Semburat awan
jingga menghias lengkung langit senjaTak ada semilir
angin membawakan keranjang bunga
untuk Nurlela
yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu
Serasa hari
memang menawanya dalam sayatan pilu,
Dia menidurkan
wajahnya di lipatan kedua lututnya
Di serambi
rumahnya, senja membelenggunya
Hanya bermesra
dengan senja yang sepi
Kala Prince Henry, bayangan kasihnya dalah lubuk hati
Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung
sepanjang jalan desa dipusari kebun palawija dan tebu
Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu
Nurlela tersenyum bahagia
Hari berlalu
melebihi anak panah melesat menebas
angkasa
Mentari tetap
bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti
ilalang,
bermesra dengan angin musim menunggu penghujan
Prince Hanry tak
kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim
Untuk terbang
memunguti hari harinya
Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari
Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu
Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi
Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun
dan sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta
Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah
Gubug bambu yang
menjadi saksi akan janji janji mereka
Sebuah ikatan
sutra dari si lengan lengan kecil
Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman
Jakarta tak mengenal petani desa yang polos
Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia
Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya..
Debu Jakarta
bukan lagi debu di atmosfer sawahnya
Sang pangeran
menjadi tak tahu arah terbitnya matahari dan bulan
Dialah yang
merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup
Yang bengis
menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap
Sang pangeran
menjadi jalang dan liar
Lakon hidup memang harus terkembang karena angin
bertiup dengan ganas dan liar
Bayang Nurlelapun mengelupas dari bilik jantungnya
Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis
Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya
Detik
bermatamorfosis dalam menit dan jam
Berpuluh purnama
tidak ada kabar dari sang pangeran
untuk Nurlela.
Ilalang tak
seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu
Padang luas
bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar
Kini menemani
Nurlela dalam penantiannya.
Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu
Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup
Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan
bapaknya, yang kurus kering.
Nurlela dalam
seribu kebimbangan, lantara hanya dia
yang mampu
memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya.
Berpuluh sudah
saudagar kaya dan muda meminangnya,
tanpa sepatah katapun Nurlela
menjawabnya.
Demi sang
pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta
Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong
Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan
Maka emak dan bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah
Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya.
Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar
Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ?
Nurlela tertunduk lesu
Semarang, 8 Desember 2020