jan 2012)

Jumat, 30 Desember 2011

Eva Peron Nurlela


indah mahanani
anerji.blgspot.comHanya beberapa patah kata saja yang dapat lepas renyah dari mulut Eva Peron, kala cewek yang feminis dan flamboyan itu  disapa Roksi yang gantengnya mirip Teungku Wisnu yang kini ada di depanya. Entah apa salah mentari pagi yang menghangati bumi atau daun- daun palem botol yang basah berselingkuh embun pagi hari ini, sehingga mereka berdua menjadi cuek tidak ketulungan. Sikap Roksi yang angkuh seperti peragawan di atas Catwalk itu membuat Irma dan Sylvie, sokib setia Eva Peron menjadi terbakar hatinya.  Maka mereka berdua segera menghentikan langkah Eva Peron yang sudah ngebet pengin es jeruknya  kantin Tante Lisa.
“Gila tuh anak !, hai Lela!, lihat tuh cowok kamu!, sombongnya minta ampun !”. Kedua bola mata Sylvie seakan keluar dari rongga matanya
“Udahlah !, biarkan saja dia kan sudah gede, sudah tahu apa yang  harus dia perbuat “.
“Kamu selalu baikan sama dia sih Lela “ seru Irma
“Irma !, kenapa kita lupa!, kita kan sedang berhadapan dengan María Eva Duarte de Perón . Ibu negara Argantina yang berhati baik dan dekat dengan rakyatnya. Makanya Lela baik hati terus sama cowok yang kaya Arjuna itu “
“Ah kamu tambah ngaco. Biarkan saja dia berada di sikap seperti itu. Nanti kalau dia butuh bantuanku, dia kan mendekat sendiri dengan senyumnya yang ramah, disitulah aku baru menganggapnya Roksi Leonanto “, Sikap Nurlela seperti inilah yang membuat banyak sokibnya ingin selalu dekat denganya. Bahkan sebagian sokibnya sudah melekat betul memberi panggilan Eva Peron pada Nurlela. 
Termasuk juga Roksi yang sudah beken dengan sikapnya yang arogan dan egois, diapun tak segan untuk dekat dengan Eva Paron karena ada maunya, namun bagi cewek yang santer juga dikenal sebagai cewek pemerhati dan penuh  kepedulian itu, sikap Roksi yang seprti itu hanya ditanggapi dengan dingin dan tangan terbuka. Sehingga sokib-sokibnya terkadang merasa heran, mengapa bisa sedekat itu dengan Roksi, mengapa pula mereka terkadang bagaikan kedua remaja yang tidak saling kenal. 
Padahal sebenarnya mereka berdua memang telah akrab menjadi sokib yang saling “take and give” sesamanya, bukan hanya saling berbagi uluran tangan untuk masalah sekolah saja. Tetapi semua ganjalan hati mereka berdua selalu dibalas dengan kepedulian dari keduanya. Meski karakter menjadi batas  antara mereka berdua,  namun bagi Eva Peron batas itu bukan merupakan mata  pisau yang  tajam.  
Roksi “The Ellegan Boy “ selalu berpenampilan  metropolis dan eksklusif di manapun dia melangkahkan kaki. Diantara sokib-sokibnya Roksi selalu berambisi dengan egonya untuk mendapatkan atensi dari mereka tentang gagasan dan idenya. Meski dia harus banyak mengeluarkan doku untuk mentraktir apapun niatan sokib-sokibnya, demi sebuah pujian dan penghargaan semu atas dirinya.  Sedangkan Nurlela termasuk type cewek low profile,  renyah, familiar dan licin kedua tanganya untuk memberi kepedulian sesamanya. Sehingga perihal performan maupun karakter dari Roksi, Nurlela yang paling tahu dan paling mengerti. 
Maka Nurlelapun tidak habis pikir, “ Mengapa sebagian besar sokib-sokibku banyak yang tidak suka pada sikap Roksi. Padahal bila mereka mau berkorban untuk menebalkan telinga dan mengganggap sikap Roksi sebagai hal biasa, maka sebenarnya sikap Roksi adalah biasa biasa saja”.
***
“Ros, aku menjadi tidak enak sendiri ?” demikian curhat Nurlela di sore hari saat Roksi main ke rumah Nurlela.
“Mengapa ?, tentang aku ?”
“Ah..nggak Ros. Aku menjadi terbebani dengan panggilan María Eva Duarte de Perón padaku”
“Lho, seharusnya kamu bangga Lela!. Eva Peron kan tokoh wanita dunia dan  dia simbol kepedulian pada sesama, terutama Rakyat Argentina yang miskin”
“Justru itu, Ros!. Banyak teman kita yang seenaknya memerlakukan aku. Mereka seenaknya minta tolong sama aku untuk hal-hal yang sepele . Mereka menyamakan aku dengan Eva Peron yang gampang menolong siapapun. Aku kan Nurlela manusia biasa !”
“Yah ..jangan kamu perdulikan mereka. Figur Eva Peron sebenarnya bukan seperti itu ?”
“Lantas seperti apa ?”
“Lela !, kamu sebaiknya membaca sejarah Eva Peron !”
“Aku belum pernah !” jawab Nurlela seraya menangkat kedua bahunya.
“Ya baca dong !” Sebuah derai tawa menghiasi wajah Roksi.
“Kamu pernah ?” Nurlela membalasnya dengan ajah inocen dan sebuah senyuman tipis.
“Lho kok tanya aku !, yang difigurkan Eva Peron kan kamu !. Mengapa tanya aku! “
“Kamu tadi ngomong tentang peran sebenarnya Eva Peron, tentunya kamu pernah membaca. Piss aku minta informasi biodatanya “
“ Cuma sedikit yang aku tahu. María Eva Duarte de Perón  lahir di Los Toldos sebuah desa terpencil di Argentina Tahun  1919.  Eva Peron merupakan istri ke dua dari   President  Argetina Juan Peró n (1895–1974).  Pada tahun  1934,  tepatnya pada usia 15  tahun Eva hijrah ke Buenos Aires da berkarir di panggung hiburan dan menjadi aktris radio dan film. Pada Tahun  1944 Eva berkenalan dengan Kolonel Juan Peron.  Satu tahun kemudian merekapun menikah dan pada Tahun 1946 Juan Peron terpilih sebagai Presiden Argentina. Itulah yang aku tahu “
“Trim Ros, tapi mengapa menurut informasi dari teman teman, dia sempat menjadi ibu negara yang dicintai rakyat Argentina. Betul Ros ?”
“Betul, karena seluruh hidupnya dicurahkan untuk Argentina. Selama 6 tahun mendampingi Juan Peron, Eva Peron menjadi ibu negara yang sangat berkuasa. Bahkan telah diberi amanah oleh Rakyat Argentina menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Kesehatan. Oleh karena itu dimanapun dia berada selalu menyerukan isu hak hak buruh.. Selain itu Eva Peronpun mendirikan yayasan yang bergerak di perlindungan terhadap perempuan. Tak lama kemudian dia mendirikan Partai Perempuan Peron (Female Peronist Party ). Kiprah tersebut membuatnya dia terpilih menjadi wakil presiden Argentina pada Tahun 1951, untuk mendampingi suaminya sebagai Presiden Argentina”
“Sungguh bahagia ya Ros !.Bila kita bisa sukses seperti Eva Peron ?”
“Tapi itu relatif, Lela !”
“Apa maksudmu ?” tanya Nurlela.
“Menurut sejarah kemashuran Eva Peron rupanya tak berlangsung lama setelah diagnose dokter menemukan sebuah kanker ganas menyerang serviknya. Sehingga pada Tanggal 26 Juli 1952 Eva Peron meninggalkan Rakyat Argentina untuk pulang selama-lamanya. Menyisakan keharuan yang besar sekali bagi rakyatnya karena sentuhan kemanusiaannya yang begitu membekas selama memimpin mereka”
“Manusia memang sudah memiliki takdir sendiri- sendiri, yang jelas tidak kan ada lagi Eva Peron yang  kedua di muka bumi ini”
“Ada, Lela !”
“Dari negara mana ?”
“Bukan dari mana mana dan  tidak jauh “
“Hari sudah sore, ucapanmu semakin ngaco !”
“Kaulah Eva Peron, Lela !”
“Tambah ngaco lagi  !“ Merah rona wajah  Nurlela kini kelihatan jelas terlihat.
“Kamulah Eva Peron untuk aku,Lela !”
Nurlela terdiam dan menundukan wajah. Senja telah menjamah beranda rumah Nurlela. Entah esok pagi apa yang akan mereka perbuat bersama***

Kamis, 29 Desember 2011

Sketsa Hidup di Awal Tahun

sekar kusuma adji
Barangkali hanya ini, yang aku mampu hidangkan.....
Senampan hidangan makan malam,  dengan menu tergigit
angin malam dari tebing jaman.
Sementara otot tubuhku telah terlipat kerasnya
jalanan hidup, tempat abang becak mengayuh hidup.
Padahal engkau di puncak “Langen Sari”  berteman “Dewi Supraba,
Gagarmayang, Tunjungbiru dan Dewi Lenglengmulat”.

Tapi jangan dulu kau tepiskan sebuah makna
yang telah kau benahi rapi dalam keranjang berbalut
kain sutra,  meski jalan tanah liat menuju untaian pelangi.
Telah basah oleh geimis pagi “berkuku tajam”
Namun masih ada sehelai benang kuning dari “Sang Bagaskara”
yang menusuk celah rumah kita yang tersayat pilu.
Rumahku Impianku

Aku dan kau, kasihku....
Dalam Naungan yang Maha Perkasa
Bersemayam di balik tirai tipis,  setipis antara bilik jantung
yang saling bersebrangan, namun sorot mataNYA menyodorkan
berjuta tangan lembut untuk meluruskan tulang-belulang kita.
Bila engkau berhasrat menanam bunga bunga jiwa
Dalam tetumbuhan “Arcapada”,  tempat kau bermandi keluh
Tersayat sembilu galau dan risau.

Halaman rumah kita, biarkan saja menghitung hari
Memburu setiap detik, menyelingkuhi dirimu dalam cibiran bibir
Bukankah kita masih memiliki taman bunga
Di rongga dada, yang kau taburi dengan wewangian
pengantin baru. Kala angin malam kau jadikan pena untuk
mengambar sumpah serapah kita.

Luruskan benang putih hingga ke jendela langit
Sementara tembang parau kau letakan saja di halaman
rumah gubug kita, terpungut jaman lantas kau biarkan saja
terpelanting oleh angin kembara dari “Negeri Prahara”
yang menguncimu hingga tesengal nafasmu.
Aku masih memiliki lengan yang kokoh,
Sekedar mencandamu bersama nyanyi Kenari dan Derkuku
Hingga pagi nampak elok berdandan  gincu bibir.

Janganlah kau genapi wajahmu dengan ornamen awan gelap
Bila sorot lampu jalan menyilaukan kedua mata .

Jangan pula kau cemburu dengan sepatu kaca
Di etalase rumah berarsitektur romawi

Sementara bila kau dan aku terhuyung pada tepi langit
Maka akan aku gunakan seribu sayapku
Agar kau mampu kuterbangkan ke “Jonggring Saloko”.
Tempat yang ramah, hingga kita lepas bebas
dan menggulai hari dengan bumbu yang renyah
Tempat kita juga mampu menanam ubi dan palawija.

(Semarang, 31 Desember 2011- Di Malam Tahun Baru 2012).






Senin, 26 Desember 2011

Aku Anak Ubi


PUISI ANAK

hamdi beffananda aji
Kala basah mata emak,
Aku jadi sedih, bukankah singkong rebus
untuk makan malam kita telah siap di meja
tersedu juga teh gunung yang tawar tapi hangat
Biarkan Bapak di rantau...bertanam nafas
Dalam buaian hidup, berkalang sumpah serapah

Emak, jangan berkubang air mata
Biar dinding perutku ini, terus memburuku
Dengan “gulai” kasih emak sehalus sutra
Akupun terus panjatkan do’a.
Agar gubug bambu tempat kita merebahkan
badan, terus menyanyi lagu ceria

Aku anak ubi rebus, hanya halaman rumah
Yang tinggal sejengkal yang dapat menyongsong
aku yang terbiasa tanpa alas kaki,
akrab dengan kebon dan palawija

Bapak, esokpun akan aku jemput
Pulang dari kota
Untuk menyemai padi hidup aku***

Hamdi Beffananda Aji

Gerimis

PUISI ANAK

hamdi beffananda aji
Mengapa seharian kau menggigit bumi
Hingga basah yang aku alami
Burung burung terdiam, tulang-tulangku meronta
Meminta seberkas kehangatan,
Aku hanya memiliki suka cita
Bersama ayah dan emaku, meski hidup di
bawah rumah bambu dan beralas tanah kering
kita semuapun setia menunggu gerimis.

Agar singkong dan ubi di ladang,
Lebih keras lagi memberi sapa
Agar emak  tidak marah menyuruhku jauh mengangsu air

Gerimis berilah kabar kepadaku
Bagaimana aku bisa kuliah di perguruan
Karena bapak dan emak,  hanya  mampu tersenyum pilu

Gerimis, kabarkan ke langit,
Aku pengin menjadi pilot pesawat
Hingga mampu menyentuh langit
Terimakasih gerimis
(Semarang, 26 Desember 2011)

Hamdi Beffananda Aji