Jumat, 16 Maret 2012

Salam Rindu untuk Negeriku


kutanyakan  pada  langit bumi

mengapa kita tak sederas air kali
yang sigap mengucuri sawah ladang dengan air
obat dahaga nafas yang hanya sampai leher
pada mentimun dan lobak yang kembali
menggapai angin, dari lekukan bukit-bukit
sepanjang cakrawala.

mengapa kita tak segesit pipit di dahan cemara
kala pagi, siang dan sore selalu saja menggambar prosa
tentang ketidakraguan, mengepakan sayap mencuri ceria
dari padang luas tempat “sang dajjal” mengumbar kesumat
di seputar atmosfer berdebu nanar dan buruk sangka

mengapa kita tak bertanam semerbak wewangi
aroma kemanusiaan,
padahal putting beliung telah merapatkan kaki
berbaris sepanjang “Negeri Archipelago”, berpagar
ratna mutumanikam, kita hanya mampu menguntai
nada parau, ditikam burung hantu yang mengepalkan tangan
“sang dajjal” telah menderapkan langkah , menebarkan
debu musim kemarau yang pengap dan anyir.

mengapa kita tak setegap petani desa
yang sahaja dari pacuan kuda binal
menerjang sisi hati setiap yang berbaju petinggi
bergigi pongah dan bibirnya yang sumbing
terus melengkingkan atmosfer hitam dan kotor
di istana berajut lengan lengan lemah sepanjang dindingnya

mengapa kita tak pandai
berbasuh air sejuk dari Puncak Semeru atau
menghangatkan badan ari bara api sepanjang
bumi Papua, yang tak mampu membendung
air matanya.

selalu mestinya kita bertanga
pada langit dan bumi

(Semarang, 17 Maret 2012)

rahwana dan ketua partai

rahwana menyisir lereng Himalaya
bara api di lidahnya
melekangkan ilalang
belukar tersenyum hambar
mahkota di istana Himalaya
bersigap

rahwana tajam mengerling
di hunian katulistiwa
riuh perhelatan  ketua partai
menyambut dengan
dentuman seribu  meriam

rahwana menajamkan taring
agar ketua partai tetap dalam seloroh
belukarpun terhempas
hingga kaki cakrawala

(Semarang, 17 Maret 2012)

pawai  artis

mereka di etalase, berbatas kaca negeri kahyangan
kita hanya setelan baju singkong.
mereka  berbaju daun pandan pengap
menjerat leher tempat merapatkan cangkul

etalase semakin glamour dengan ornament duka pilu
kita masih membasuh air negeri untuk
kebon bunga di halaman

untuk menjemput pagi penuh ceria

Rabu, 14 Maret 2012

Biru Rindumu


bila kau beruntai biru rindu, istriku !,
kejarlah awan putih  dalam bentang  cemerlang
berilah mereka wewangi dalam benakmu
agar bertaut pada rentang jarum detik  lepas bebas,
aku memberimu, eksotis  fajar
langit biru kau gambar dalam  celoteh syair
cinta remaja, saling menaut janji
hingga mentaripun menyisir rambut sinarnya

bila kau menyirat puisi duka, istriku !
jangan tutup tirai hati, tempat kau bergincu bibir
sawah ladang dipenuhi air sungai hitam kelam
hingga batang padi meradangkan sendu,
kau jangan membuang wajah
dalam padang kering kerontang

bila kau bahagia, bersama bunga bunga
hadapkan kelopak penuh guratan “tawakal”
pada mahkota di atas puncak gunung gunung
meski kau samar memandangnya
tebarkan sari dalam putikmu,
kibaskan angin  penuh suka cita,
hingga hinggap di rumpun rerumputan

kita hanya milik nafas kita sendiri, istriku !
meski hanya kau yang mengusung rinduku
akupun dalam rindu, saat  semua terbungkam bisu
akupun menulsikan dalm kanvas
yang telah kau simpan
di tengah hari-hari lusuh

Semarang, 15 Maret 2012



Selasa, 13 Maret 2012

tentang aku

kumbang Jalang

aku bagai kumbang jalang
tak mengenal janji
atau lagu rindu,
aku melupakan hari
warna sayap kupu-kupu
biru beruntai merah
dalam seduhan
menyudutkanku

aku mengepakan sayap
menerjangkan detak jantung
mencari kebun bunga
agar daraku mendidih
melentingkan kedua kakiku
menggapai kelopak
bersari bibir gincu

kuulurkan benang
agar engkau
mampu berteriak lantang
mengggurkan  daun akasia
menerbangkan debu
pada tepi pelangi
bersusun gairah hatimu

enyahlah kau
nyanyian getir mengubur makna
karena aku yang member arti
tentang rajutan hidup
dalam kidung asmara
bersama kau di pualam malam

(Semarang, 13 Maret 2012)

ingkar

aku dalam penat
memilih jalanku
kau masih menuai angan
aku hanya tergolek lesu
sudahkah kau warnai
atau kau benahi
saat kau gambar langit
bermanikam getir

(Semarang, 13 Maret 2012)



Karmila

Malam demikian larutnya, angin dingin mulai menyentuh semua sendi tulangnya. Meski baju hangat sudah berusaha menepisnya. Namun lelaki tua itu tidak menghiraukan sama sekali. Dia lebih asyik melemparkan pandangan matanya ke arah bintang gemintang yang berserakan di kain hitam malam. Sementara anganya yang liar dan tak tahan bersemayam di benaknya,  terus saja menerjang jarum waktu. Meski sebentar lagi malam terusir oleh datangnya sang fajar.

Sesekali dia berdiri mengayunkan langkahnya untuk menuju salah satu sudut beranda rumahnya yang beralas tanah. Kedua matanya kini mulai redup dipenuhi bening air matanya. Saat hatinya merintih sedih, kursi tua yang menemaninya itulah yang mampu mendinginkan hatinya. Kursi jati tua yang berkaki lengkung mendatar itu, adalah pemberian mendiang istrinya yang belum genap satu tahun meninggalkannya. Hanya kursi jati tua itu yang mampu mengusung sebuah nostalgia yang indah tentang Karmila, wanita yang bersama denganya merajut kehidupanya, detik demi detik dengan kehidupan saling asih sejati selama 40 tahun.

***
Beranda rumahnya kini menjadi terang benderang, Karmila dengan stelan daster  model Eropa saat itu, menarik lenganya saat Indrawan  belum mengganti baju kerja sepulang dari perkebunan teh. Indrawanpun hanya menuruti saja kemauan istrinya, wanita lulusan MULO Semarang yang berhasil meruntuhkan hatinya.

“Ah…ada apa Mila !. Apa apaan sih “ seru dia dengan senyum tipis di bibirnya.

“Sudahlah !, nanti juga Mas Indra tahu !, aku jamin mas akan senang melihat sesuatu “. Langkah Mila terhenti hingga sampai di beranda samping rumah berarsitektur Eropa, dengan halaman bergelar rumput Jepang yang tertata dengan apik. Senyum menawan masih menghiasi bibir Karmila saat dia membuka kain penutup sesuatu yang menyebabkan Indrawan penasaran sejak sampai di rumah sore ini. Di depan Indrawan kini, nampaklah sebuah kursi dari kayu jati yang bertumpu pada lengkungan kayu yang ada di bawah keempat kakinya. 

“Oh ternyata kursi goyang, kursi goyang seperti ini sudah lama aku impikan Karmila !, terimakasih !. Kamu memang Karmila istriku !” Sepotong kalimat yang meluncur begitu saja dari mulut Indrawan, sambil merapatkan tubuhnya pada wanita yang berperawakan sintal dan berkulit kuning.


Kursi jati itupun kemudian menjadi korban pelampiasan Indrawan yang lepas mengusung derai tawa sambil menggerakan kedua kakinya, sehingga kursi jati itupun menjadi bergoyang. Ada secercah rasa kagum pada laki laki perlente yang ganteng dan masih
muda itu tentang perhatian Karmila pada dirinya. “Apakah ini hari ulang tahunku ?, rasanya aku baru saja berulang tahun tiga bulan silam. Tapi mengapa Karmila repot repot membelikan aku kursi goyang ini ?”. Bisikan hati tentang kekaguman pada istrinya masih melekat kuat, sama seperti saat saat lainya kala Karmila dengan tulus memberinya perhatian padanya sepanjang mereka mengarungi hidup bersama.. Apalagi kursi goyang yang dia duduki kini tentunya bukan kursi yang dengan gampang tersedia di toko.

“Aku pesankan kursi ini pada Tuan Hong di kota untuk mas, agar tidak sering melamun di depan rumah hingga larut malam !”.

“Terimakasi, ya Mila !. Aku tidak pernah melamun seperti itu, Mila !”

“Ah, Mas Indra bohong, sering aku ditinggal tidur sendiri sampai larut “

“Mila, kamu kan tahu !. Tanggung jawabku berat,  karena aku mandor perkebunan teh yang membawahi 1500 buruh. Ada saja masalah yang harus aku tangani tiap hari. Padahal Menir MC. Perk tidak mau penyelesaian buruh yang berlarut-larut “

“Tapi ini rumah kita Mas, Rumah tempat kita dan anak-anak kita saling membagi kasih. Aku hanya ingin mas melupakan masalah kantor setelah di rumah. Itu juga demi kesehatan Mas Indra “ Pinta Karmila pada suaminya sambil merajuk seperti anak kecil yang kehilangan mainanya.

“Baiklah istriku yang cantik  !!!!, aku janji tidak seperti itu lagi!. Tapi kenapa kau belikan aku kursi roda ?. Katanya aku tidak boleh melamun ?”

“Ya boleh, asalkan melamun di kursi itu, Mas !”

“Lho, maksud kamu gimana ?”. Tanya Indrawan dengan penuh penasaran.

“Ya tetap melamun !”

“Melamun tentang pekerjaan di lapangan ?”

“Ya, tidak !:”


“Terus melamun tentang apa ?”

 “Melamun tentang aku !” Karmila tampak seperti anak gadis remaja yang manja kepada kekasih yang memberinya cinta pertama.

Senyum renyah istrinya di senja hari beberapa puluh tahun silam  betul betul terasa masih mengelitik gendang telinganya. Indrawan yang kini telah renta dan lemah,  kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tua itu. Sementara dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan, yang mampu melipatkan  sayap-sayap lelaki tua itu. Sehingga berhentilah pengembaraan anganya dari penjuru langit satu ke penjuru lainnya.
Bahkan dinginnya embun dini hari disela suara adzan Subuh membawa lelaki tua itu untuk meninggalkan beranda depan rumahnya. Untuk kali ini kursi goyang itu dibiarkan dingin terbujur sepi.

***
Seperti biasanya tiap siang hari, kursi goyang tua kali ini kembali bergoyang, di tengah perkebunan teh Cianjur  yang dibangun pada tahun 1927-1929 oleh Belanda, tepatnya 30 Oktober 1927 oleh M.C. Perk. Meski Indrawan kini telah pensiun, tetapi dia tidak berniat untuk meninggalkan rumah tua berarsitektur Eropa yang telah menimbun sejuta kenangan bersama Karmila dan ketiga putranya yang kini telah hidup di Jakarta dan di manca negara. Semilir angin dari Gunung Gede semakin kuat mencengkerami tubuhnya. Bintik embun sudah mulai tertepis oleh radiasi elektromagnetik sinar mentari. Hanya seduhan asli hangat yang dicampur gula menemani lelaki tua itu. Direguknya perlahan teh  hangat itu bersama dengan kursi goyang yang ikut bercengkerama denganya.

Kembali kursi goyang itu membisikan sebuah nostalgia padanya, saat beberapa waktu silam Karmila yang wajahnya pucat pasi duduk di kursi itu dengan tatapan mata kosong tetapi bilah wajahnya masih terus mengusung senyuman meski terlihat masih mengusung sebuah kegetiran hatinya. Indrawan kala itu duduk sebelahnya dengan kursi penjalin berukir Jepara. Kenangan siang itu memang sangat kuat menyelinap dalam benak hatinya. Karena  ternyata pertemuan itu adalah pertemuan terakhir dirinya dengan Karmila. Persis seperti goyangan kursi perlahan pada siang hari ini.

“Nampaknya dokter sudah tidak sanggup apa-apa lagi dengan kanker rahimku, Mas !”
Rintihan kelu terusung dari bibir pucat pasi Karmila.

“Jangan putus asa dahalu, Mila !. Besok aku ajak lagi kamu ke Batavia, semoga dokter Albert sudah mengirim telegram ke Netherland”. Dibelainya rambut Karmila, dengan penuh harap agar Karmila  bisa betahan selama mungkin melawan kanker ganasnya.

“Apa dia tidak mampu menangani sendiri, Mas ?”

“Stovia belum memiliki peralatan khusus untuk operasi kankermu, sayang !”

“Tapi aku sudah tidak tahan. Tubuhku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang. Untuk pergi ke Batavia aku sudah tidak sanggup, Mas !”

“Istirahatlah di dalam Karmila, biar aku ambilkan obat.Tidak akan lama lagi tubuhmu akan kuat lagi “. Karmila hanya membiarkan tubuhnya diangkat oleh suaminya yang berbadan kekar. Karmila masih sempat menderaikan sebuah senyuman, namun sorot mata Indrawan terlihat semakin redup dan mulai terlihat bintik-bintik air mata menggenangi kedua bola matanya.

“Mas Indrawan ! “

“Ya, Mila !”

“Jangan sedih ya Mas Indrawan , bila semuanya sudah menjadi suratan takdir “

“Engkau bicara apa, Mila !. Aku yakin tidak akan terjadi apa apa pada kamu, Mila.Kamu  adalah wanita yang kuat, bertahun tahun aku merasakan hal itu, Mila !”

“Tapi kalau Tuhan menghendaki lain ?”

“Tidak akan, Mila !”

“Maafkan aku, ya Mas !. Aku ngantuk, aku akan tidur dulu Mas. Jangan pergi dulu, rebahlah disampingku Mas !. Tunggulah sampai aku bangun…”. Cengkeraman tangan Karmila pada bahu Indrawan kini telah terlepas, karena kedua tangan Karmila kini telah lunglai, detak jantungnyapun telah berhenti dan terbujurlah tubuh Karmila tak berdaya.

Indrawan hanya mampu berusaha tabah sesuai pesan istrinya, rumah gedong megah itupun kini senyap, sementara kursi goyang di beranda depan turut terpagut sepi ***

Senin, 12 Maret 2012

saat dia datang membawa cinta


dengan gaun biru dia mewarnai hari
datang merentang hari hari jalang
akupun bersauh dalam serapah agar tak gundah
kembali menjerat hari, menusukan pada mentari
kutanyakan rembulan
agar aku mampu berbagi rindu

dia datang
menjemput keranjang bunga, menepis
nafas yang terjerat, mensyahwat biru langit
lantas  kau pungut, escream cinta
beraroma lantang menatap bintang gemintang

aku ceraikan serpihan buku harian
kala setiap halaman menyudutku
dalam nyanyian panjang, hari yang kujinjing

malampun kau pinang, aku hanya bertatap rindu
mari kita rentangkan
agar sendi tulang mampu kita titipkan
di langit penuh dengan kembang pengantin
di singasana tak ada duka lara

di tengah halimun dingin…
dini hari kau ulurkan buluh rindu
secawan teh hangat bergula senyum
mari kita satukan dalam bilik jantung

(Semarang, 13 Maret 2012)

Sabtu, 10 Maret 2012

Anisah Ratu Matematikaku


“Entah apa sebabnya aku begini ???? ” berkali kali,  entah sudah berpuluh  kali pertanyaan itu selalu menggelitik hati Anisah. Bukan tentang hadirnya sang doi di hatinya, atau sorot mata Ikang yang selalu dihujamkan padanya, tiap mereka berdua bertemu di setiap sudut sekolah itu. Atau bukan pula tentang beberapa teman cewek sekelasnya yang selalu melipat bibir mereka sendiri karena cemburu bila menyaksikan setiap langkah Anisah.

Tetapi selalu saja pertanyaan itu timbul bila dia berhadapan dengan Ibu Hamidah yang selalu menuliskan angka di papan whiteboard di pelajaran matematika yang paling dia benci. Angka angka dan serangkaian huruf capital atau hiruf kecil terus saja memenuhi whiteboard di depanya, yang semakin membuat ubun ubun Anisah seakan mau pecah. Apalagi bila angka-angka itu saling membagi atau mengalikan bersama dengan serangkaian huruf kecil atau capital.

Apalagi bila sang guru manis berambut panjang itu, berteriak melengking, besorot mata tajam seakan melihat hantu di sudut kelas,  sambil memukul-mukulkan penghapus pada papan whiteboard, Bu Hamidahpun kerap  berteriak “ Ini bahan ajar untuk UN, kalian harus mencermati materi ini. Kalau tidak bisa gimana kamu mau lulus ?. Padahal UN sudah dekat ?”. Anisah terperangah di tengah perasaan sedih, mengapa otaknya tidak setajam pisau, menagapa Tuhan menganugerahi otak kerbau kepada aku. Kata kata Bu Hamidah “ Gimana mau lulus UN ? …. Gimana mau lulus UN?.... Gimana mau lulus UN ?..” terus saja menempel di hati dan telinganya.

Hari itu tatapan matanya bertambah meredup, rasa takut memenuhi setiap nadi jantungnya. UN kini menjelma menjadi hantu menakutkan,  sebengis wajah Bu Hamidah yang cantik dan lajang itu.
***

“He..first lady…ratu jagad yang kaya Kate Midlleton, tumben kamu melipat wajah hari ini. Apa ada angin tenggara yang menculik hatimu “ teriak Burhan di beranda kelas usai terdengar bel panjang, pertanda mereka bisa pulang di tengah gerimis musim hujan ini.

“Makasih friend, atas rayuan gombalmu. Mana ada first lady, yang bodo seperti aku ?” jawab Anisah dengan sorot mata yang masih kelihatan layu ditikam perasaan pd-nya yang pas pasan.
“Aduh , emak !, sedikit senyum dong !. Mesti kamu habis disemprot Bu Hamidah, iya kan ?”
2
“Ya memang gitu, aku malu dan bingung”

“Kenapa ? “

“Aku selalu tidak  bisa mengerjakan,  bila Bu Hamidah menyuruhku maju ke depan. Entah Burhan !, aku sendiri sering bingung kalau mengerjakan matematika, apalagi soal soal UN, tolong ajari aku, friend !” sahut Anisah memelas.

“Kamu bisa kok !, asal kamu teliti dan sering latihan “

“ Ya itu sih sudah pasti, friend !, aku sudah belajar tapi ya seperti inilah !. Dasar IQ-ku  zero !”

“Gimana kamu bisa, kamu sendiri sudah pesimis seperti itu. Cobalah lebih akrab dengan matematika. He, beautiful !!!, aku sudah kenal kamu sejak kita di SMP, aku tahu kamu alergi terhadap matematika. Beruntung Bu Hamidah yang cantik, luwes dan simpatik. Coba kalau yang ngajar Pak Aditya, masti kamu lebih stressss…” jawab Burhan yang berjalan di sisi The Nice Girls Anisah hingga sampai di pintu gerbang sekolah.

“Makanya ajari aku ya Han ?”

“Percuma !”

“Kenapa, percuma !”

“Kamu sendiri sudah membenci matematika !!!”

“Ah, entahlah ! “, Anisah membanting wajahnya pada jalan-jalan aspal yang mulai basah dijatuhi titik hujan. Anisah kini tenggelam dalam hujan. Sementara angin yang bertiup kencang melempar tiap percik air hujan ke semua penjuru. Tubuh Anisah sudah tak kelihatan lagi.
***

“Pap, aku mau ikut bimbingan tes matematika, boleh pap ?” pinta Anisah pada papanya di suatu sore di beranda rumah gedong yang berhalaman luas.

“Lho, papakan tidak pernah melarang kamu  ikut kegiatan positip seperti itu. Cuma papa mau tanya !. Mengapa tiba tiba kamu minta bimbingan tes matematika ?’

3
“UN sudah dekat, pap !”

“Kenapa tidak dulu dulu ? “

“Pap, Anisa tidak bisa matematika, padahal UN sudah dekat !”

“Anisah !, papa tahu UN sudah dekat. Tapi mengapa baru sekarang kamu ribut ikut bimbingan tes. Papa tahu,  sejak SD kamu malas belajar matematika, yang kamu anggap seperti momok. Inilah salahnya kamu, Anisa !”. Sebenarnya seberrsit harapan kini mulai tumbuh di hati Samsudin. Sebuah harapan agar Anisah mulai rajin belajar hingga mampu kuliah di jenjang perguruan tinggi.

Guratan panik di wajah Anisah mulai jelas kelihatan. Maka sore itu dia hanya melentingkan sorot matanya yang hampa di hamparan rumput jepang yang tertata apik di halaman rumahnya. Hati kecilnya masih selalu saja mengutuk mengapa dia harus belajar angka angka setan, mengapa pula harus ada UN matematika, mengapa Bu Hamidah selalu menyudutkan dia dan kini papanya juga ikut memberikan vonis bersalah padanya. Samsudinpun tahu persis watak dan ego putri kesayanganya itu.

“Anisah !, apa bimbingan tes  bisa menyulap kamu menjadi pandai matematika, hanya dalam beberapa minggu ?”

“Papa gitu, sih !. Malah membuat Anisah panik !”

“Bukan itu maksud papa, kamu bisa siap UN, kalau diri kamu sendiri yang menyiapkan, bukan bimbingan tes “

“Papa malah ngaco !, apa papa keberatan biaya daftarnya ?”

“Aduh !!!, Anisah sayang !, papa dan mamamu tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya untuk kemajuan kamu, paling berapa, sih biaya bimbingan tes ?. Tapi maksud papa kamu mulai sekarang belajar  matematika sendiri yang rajin. Mesti kamu bisa ?. seberapa sulitnya sih, matematika SMA ?’

“Papa !, untuk Anisah, matematika memang sulit, pap !, Anisaj tidak punya bakat pinter matematika !’

“Yang sulit bukan matematikanya, tapi diri kamu sendiri !”

“Sulit bagaimana pap ?”

“Kamu yang memang tidak punya kemauan untuk pinter matematika. Itu papa tahu sejak dulu, sekarang jadikan matematika sebagai teman akrabmu, bukan lagi seperti angka angka setan yang membuat kepalamu puyeng “

“Ah..caranya bagaimana, pap !”

“Ya itu tadi, kamu belajar yang tekun dan rajin mengerjakan soal soal matematika. Jangan pernah lagi kamu anggap matematika seperti angka angka setan “

***
“Matematika tidak sulikan, Anisah ?” dengan senyum renyah Bu Hamidah mencoba berbicara dari hati ke hati pada Anisah di ruang guru, saat Anisah meminta nilai try out terakhir pada Bu Guru yang cantik itu.Anisah hanya tersenyum dalam derai yang dihiasi lesung pipitnya. “Jadi kamu sekarang siap menghadapi UN pelajaran matematika ?”. Pertanyaan Bu Hamidah dibalas dengan senyum canda Anisah, yang mengisaratkan bahwa matematika bagi dirinya bukan lagi ANGKA ANGKA SETAN 

Anisah Sang Ratu Matematika  kini lepas bebas, bagai burung  pipit di pagi hari


***

Puisi tentang Mozaik Negeriku


dalam keranda

dalam keranda kita menyimpan sepi
hari menepi, mentari tak bertumpu langit
kita kehilangan arti
peluh tetap mengeluh, teriakan kita
tak sempat dilentingkan tebing
berpagar beluntas dan sedap malam

kita dalam pengap
dalam adonan kemanusiaan
kita terhisap  raksasa berjabat durjana
tak satupun perguliran musim
melorohkan suka cita
kita dalam gurat kebencian

dalam keranda…..
satu dua episode ditikam belati
milik durjana berkain hedonisme
kita hanya memiliki usungan
untuk esok pagi~tiada semerbak
angin segar desa dan negeri
pada langit kita sodorkan kanvas
putih bersih

(Semarang, 10 Maret 2012)

kurcica

tak  pernah kau jera dengan ocehan
kurcica busuk, bersandar di tiap pagi
sepotong bait, tak mengenyangkan perut belalang
kupu-kupu terus saja mengepak sayap
enggan mengatur nafas
kucirca  menebar duri
dari dalam paruhnya

hidangan pelepas lelah
terlelap dalam kabut penuh pekat hitam
kucirca menari dan melontarkan sihir
sementara daun daun bersorot mata nanar
tiada pernah berhenti bergumul
dalam segala yang menyelinap
di hari, belum sempat berbenah.

(Semarang, 10 Maret 2012)

si dungu penunggu makam sepi

manusia  juling dan bertaring
di tengah bilik hitam
empat tirai kain bisu dan tuli
menyelingkungi, padang sunyi
dihempas angin kebohongan
wajah sembab dan dungu
menanti jarum jam
kubur-kubur apa saja siap menelan
tubuh santun dan keadilan
telah bugil dan dalam tertikam
tanah merah kuburan jaman
tanah itupun berasa anyir
dan sunyi……

(Semarang, 10 Maret 2012)

kereta senja

jangan kau keburu memburu usai
nyanyian senja hanya fatamorgana
kereta senja biarlah melindas relmu sendiri
manusia berkain ilalang, masih berlabuh
pada episode hidup di tanah merdeka

kita masih menyambung tangan dalam jabat erat
menyemai pagi indah, beralas padi menguning
berselimut hijau sayur, bereksotis
dengan angin gunung

kereta senja tak akan lewat
enyahlah kau dari Negeri Bidadari
lengan lengan kecil bergurat moralitas
masih bercumbu dalam selingkuh Negeri Katulistiwa
meski duka nestapa dalam opera gubug bambu
dengan sepotong kue desa, dan kopi pahit

esok pagi masih ada
setangkai mawar bunga
dari sawah ladang,  masih dalam
alunan kembang cinta
selamat pagi negeriku

(Semarang, 10 Maret 2012)








Kamis, 08 Maret 2012

puisi sebuah sketsa

di timur aku mengenalmu

saat ini aku mengenal batas
pada rindu, langit runtuh meluruhkan isinya
matahari menari dengan liuk eksotis
di timur, hari menjadi cermin

kala tenggorokan telah kering
riuh rendah debu semakin bergayut
kau di tali sutra, menjinjing jarum waktu
aku melesat, menjaring resah
tepi tepi malam,
menebarkan metamorfosis
dalam bilik kau dan aku

kau menjadi sayap…..
menuju batas, warna jingga kau tengarakan
berselingkuh dengan ranum bulan
selesai sudah hari dalam tirai samar

(Semarang, 8 Maret 2012)

kain biru

terbentang antara dua sisi jantung
celoteh malam tertabur bunga
kalau kau memburu degup jantung
lautan lepas dalam buih merintih aku kayuh
batas pantai masih menorehkan halimun
senyap..
hanya kanvas hati
menuai warna mawar merah dalam kelopak
menjulur menawarkan sketsa biru rindu
pada pualam langit

kau kembali dengan senyum
saat semua layar perahu terbenahi
kau kerlingkan mata
jantungku memunguti  celoteh parau
biola malam
(Semarang, 8 Maret 2012)




Sabtu, 03 Maret 2012

Di Atas Kereta Biru Rindu

Kereta biru kini menebas dinginya kabut
menyingkapkan semua ikatan rindu, di ujung
sebuah perjalanan menuju batas pagi
sementara roda roda besi terus menelantarkan
jendela kaca yang lusuh terus menerbangkan angin fajar,
aku menggelepar di tengah kerumunan pekik
manusia manusia merajut hidup
dalam selembar janji kuci mahkota di langit

aku terdiam…..
pohon dan nyanyian bisu alam berkejaran
meniti semua tepian hati yang melekang dalam rindu
gerbong tua terus berderit dalam ketidaktahuan
mencari batas yang tak kunjung usai

aku memilih untuk terus mengayuh
asa yang masih samar di ujung sana
aku kembali terdiam

kereta terus melaju dalam biru yang sepi

(Semarang, 4 Maret 2012)