Jumat, 06 Agustus 2021

TEH HANGAT CINTA

 


Perjamuan teh saat ini,

memang berenda pagi mesra.

Meski hanya dengan sepotong gula aren

Di atas meja kayu jati “Borneo”

Kita duduk di atas kursi rotan dari

hutan “Bukit Barisan”.

 

Kita tepiskan gumpalan risau

Setelah beberapa teguk teh  kasih...menikam

riuh debu yang meradang.....

Tentang sesumbar anak negeri

Yang memincingkan mata, bersyahwat

dengan perutnya sendiri

 

bersatulah semua yang ada di perjamuan teh

dengan cawan yang merentangkan “santun”

dan senyum manis...kita sedu dengan kasih

Meski hari hari  panjang telah lesu

Tertawan dalam hingar bingarnya fatamorgana

anak negeri.....(Semarang,  25 Nopember 2020)

 

Hanya Satu Jalan

Telah beribu anak panah  “Hrusangkali”

Milik Dewi Srikandi...menggendong episode

Dari bingkai waktu ke lainya.

Lihatlah kuntum seroja yang memerah

di benamkan dalam telaga tragedi...yang berair

hitam pekat dan anyir menusuk

hidung ilalang sang empu jaman.


 

Sudahkah kita usai memetik

Satu halaman buku harian dari

halaman langit biru...tak usai ?

Hingga Serayu, Brantas dan Musi

Telah dipenuhi sampah sampah durjana

yang menepi pada jaman tak bertuan

 

Lepaskan saja baju warna warni

Bila tanpa kelembutan dari pelangi..untuk esok hari

Demi satu jalan,meski sempit

Tapi ramah untuk anak kita

Yang tak beralas kaki....(Semarang,  25 Nopember 2020)

    

Memburu Jarum Waktu

 

Semua pucuk palma,nyiur dan sawit telah meranggas

Dihujani petir dan kata hati yang “angkuh” dan “lidah yang pedas”

Sementara masih teronggok ketidak pastian,

Dari tuan tuan “perlente” menyimpuh manik manik “berias nestapa”

Hati yang terbujur dingin, kini bermandi gempita jaman

Yang berornamen terkuburnya peduli pada sesama nafas

 

Kita belajar pada anak jalanan  yang mengganti nasi

Dengan sepotong doa, agar pagi masih bisa menjemputnya

Kita belajar pada apa saja, untuk memburu waktu

Sebelum “ilalang ganas” melilitkan akarnya

Dan menerkam kita dengan gerigi daunya yang mampu

Merobohkan pagar besi kantor negri

 

Jangan kita melihatnya dari sisi yang salah

Merekapun kini telah berjejer di pematang sawah

Bermandikan mentari katulistiwa, bertaut pada Jaya Wijaya,

Melepas dahaga pada tepian Danau Toba dan Telaga Sarangan

Namun Anak Krakataupun mnyeringai ketakutan

 

Bila saatnya telah tiba

Mereka mampu menikam tebing kokoh  menyatukan

Pasifik dan Atlantik pada kubangan lumpur memerah

Kita harus batasi dengan tirai halus kain sutra

Agar mereka dapat menyimpuhkan kedua kakinya

Menyodorkan nasi hangat dan sepotong ikan asin,

Dengan minuman teh sedu, selembut beranda negri katulistiwa

 

Jangan kau “telikung” jarum waktu

Tidak akan mampu membalik arah putaran bumi

Lebih baik kita membenahi bilik untuk menyusun doa

Dan derap langkah menuju pagi di cakrawala

(Semarang,  25 Nopember 2020)

 

Mengatur Nafas

 

Dalam hembusan angin tenggara, yang meliukan bulir padi

Kita lepas :tajamnya sorot mata”

Untuk diganti dengan tepian kelopak mawar

Atau dongeng sebelum bobo anak desa

Yang dipunggung kerbau mereka merekahkan senyum

 

Kita hentikan dulu semua bara di benak

Agar gmercik air sawah, menjadi santun mngalir

Tanpa menghempas birama “saling melentingkan lidah”

 

Kita dalam sepi, menyeka keringat dingin,

Tanpa genderang baliho jalanan yang lusuh

Seperti anjing kudis menjulurkan lidahnya

Memunguti “kedurhakaan” di jalan terpanggang panas

Dengan debu kemaksiatan yang menampakan terus

giginya yang pongah.

 

Kita dalam sepi, mengatur nafas

(Semarang,  25 Nopember 2020)....

 

Hari VALENTIN

 


dalam canda suka, sepasang merpati

memunguti halimun pagi

mengepak sayap, meluruh debu   jalanan

seakan telah lumat tirai waktu

berganti dengan terpelantingnya ,

semua warna dunia dalam sendi tulang mereka

 

kala mereka menyemai  kelopak jingga

di atas kanwas penuh warna

sang bidadaripun tersenyum malu

bunga dalam suntingan mereka

menaburkan sari hingga menyentuh langit

 

kala kedua sayap mereka bertaut

sepi...dalam tautan malam

 

(Semarang,  14 Februari 2021)

CERITA CINTA




 Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja

Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga

untuk  Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu

Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu,

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya

Di serambi rumahnya, senja membelenggunya

Hanya bermesra dengan senja yang sepi

 

Kala Prince Henry,  bayangan kasihnya dalah lubuk hati

Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung

sepanjang jalan  desa  dipusari kebun palawija dan tebu

Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu

Nurlela tersenyum bahagia

 

Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa             

Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti

ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan

Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim

Untuk terbang memunguti hari harinya

 

Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari

Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu

Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi

Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun

dan   sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta 


Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah

 

Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka

Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil

 

Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman

Jakarta tak mengenal petani desa yang polos

Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya..

 

Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya

Sang pangeran menjadi tak tahu arah  terbitnya matahari dan bulan

Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup

Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap

Sang pangeran menjadi jalang dan liar

 

Lakon hidup memang harus terkembang karena angin

bertiup dengan ganas dan liar

Bayang Nurlelapun mengelupas  dari bilik jantungnya

Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis

Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya

 

Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam

Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran

untuk Nurlela.

Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu

Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar

Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 

Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu

Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup

Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering.

 

Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia

yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya.

Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, 

tanpa sepatah katapun Nurlela

menjawabnya.

Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta

 

Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong

Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan

Maka emak dan  bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah

Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya.

Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar

Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ?

Nurlela tertunduk lesu

Semarang, 8 Desember 2020

 

 

 

Kamis, 05 Agustus 2021

Langit Jingga


Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga untuk Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu, 

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya Di serambi rumahnya, senja membelenggunya Hanya bermesra dengan senja yang sepi Kala Prince Henry, bayangan kasihnya dalah lubuk hati Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung sepanjang jalan desa dipusari kebun palawija dan tebu Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu 

Nurlela tersenyum bahagia Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim 

Untuk terbang memunguti hari harinya Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun dan sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah 

 Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman Jakarta tak mengenal petani desa yang polos Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

 Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya.. Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya Sang pangeran menjadi tak tahu arah terbitnya matahari dan bulan Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap Sang pangeran menjadi jalang dan liar 

 Lakon hidup memang harus terkembang karena angin bertiup dengan ganas dan liar Bayang Nurlelapun mengelupas dari bilik jantungnya Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran untuk Nurlela. Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering. Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya. Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, tanpa sepatah katapun Nurlela menjawabnya. Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan Maka emak dan bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya. Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ? Nurlela tertunduk lesu Semarang, 8 Desember 2020

KABUT BIRU

kembali serambi langit bertirai hitam pekat gulungan awan pekat..
. menikam buku harianku tak sedikitaku berniat menutupnya..
 karena sehalaman penuh tertoreh kau di sana di batas langit,..... 

 di tengah gulungan awan hitam.. di ngarai berlantai melati dan kenanga.... 

 di boulevard bersama sang arjuna.... aku tertawan dalam tembang parau berujung gerigi tajam yang kau sedu dengan senyumanmu berilah kabar meski hanya dengan kepak merpati bersama hujan...

untuk sebuah salam canda aku dalam benang rindu

 hujanmu.menyelinapkan aku dalam gubug kecilku

 sepi..tanpamu.... 


 Mentari mentari masih bersinar... 

 menyiratkan masih ada hidup mentari melontarkan hangatnya... pertanda masih ada bara di dada... mentari tiada bosan menyengat... 
 memberi kabar masih adakah semangat...? 
mentri tak pernah menyisakan keluh.. perlambang tak kan ada lagi kesah mentari dan bulan,
 tak pernah bersatu adalah untuk kita makna siang dan malam 
bahwa kita selalu dalam perguliran nasib

 (Semarang 19/12/20)

Sentuhan Kasih

Sudah genapah kau menghitung hari ? 
 Jangan au isi dengan dusta, atau sumpah serapah... 
 Jalinan dahlia, pipit dan halaman rumah membiru 
Menggapai getar dalam nadi darahmu Agar menjenguk s
emilir angin yang menjalin 
Untaian biru lembayung bergambar dewi cinta 
 Kau menantap dengan bahasa sendu

, kata kata pujangga 
 Kau jinjing hingga menawan hatiku ke sudut jantungku Aku meruntuhkan langit
 Menebas birama bumi bagai anak remaja kasmaran 
 Tak tentu arah menjaring angin kembara Kau di sisi mount everest.... 
 mengalir deras di nadi darahku 
Kau biakan aku.tak mendusta hari 

 SEMARANG 12 Juli 2021

Rindu

Dalam keranjang hati bersulam benang emas..
 aku simpan saja rindu yang merontang meski mengalir deras sepanjang dinding nadi darahku.. 
dalam rindu, aku sisihkan apa yang harus tersimpan dalam kerah bajuku sendiri.

 Dalam rindu, aku menjadi pengecut yang lari dari tumpukan memori 
aku belenggukan pada kawanan pipit, terbang menyapa awan untuk rindumu yang sebatas kain tipis, namun bersorot pandang tajam , aku tertikam pilu dan kelu 
Untuk rindumu, 
kau sendiri yang menusukan pada kawanan ilalang tajam menyayat angin pagi, terha
mbur pada prosa dinding jantungku lantas kau kemasi hari tersembunyi dalam bilik yang pengap tak ada lagi untuku tawa sutra biru merayu... 
saat pagi berkulum senyum kau menghardiknya Untuk rinduku.... 
 aku adukan pada Akasia yang menyerpih daun daunya saat kemarau memberinya sisi tajam panasnya namun kau hanyut, 
melibas dan melentingkan hidangan yang aku sodorkan
 demi sebuah hari panjang, berteman sejuta dewa dewi menuai dan padi yang menggerutukan jalan panjang tak berarah angin...
dalam dinding senyumu aku tersungkur Rindumu.. masihkan wewangi setelah terbasuh sejuta kembang ? atau hanya kering beluntas yang menggambar biarkan aku maki diriku sendiri melesat bagai anak panah
 menawan hari hariku sendiri, sepi...... 

 Semarang, 2 Agustus 2021

SANG Kumbang

aku bagai kumbang jalang 
tak mengenal janji atau lagu rindu, 
aku melupakan hari warna 
sayap kupu-kupu biru beruntai merah 
dalam seduhan menyudutkanku 
 aku mengepakan sayap 
menerjangkan detak jantung 
mencari kebun bunga agar daraku mendidih melentingkan kedua kakiku 
menggapai kelopak bersari bibir gincu kuulurkan benang 
agar engkau mampu berteriak lantang 
mengggurkan daun akasia menerbangkan debu pada tepi pelangi 
bersusun gairah hatimu enyahlah kau nyanyian getir mengubur makna karena aku yang member arti tentang rajutan hidup dalam kidung asmara bersama kau 
di pualam malam

 (Semarang, 13 Maret 2012)

Seribu Keindahan

Saat kau kecup keningku... di temaram senja... aku bisikan legenda cinta Sang Abimanyu dengan Siti Sundari kau terperangkap dalam hipnotis sihir cinta, antara kesetiaan sang ksatria dan harum rambut sutra Siti Sundari bila lembayung ufuk telah menghias warna langit... saat semua cicit burung meluruh, diterkam dingin angin kembara kaupun menyingsingkan hari.. melipat sayapmu menjamah dengan puisi sang pejaka yang kasmaran mengayuh biduk di lautan peluh... kita dalam satu bertaut di tali hasrat dewa dewi, penghuni Indraloka teduh di bawah perdu.. aku sang pemburu yang nanar di tengah padang gersang hanya nyanyian belukar pilu tersentak angin kemarau.. tetesan embun pagi menjadi asing, tak terbilang keagkuhanya akupun hanya berpegang pada ranting kering yang tak kokoh sedangkan angin benua siap melahap tubuhku lantas entah musim apa yang membawa rembulan dalam keranjang sutraku ranting kering bermetamorfosis menjadi dahan dan dedaunan menyimpan selaksa kesejukan dan puisi nyanyi rindu bagai dua remaja saling melepas menggambar sketsa peraduan dalam perpaduan jantung kau dan aku aku disergap cinta yang kau taburkan seringan sari bunga bunga taman mawar merah jingga... anggrek bulan biru merindu kenanga kuning meronta dalam gairah semua tertanam berjejer rapi di kebon bunga milikmu miliku.. tak ada dusta.. tak ada sorot mata yang tajam... ceria... sepadan...serasi dalam singasana penghuni Indraloka gerimis senja m asih menerkam halaman rumah kita... namun kau hangati dengan seribu kata cinta Semarang, 26 Juli 2021

Senin, 02 Agustus 2021

UNTUK PAHLAWANKU

UNTUK GREYSIA POLII DAN APRIYANI RAHAYU 
 Aku melompat kaget Sempat terhenyak, 

bagai duburu raksasa lapar
 
 Saat kau lambungkan merah putih Di atmosfer Tokyo, 

 Fujuyama terbius bungkam
 
 Sakura di pelataran rumah melpat kelopaknya
Maafkan aku, 

 Sedari awal tak hirau kalian berdua 

 Namun kubuang sudut hati itu 

Kini dadamu berdua

 tersemat Garuda Gagah Perkasa 

Berjuta uluran tangan 

Rakyat Indonesia Menunggu usapan tanganmu 

Bersama menjalin ikatan kasih Di Bumi Nusantara 

Semarang 2 Agustus 2021